
OPINI
Pencitraan Penguasa di Tengah Bencana
Oleh. Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Gelaran silaturahmi bersama "Nusantara Bersatu" yang diselenggarakan Sabtu, 26 November 2022 lalu, di Gelora Bung Karno, tampak ramai dihadiri ribuan elemen masyarakat dari berbagai daerah. Rombongan masyarakat terdiri dari beragam elemen, mulai dari ibu-ibu, ulama, hingga para santri (antaranews.com, 26/11/2022)
Rombongan yang didominasi dengan pakaian putih-putih ini direncanakan akan menggelar doa bersama. Mendoakan saudara-saudara korban gempa Cianjur, beberapa waktu lalu. Acara ini pun dihadiri langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo. Dalam perhelatan tersebut, tampak pula Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Fadil Imran, yang memantau situasi pengamanan acara.
Ketua panitia Nusantara Bersatu, Aminuddin Ma'aruf, menjelaskan bahwa Nusantara Bersatu merupakan perhelatan akbar tatap muka dan silaturahmi seluruh elemen relawan Joko Widodo bersama sang Presiden (antaranews.com, 26/11/2022)
Dalam perhelatan tersebut, Jokowi meminta para relawan agar bersabar untuk menentukan calon presiden yang akan diusung pada Pemilihan Presiden 2024. Jokowi pun sempat memberikan sinyal akan memberikan dukungan pada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo (tempo.co, 26/11/2022)
Namun, ada berbagai kejanggalan di tengah perhelatan. Adanya kehebohan tentang pengakuan massa yang diundang tak sesuai dengan seharusnya. Indikasi tentang massa "bayaran" pun menguat. Banyak bertebaran video serta narasi para peserta yang disebar lewat media sosial.
Terkait masalah tersebut, Refly Harun, Pakar Tata Hukum Negara sekaligus pengamat politik, mengungkapkan bahwa sangat mudah membedakan antara simpatisan pendukung dan relawan bayaran yang dimobilisasi (wartaekonomi.co.id, 29/11/2022). Relawan yang genuine, adalah relawan yang dengan sukarela datang sendiri. Sedangkan relawan yang dimobilisasi itu datang karena imbalan. Bukan karena kehendak sendiri. Demikian lanjutnya.
Sementara, keadaan masih berduka karena gempa Cianjur yang baru saja terjadi, pemimpin malah mulai tancap gas demi kontestasi politik, yang masih akan digelar dua tahun lagi. Sementara, korban bencana masih menunggu uluran bantuan dari negara. Sungguh, perbuatan ini perbuatan yang minim empati.
Pengamat Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, mengatakan bahwa tak seharusnya Jokowi ikut dalam acara pertemuan dengan relawan (politik.rmol.co, 27/11/2022). Sebab, Jokowi kan sudah jadi presiden. Ya, seharusnya bertemu dengan rakyat. Seperti rakyat Cianjur yang tengah mengalami kesusahan. Demikian ungkapnya.
Jika menilik pada besaran dana yang dihabiskan dalam perhelatan akbar tersebut, tentu bukan dana yang sedikit. Dana yang luar biasa dihabiskan begitu saja demi kepentingan yang tak berfokus pada kebutuhan rakyat.
Tampaklah, orientasi pemimpin dalam sistem demokrasi kapitalistik, sama sekali tak menegok kebutuhan rakyat. Padahal rakyat sangat butuh dukungan dana, mental dan spiritual agar dapat bangkit dari keterpurukan akibat terjangan bencana. Miris.
Demokrasi kapitalistik menghalalkan segala cara demi stabilitas politik diri dan golongannya. Tanpa peduli derita yang tengah dirasakan rakyatnya. Padahal umat itu diibaratkan sebagai satu tubuh. Saat tubuh ini sakit, tentu bagian tubuh lain pun seharusnya merasakan kesakitan yang sama. Namun, teori ini tak terjadi di alam demokrasi. Pemimpin punya kepentingan sendiri demi memenuhi nafsu politiknya. Sementara rakyat dibiarkan lemas tak berdaya. Tak ada yang mengurusi. Memprihatinkan.
Buruknya wajah kepemimpinan negeri ini tak lepas dari sistem sekuler demokrasi yang kapitalistik. Menjauhkan segala aturan agama dalam pengaturan kehidupan umat. Diperparah dengan sistem demokrasi yang merenggut kepentingan umat dari prioritas negara. Sifat sistem yang kapitalistik merenggut segala amanah. Pemimpin yang seharusnya menjaga dan mengurusi rakyatnya dengan amanah, tapi karena sistemnya rusak. Akhirnya terdestruksi semua tujuan. Kini semua berorientasi karena jabatan, tahta dan harta. Pilu rasanya. Saat derita rakyat di depan mata, namun pemimpin hanya berlalu begitu saja.
Tak bisa dibandingkan dengan masa pemimpin Islam. Mereka amanah. Sejahterakan rakyatnya. Karena paham betul tentang arti amanah.
Umar bin al Khaththab, pemimpin yang begitu sempurna dalam mengurusi umat. Pada saat paceklik terjadi begitu lama hingga menyusahkan rakyatnya, Umar al Khaththab bersumpah untuk tak makan daging, susu dan samin selama paceklik. Beliau hanya makan zaitun dan roti. Wajah Umar yang awalnya putih kemerahan pun berubah menjadi hitam. Umar bin al Khaththab begitu empati terhadap penderitaan rakyatnya.
Kisah lain yang juga masyhur pada masa Kekhilafahan adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang tak tinggal diam saat terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya. Beliau senantiasa mengingat bahwa gempa bumi adalah peringatan keras langsung dari Allah Swt. kepada seluruh makhlukNya. Kemudian mengumumkan untuk menyegerakan sedekah. Tak lupa senantiasa meningkatkan kesadaran ruhiyah umat. Mengingatkan bahwa kemaksiyatan adalah sumber bencana.
Langkah awal yang diambil saat pertama kali bencana datang, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, memastikan bantuan datang sesegera mungkin. Fokus pada penanggulangan bencana. Karena menganggap bahwa umat adalah bagian utama dari suatu negara. Dan pemimpin umat wajib mengurusi seluruh urusan umat, baik dalam keadaan bencana maupun keadaan normal. Semua urusan umat diprioritaskan. Tanpa pikir panjang. Koordinasi yang luar biasa antara negara dan rakyatnya.
Rasulullah Saw bersabda,
"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR. Muslim)
Sistem Islam menciptakan suasana kepemimpinan yang amanah. Segala keputusan hanya ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan umat. Bukan hanya mengikuti nafsu politik belaka. Demokrasi sekuler yang kapitalistik, hanya menjadikan rakyat sebagai pundi-pundi suara yang dibutuhkan saat pemilihan pemimpin, namun diabaikan nasibnya. Ibarat pepatah habis manis sepah dibuang.
Wallahu a’lam bishawab.
Baca juga:

0 Comments: