Headlines
Loading...
Oleh. Ratih Fitrinugraheni

"Assalamualaikum, Mbak Asih sehat kan? kok kayaknya lemes gitu?" Rani menyapa kakak iparnya yang baru saja datang berkunjung ke rumahnya. 

"Biasalah, Dek. Lagi ada masalah ma tetangga juga sodara di sana. Ada aja tetangga dan sodara suami yang enggak suka kalo daganganku kelihatan laku." Mbak Asih menjawab dengan nada lunglai, lalu langsung merebahkan dirinya ke kasur lantai depan ruang TV. 

"Hemm, Mbak Asih tahu dari mana kalo mereka enggak suka?" 

"Dari tatapan matanya, Dek. Kemarin kan ada pembeli datang ke rumah, kebetulan dia sambil lewat katanya, dan dia naik mobil. Trus, tetangga depan ngelihatinnya kayak gitu banget." 

"Kayak gitu gimana?" Rani masih kurang mengerti dengan penjelasan kakak iparnya. 

"Ya gitu, kayak enggak suka gitu, sinis banget." 

"Haisssh, astaghfirullah. Jangan su'udzon dulu, mbak. Siapa tahu bukan karena sinis. Hehe. Udahlah, enggak usah terlalu dipikirkan yang begitu-begitu, Mbak."

"Hemm, iyaalah, aku coba deh. Btw, itu kalo sodaranya suami, udah terang-terangan, Dek. Ngadu domba antara aku dan ibuk mertuaku." 

"Ya Rabbi, ngadu domba gimana, Mbak? Misal ada salah paham, dijelaskan langsung saja, Mbak. Terang-terangan, ngobrol tiga pihak. Supaya tidak saling berprasangka, hati-hati lhoo, kebanyakan prasangka itu dosa." 

"Enggak berprasangka kalo ini, jelas banget kok. Aku cuma ngingetin anaknya, biar enggak terlalu genit, karena berlebihan banget dandannya untuk usia anak SMU. Eeh, ibuknya enggak terima, trus ngadu ke mertuaku. Jadilah aku diomelin sama mertuaku, katanya aku jangan ikut campur urusan keluarga iparku." 

"Ya Allah, masalah sepele sebenernya ya, Mbak. Yaudah, mungkin Mbak Asih perlu instrospeksi diri juga. Jangan-jangan cara Mbak Asih kurang tepat. Maksudku, terkadang niat baik itu jika disampaikan dengan cara yang salah, akan jadi masalah juga." 

"Aku bilang baik-baik kok, Dek. Aku jadi kesel banget sama iparku itu, apa-apa ngadu sama mertuaku. Mertuaku enggak tahu aja kelakuan anak dan cucunya di sini. Besok kalo udah pulang dari luar kota, baru kaget dia." 

"Astaghfirullah, udahlah. Malahan jadi ghibah kita, ampuun Yaa Allah. Yaudah, Mbak Asih enggak perlu sakit hati, memang salah satu resiko menasehati kebaikan itu, ya begitu, yang penting niatnya Mbak Asih dijaga, ikhlas karena Allah."

Dua pekan setelah kedatangan Mbak Asih ke rumah Rani. Rani mendapat kabar lagi, jika Mbak Asih sudah sepekan sakit. Sudah berobat masih belum sembuh juga. Akhirnya Rani dan keluarganya menjenguk kakak iparnya di rumah. Kondisinya ternyata sangat lemah, dan terpaksa dibawa ke RS untuk rawat inap. 

Sepekan opname di RS, Mbak Asih sudah diperbolehkan pulang. Namun, ternyata di rumah juga tak kunjung pulih. Ada saja keluhannya, terkadang tiba-tiba kakinya sakit untuk digerakkan, terkadang perutnya sakit, dan ada saja keluhan lainnya. Rani kembali menjenguk kakak iparnya, dia merasa jika kakak iparnya itu sedang ada beban pikiran. 

Benarlah, saat Rani mengajak Mbak Asih mengobrol dari hati ke hati. Mbak Asih ternyata masih memikirkan masalahnya dengan keluarga suaminya. 

"Ya Allah, Mbak. Yang komentar sama Mbak Asih aja mungkin udah lupa, lhaa kok Mbak Asih masih kepikiran terus. Kan rugi sendiri jadinya. Pikiran itu berpengaruh sekali lhoo dengan kesehatan badan kita." 

"Iya, memang itu, Dek. Aku juga udah ngasih tahu berulang kali, nasehatin tuch mbak kamu, barangkali lebih manjur kalo kamu yang ngomong." Mas Wanto, suami Mbak Asih, ikut berkomentar mendengar obrolan Rani dengan Mbak Asih. 

"Tuch, Mbak, Mas Wanto aja sudah bilang begitu. Yang penting antara Mbak Asih dan Mas Wanto enggak ada salah paham. Besok kalo ibuk mertua Mbak Asih sudah pulang, kan bisa menilai sendiri kondisi di sini, Mbak."

"Iya, Dek. Makasih ya, kamu selalu ngingetin dan nyemangatin aku." 

"Ya, Mbak, sama-sama. Yang penting Mbak Asih berusaha tetap husnudzan dan jangan overthinking, Mbak. Jangan memikirkan hal-hal yang tidak perlu dipikirkan. Sama saudara dan tetangga tetaplah ikhlas berbuat baik, tapi jangan mengharap balasan. Jadinya, enggak berlarut-larut sakit hati atau kecewa kalo pas ada sikap yang kurang mengenakkan." 

"Iya, insyaallah." 

"Yang harus Mbak Asih ingat, Allah akan membalas sekecil apapun perbuatan kita, baik ataupun buruk. Wallahu'alam." 

"Iya, makasih, ya, Dek. Salut aku sama kamu, Dek. Kok bisa selalu kelihatan tenang dan positif thinking gitu." 

"Enggak juga, Mbak. Kondisi-kondisi tertentu ya bisa emosi dan kepikiran juga. Cuma bukan untuk masalah-masalah sepele seperti ini, hehe. Alhamdulillah, aku ikut kajian Islam rutin juga, Mbak, jadinya lebih terbuka wawasan aku. Makanya, yuuk belajar Islam bareng-bareng sama aku."

"Iya, insyaallah besok kalo udah sehat dan luang waktunya, aku ikut dech." 

"Harus diluangkan, Mbak. Belajar ilmu agama itu wajib lhoo, dari masih di buaian sampai liang lahat wajibnya. Artinya, sampai kita meninggal tetap wajib belajar ilmu agama."

"Iya, kah? makasih ya, Dek. Besok kalo udah sehat insyaallah aku sempatkan." 

Setelah Rani berkunjung ke rumah Asih hari itu, Asih semakin membaik. Benarlah bahwa hati dan pikiran sangat mempengaruhi kesehatan tubuh kita. Asih juga sudah mengutarakan keinginannya untuk ikut memperdalam ilmu Islam bersama Rani, adik iparnya. 

Cilacap, 15 Desember 2022

Baca juga:

0 Comments: