Headlines
Loading...

Oleh. Iis Nopiah Pasni 

Anak sulung Bunda Isna, Mas Haikal, sekarang sudah kelas 10 SMA. Ya. Anaknya sedang mengalami pubertas. Hal ini membuat Bunda Isna terus mengingatkan putranya yang biasa disapa dengan sebutan "Mamas" itu untuk tidak pacaran.

"Mas, nggak boleh pacaran, ya?" kata Bunda Isna di sela-sela perbincangan di meja makan.

Saat itu mereka sedang makan malam bersama. Sebuah piring besar yang biasa disebut nampan bulat, diisi nasi hangat berikut lauk pauknya. Mereka sekeluarga mengelilingi nampan bulat tersebut dan makan bersama.

Masyaallah, makan di saat perut lapar membuat makan jadi lahap. Dengan lauk apapun tak maslah, semua terasa enak. Siapkan mencobanya, ya, Teman. Apalagi makannya pun rebutan, sungguh seru dan nikmat.

"Bun, Mamas nggak pacaran," jawab putra sulungnya singkat. Tumis terong ungu pedas, tempe bacem dan perkedel kentang kesukaannya ia siapkan ke mulutnya.

"Kenapa nggak boleh pacaran, ya, Bun?" tanya anak lelaki yang tinggi tubuhnya sudah melebihi tinggi bundanya itu kritis. Sesaat ia menatap bundanya lalu fokus kepada hidangan di depannya lagi.

"Karena pacaran itu mendekati zina, Mas," jawab Bunda Isna cepat. "Awalnya chat, lalu mengajak  ketemuan, berduaan dengan yang jelas bukan mahram yang ketiganya adalah setan. Lama-lama terbiasa berdua, terus ingin pegang tangan, dan lain-lainnya," kata Bunda Isna menjelaskan.

Haikal mendengarkan, sesekali ia menatap ke bundanya.

"Boleh, suka sama lawan jenis. Sudah sunatullah begitu. Allah ciptakan setiap makhluk-Nya itu berpasangan. Jadi yaa, wajar kalau laki-laki suka perempuan dan perempuan suka laki-laki. Nah,  tugas Mamas sekarang itu fokus belajar, menimba ilmu untuk masa depan Mamas. Terus kalau punya ilmu itu diamalkan lalu ajak yang lain juga agar melakukan kebaikan," kata Bunda Isna panjang lebar.

"Mas suka kegiatan apa, ya lakukan, gali potensi diri," kata Bunda Isna lagi.

"Mas suka main futsal, Bun," sahut anaknya.

"Ya, berarti Mamas harus rajin latihan futsal sepulang sekolah. Jangan lupa, terpenting itu Mamas  harus jadi anak saleh, berakhlakul karimah, cerdas atau kayyis, dan jadi anak yang rajin," kata Bunda Isna sambil menuangkan air putih untuk ayahnya Haikal dan anak-anaknya yang lain.

"Oya, Mas,  misal nih ... ada anak cerdas tapi gak punya adab dan sopan santun, ya percuma cerdasnya. Atau anak itu rajin belajar, rajin sekolah tapi nggak mau salat,  gimana tuh?" 

"Ya harusnya rajin salat juga rajin belajar, Bun," jawab Haikal singkat lalu meneguk pelan air putih.

"Man jadda wa jadda, siapapun yang bersungguh-sungguh ia bisa, jadi pilihlah satu kegiatan yang lama-lama Mamas mampu dan kalau bisa jadi ahli di bidang itu," kata Bunda Isna  setelah membaca doa setelah makan. 

Lalu Haikal membantu bundanya, ia mengangkat nampan besar yang telah kosong itu kemudian mencucinya. Tempat nasi yang telah kosong langsung direndam, setelah itu ia  memasak nasi.

Walaupun Haikal anak laki-laki, Bunda Isna sudah memberikan tugas pada anaknya untuk mengerjakan pekerjaan rumah, ya setidaknya nanti ketika kuliah atau bekerja dan  harus merantau jauh, anaknya sudah terbiasa untuk mandiri.

"Bun, Mamas mau minta uang untuk urunan bayar sewa lapangan futsal, latihannya sore nanti," kata Haikal meminta uang dengan bundanya yang sedang menyapu lantai bekas makan tadi.

"Ambil saja di dompet Bunda di tempat biasa," jawab Bunda Isna sambil meneruskan menyapu lantainya.

Bunda Isna menyadari bahwa usia muda anaknya harus dipakai untuk menyiapkan diri,  mengisi hari-hari mereka dengan kegiatan positif, kegiatan yang membuat Allah rida.

"Ya Allah, semoga anak-anakku menjadi anak-anak yang saleh dan muslih," doa Bunda Isna senja itu.


Muara Enim, 04 Desember 2022

Baca juga:

Related Articles

0 Comments: