Headlines
Loading...
Oleh. Ana Mujianah

Arini melajukan matik hitamnya dengan kecepatan sedang. Sambil menggendong si kecil Zahwa, ibu muda itu nekat membelah jalan raya yang lumayan padat. Tak jarang, umpatan dari pengendara lain ia terima karena posisi motor Arini yang berbelok-belok, kadang ke tengah, sebentar ke pinggir lagi.

Siang itu Arini sengaja pergi ke rumah orang tuanya yang tak jauh dari kontrakannya. Sambil berkendara, sesekali tangan Arini mengusap cairan hangat yang mengaliri pipinya dengan ujung selendang yang ia gunakan untuk menggendong Zahwa.

"Arin, kamu salah paham. Dengerin penjelasan Mas dulu." Perdebatan dengan suaminya tadi pagi terus terngiang di benak Arini. Beruntung wanita itu masih bisa mengendarai motor dengan stabil.

"Assalamualaikum," sapa Arini setelah memarkir matik hitamnya di halaman rumah bercat coklat. Tanpa menunggu jawaban, Arini segera membuka pintu yang tak terkunci.

"Waalaikumsalam. Arin? Kamu datang, Nak?" jawab seorang wanita dengan wajah sumringah. Namun, yang disambut justru menampakkan sikap sebaliknya. Arini meraih tangan wanita tersebut kemudian menciumnya takzim.

"Bu, Zahwa Arin tidurin di kamar ibu ya," izin wanita muda itu datar. Sang ibu segera peka dengan perubahan sikap putrinya.

Setelah menidurkan Zahwa, Arini mengambil segelas air putih kemudian duduk di kursi panjang yang terletak di teras dapur menghadap ke halaman belakang. Tak lama kemudian, Darmi, ibu Arini, menghampiri dan duduk di sebelah putri bungsunya. Dibanding kakak-kakaknya, Arini memang yang paling manja dan sangat bergantung pada ibunya. Mungkin karena anak bontot.

"Rin, ada apa?" ucap wanita 60 tahun itu lembut.

"Nggak ada apa-apa, Bu. Zahwa kangen sama utinya," jawab Arini yang terasa ganjil di benak Bu Darmi. Zahwa baru satu tahun, mana ngerti kangen sama nenek. Pasti hanya alasan Arin, batin sang ibu.

"Kamu yakin ... nggak ada apa-apa?" selidik wanita itu lagi. Kali ini dia memegang bahu Arini, kemudian membalikkan badan ibu muda itu sambil menatap matanya untuk mencari kejujuran di sana.

"Cerita sama Ibu, ada apa, Nak?" tanya Bu Darmi lagi dengan lembut. Alih-alih menjawab, tangis Arini malah tumpah tak tertahan.

"Mas Wahyu, Bu ...." Tenggorokan Arini terasa tercekat. Ibu muda itu pun diam tak bisa melanjutkan kata-katanya.

"Kenapa dengan Wahyu? Kalian bertengkar?" tanya Bu Darmi santai.

"Dia punya wanita idaman lain, Bu." Airini semakin sesenggukan karena terbawa emosi yang dari tadi dia tahan. Sementara sang ibu tetap kalem mendengar alasan penyebab kegelisahan putrinya.

"Apa kamu sudah memastikan, Nduk? Bahwa gadis itu wanita idaman Wahyu?" tanya Bu Darmi memastikan.

"Arin lihat sendiri Mas Wahyu ngobrol sama wanita itu. Berduaan. Di  halte depan sekolah tempat Mas Wahyu ngajar, Bu!" tegas Arini atas asumsinya.

"Arin ... Arin, sudah punya anak satu kok masih gegabah gitu." Bu Darmi terkekeh pelan.

"Wahyu itu anak yang baik dan jujur, nggak mungkin dia selingkuh, Nduk." Bu Darmi mencoba menenangkan Arin.

"Dari dulu ibu selalu belain Mas Wahyu." jawab Arin kesal. Namum sang ibu tetap dengan wajah datar.

"Arin, kamu itu sudah jadi ibu. Cobalah bersikap dewasa. Dengar dulu penjelasan Nak Wahyu. Jangan terbawa emosi," nasihat Bu Darmi kepada putrinya.

"Hubungan suami istri kalau mau langgeng itu harus dibangun dengan saling percaya, Arin. Kalau kamu bawaannya curiga terus sama suami, bisa-bisa beneran lho suami kamu cari lagi yang lain." 

Bukan maksud Bu Darmi menakut-nakuti putrinya, tapi begitulah adanya. Bu Darmi hanya ingin Arin berpikir lebih dewasa, tidak tergesa-gesa ketika menghadapi persoalan rumah tangga.

"Ibu doain Mas Wahyu beneran selingkuh?" sahut Arini sewot.

"Astaghfirullah Arin. Istighfar, Nduk." Bu Darmi mengelus-elus kepala Arini lembut. Tak ada gurat marah di wajahnya yang mulai bergaris-garis.

"Ibu selalu doain yang terbaik buat kamu, Arin. Ibu juga doain agar rumah tangga anak ibu ini langgeng, sakinah, mawaddah, wa rahmah. Cucu ibu tumbuh menjadi anak yang sholiha. Mana mungkin ibu doaian yang jelek tentang Wahyu, Arin." 

"Sekarang Arin tenangin diri dulu. Ambil wudhu, setelah itu sholat dan berdoa. Mohon dilapangkan hati sama Allah." Arini masih membatu di tempatnya. Ia belum tergerak untuk melaksanakan saran sang ibu hingga terdengar suara seseorang beruluk salam dari luar. 

"Waalaikumsalam. Eh, Nak Wahyu. Sudah pulang ngajar, Nak. Ayo masuk," sambut Bu Darmi kepada menantunya dengan senyum lebar. Sementara Arin masih mamatung meski mendengar nama suaminya disebut.

"Arin, buatkan minum buat ayahnya Zahwa." perintah Bu Darmi yang akhirnya dilaksanakan oleh Arin dengan berat hati. 

"Sebelumnya maafin Wahyu ya, Bu. Semua tidak seperti yang Arin duga." Bu Darmi hanya mengangguk sambil tersenyum. Wahyu merasa tidak enak hati dengan ibu mertuanya. Laki-laki itu yakin Arin pasti sudah mengadu kepada ibunya.

"Arin, sini duduk dulu, Nduk!" Bu Darmi menarik lengan Arin dan membawanya duduk di depan Wahyu, suaminya.

"Dengerin Nak Wahyu ngomong dulu!" cegah ibunya saat Arin ingin beranjak.

"Arin, gadis yang di halte itu bukan siapa-siapa, percayalah! Bahkan Mas tidak kenal dengan gadis itu."

"Tadi, kebetulan Mas lewat lihat gadis itu dorong-dorong motornya. Mas kasian, lalu Mas bantu memeriksa motornya di halte, itu aja. Nggak lebih!" jelas Wahyu. Namun, Arin masih manyun. 

"Kalau Arin masih nggak percaya, ayo ... kita cari gadis itu. Meski Mas nggak tau alamatnya, Mas rela muter seharian sampai rumah gadis itu ketemu." Wahyu meraih tangan Arin dan menatapnya lembut. Ia tahu istrinya sebenarnya hanya butuh perhatian.

"Nggak usah," jawab Arin singkat. Arini teringat kata-kata ibunya beberapa menit yang lalu, bahwa suami istri itu tidak boleh saling curiga.

"Arin ... percaya sama Mas Wahyu?" imbuhnya lagi dengan wajah tertunduk. 

"Alhamdulillah," ucap Wahyu langsung memeluk istrinya erat. Sementara, Bu Darmi tak kuasa menahan bulir bening yang mengumpul di pelupuk mata melihat anak dan menantunya rukun kembali.

TAMAT

Baca juga:

0 Comments: