Headlines
Loading...

Oleh : Umi Rizkyi (Anggota Komunitas Menulis Setajam Pena)

Berdasarkan pengamat keuangan Piter Abdullah menilai ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terjerat pinjaman dalam jaringan (pinjol) untuk penjualan yang ternyata bodong karena tamak, tidak memiliki kemampuan keuangan dan tidak memiliki literasi pengetahuan mengenai masalah ini. Namun, ia mempertanyakan apakah kasus ini penipuan sehingga perlu diusut tuntas aparat hukum.

Dilansir dari Republika Selasa (15/11/2022)  ia mengatakan "Itu perilaku tamak, rakus yang tidak mau bekerja keras karena membuat pelaku (mahasiswa) spekulatif, apalagi kalau tidak didukung dengan kemampuan keuangan. Persoalan semakin ditambah karena mereka tidak memiliki literasi pengetahuan yang cukup," jelasnya.

Menurutnya, pinjol ilegal bisa disebut sebagai penipuan dan jika benar maka ini adalah tindakan pidana. Jadi, ia meminta jangan disalahkan korbannya karena yang salah adalah yang menipu. Sebab, mereka memanfaatkan kondisi masyarakat yang kurang mendapatkan literasi. 

Ia menduga kalau mahasiswa itu meminjam uang di pinjol ilegal untuk investasi tetapi ternyata tidak mendapatkan hasilnya,  makanya dikategorikan penipuan.  "Jadi, polisi harus mengusut polanya seperti apa hubungan yang memberikan pinjaman dengan penjualan online ini. Maka saya kira diharapkan ada perlindungan polisi karena ini satu kesatuan apakah termasuk kategori penipuan," ujarnya.

Sebanyak 331 mahasiswa menjadi korban penipuan modus baru dengan iming-iming bagi hasil 10% per bulan dari nilai investasi yang mereka berikan dan berutang melalui pinjaman online (pinjol). Dari jumlah tersebut, 116 di antaranya adalah mahasiswa IPB University (Institut Pertanian Bogor).

Dalam kasus tersebut, masing-masing mahasiswa IPB berutang melalui pinjol sekitar Rp2 juta hingga belasan juta rupiah dengan jumlah total diperkirakan mencapai Rp900 juta. Namun, karena terjadi akumulasi antara tagihan dengan bunga pinjol, jumlahnya diperkirakan mencapai Rp2,1 miliar. Kini, mereka harus membayar cicilan pinjol. Namun demikian, kasus ini layaknya fenomena gunung es.

Ekonom INDEF Nailul Huda berpendapat bahwa banyaknya mahasiswa yang menjadi korban penipuan pinjol mengindikasikan minimnya literasi keuangan digital. Menurutnya, ini jelas pelajaran sungguh berharga bagi masyarakat bahwa jika ingin berinvestasi harus mengenali risikonya dan jangan menggunakan uang dari hasil meminjam. Apalagi meminjam kepada pinjaman online, selain ia tidak mendapatkan apa-apa ia juga harus membayar bunganya. Di mana bunganya tidak kecil.

Tak dapat dipungkiri di era digitalisasi global, negeri ini banyak menjadi korban akibat sistem kapitalisme sekuler. Di mana segala aspek kehidupan termasuk ekonomi, kian hari kian mencekik. Segala kebutuhan harganya naik, sedangkan penghasilan tetap. Akhirnya banyak yang potong kompas dengan pinjol, tak terkecuali para mahasiswa.

Investasi adalah salah satu yang menggiurkan. Termasuk investasi digital maupun digitalisasi ekonomi adalah produk yang menampilkan seolah terjadi kemajuan teknologi keuangan beserta transaksi ekonomi di dalamnya. Misalnya kredit-kredit digital di e-commerce menjadi sesuatu yang tidak asing lagi. Namun tanpa disadari, ada transaksi ekonomi non riil yang berjalan mulus sengaja menjerumuskan para pengguna. Padahal, kredit ini adalah nama lain utang serta salah satu wujud pinjol yang pastinya menggunakan bunga.

Hal ini jelas tantangan besar bagi dunia pendidikan tinggi di tengah derasnya narasi world class university. Karena peristiwa ini terjadi di perguruan tinggi negeri yang favorit dan masuk top 450 dunia. Adanya iming-iming “investasi” dalam kasus ini mencerminkan betapa para mahasiswa telah tercetak menjadi kalangan pragmatis tingkat akut. Hal yang menjadi tolok ukur mereka semua adalah materi. Mereka tidak lagi mampu berpikir jernih dan kritis, alih-alih menyelami potensi besarnya menjadi agen perubahan. Memikirkan nasibnya sendiri saja setelah lulus pergi tinggi, bingung mau apa dan mau ke mana.

Jauh berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Yang jelas membawa keberkahan bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim. Islam mengharamkan riba. Allah Taala berfirman, ” … Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 275).

Satu hal yang tak kalah pentingnya, ialah seharusnya mahasiswa tak hanya menuntut ilmu sains dan teknologi semata namun juga ilmu agama. Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).

Tragedi pinjol mahasiswa ini sungguh ibarat senjata makan tuan bagi sistem pendidikan sekuler dan kapitalistik saat ini. Para intelektual memuja sistem kapitalisme sehingga konon katanya harus netral dan bebas nilai. Mereka begitu bangga dan nyaman meninggalkan aturan Islam. Lebih ngeri lagi, perguruan tinggi di alam sekuler selayaknya lembaga pencetak mahasiswa yang mementingkan materi, demi sejalan dengan semangat dan tujuan entrepreneur university.

Oleh karena itu, hendaknya para mahasiswa jangan hanya mendalami ilmu sains dan teknologi semata, namun juga harus mendalami ilmu Allah (ilmu agama). Sehingga sebelum melakukan segala sesuatu termasuk pinjol ini mengetahui apakah dibolehkan dalam Islam atau justru sebaliknya. Agar, apapun yang dilakukan akan bernilai ibadah di sisi Allah dan mendapatkan keberkahan dunia akhirat. Aamiin.

Baca juga:

0 Comments: