
OPINI
Kapitalisme Menggerus Peran Mulia Para Guru
Oleh. Ummu Faiha Hasna
Setiap tanggal 25 November, Indonesia setiap tahunnya memperingati Hari Guru Nasional, atau sering disingkat sebagai HGN. Hari Guru Nasional ditetapkan Presiden Soeharto pada tanggal 25 November 1994, melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Hari Guru Nasional. Salah satu program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi pada peringatan Hari Guru Nasional ke-77 tahun ini, adalah pemberian apresiasi dan penghargaan kepada Guru dan Tenaga Kependidikan yang inspiratif.
Program ini merupakan salah satu bentuk penghargaan pemerintah atas prestasi dan kinerja yang selama ini telah dihasilkan. Pemberian penghargaan ini menjadi ikhtiar agar guru dan tenaga kependidikan dapat lebih termotivasi dan meningkatkan profesionalisme yang pada akhirnya nanti akan meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Peringatan ini menjadi momentum untuk mengenang jasa-jasa guru yang telah mendidik dan membimbing kita sebagai muridnya. Jasa guru sangat besar tidak terkira, karena itu guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Guru sendiri dianggap sebagai orang tua ketika di sekolah. Mereka tulus dan ikhlas untuk mengajar muridnya dengan harapan para muridnya menjadi orang sukses suatu saat nanti. Guru menjadi penerang di dalam kegelapan hidup, ilmu yang mereka berikan sangatlah bermanfaat untuk kehidupan.
Oleh karenanya, Hari Guru Nasional sejatinya menjadi ajang refleksi bagi setiap guru, bukan ajang pesta pora. Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru, artinya harus memiliki akhlak yang mulia sehingga menjadi teladan bagi siswanya. Guru harus memiliki visi dan misi yang tidak hanya berorientasi dunia, tetapi harus berorientasi akhirat.
Guru adalah profesi yang mulia. Imam Al-Ghazali begitu memuliakan profesi guru. Beliau mengatakan, "Siapa saja yang berilmu dan mengajarkan ilmu, maka ia disebut ‘orang besar’ di segenap penjuru langit”.
Guru juga sosok yang sangat berperan bagi kemajuan suatu bangsa. Maju dan mundurnya suatu bangsa akan ditentukan oleh peran guru. Jika para guru berkualitas dan mampu mengarahkan generasi pada kemajuan, maka majulah bangsa tersebut. Sebaliknya, jika para guru kurang peduli terhadap nasib generasinya, maka terpuruklah bangsa tersebut.
Namun, kehidupan sekuler kapitalis yang menjadi landasan sistem pendidikan saat ini telah menggerus peran mulia para guru. Guru yang seharusnya fokus memberikan pengajaran dan pembinaan kepada anak didiknya, menjadi teralihkan pada aktifitas lain yang bersifat administratif.
Para guru harus mengisi data aktivitas harian selama 450 menit melalui aplikasi TRK (tunjangan remunerasi kinerja) dan lapor indikator kinerja individu (IKI). Keduanya diisi setiap minggu dan harus diunggah ke YouTube. Selain itu, guru harus mengisi review 360 GTK (guru dan tenaga kependidikan) bulanan, kuesioner kinerja GTK bulanan untuk menilai teman sejawat, dan presensi kehadiran harian. Apabila tidak mengisi atau lupa mengisi presensi, akan mengurangi nilai kinerja.
Guru pun harus memperbarui data pada aplikasi SIAP Jabar. Kewajiban-kewajiban mengerjakan data pada berbagai aplikasi tersebut harus dilakukan demi mendapatkan tambahan penghasilan pegawai (TPP) untuk guru pegawai negeri sipil Rp 1,75 juta per bulan. Kesibukan administratif ini sangat berimbas pada kinerja guru dalam mengajar.
Banyak keluhan dari peserta didik yang merasa gurunya lebih asyik di depan laptop saat jam mengajar. Sementara peserta didik dibiarkan mengerjakan berbagai proyek tanpa pendampingan guru. Kalau seperti ini, bagaimana kualitas generasi akan terjamin mutunya?
Lalu benarkah kurikulum terkini yang berbasis digitalisasi akan mampu meningkatkan kinerja guru? Ataukah justru semakin menggerus fungsi guru yang seharusnya?
Guru sejati tentu tidak berhenti dan puas hanya mengejar karir, namun akan menjadikan dirinya sebagai ‘agen perubahan’ terhadap murid-muridnya agar berubah dari yang tidak mengerti menjadi mengerti, dari yang kurang cerdas menjadi cerdas, dari yang ahli maksiat menjadi tobat dan ahli amal sholeh, dari malas menjadi rajin, dari yang tidak semangat menjadi semangat, dari yang tidak sopan menjadi santun. Singkat kata guru sejati akan terus berupaya menjadikan siswanya berubah menjadi lebih baik.
Keadaan seperti itu tidak akan terjadi kecuali jika guru memiliki pandangan yang jelas mau dibawa kemana anak didiknya, guru juga memahami potensi anak didiknya, menguasai metodologi pembelajaran dalam menancapkan pemahaman terkait ilmu yang diajarkan. Dan yang lebih penting, guru juga siap menjadi teladan untuk mengimplementasikan Islam di tengah-tengan kehidupan ketika mereka bergelut dengan anak didik bahkan lingkungan sekitarnya.
Peran sejati yang paling penting bagi guru adalah sebagai pewaris dakwah para Nabi, pembina dan pencetak generasi masa depan yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan. Sikap dan perilaku peserta didik, bahkan kecenderungan dan aspirasi mereka sangat dipengaruhi oleh guru. Maka guru mengemban amanah agung yang jika dilakukan semata untuk mendapat ridlo Allah SWT, ia akan menjadi cahaya. Namun jika sebaliknya, ia akan menjadi api di neraka, Naudzubillah.
Profesi guru sangat mulia dan punya peranan sangat penting terhadap proses pencerdasan ummat dan mewujudkan peradaban baru yang mulia. Guru yang sejati tidak akan menyia-nyiakan profesi ini dan akan memaksimalkan perannya sebagai ladang amal sholeh untuk dirinya dan orang lain. Kesadaran utuh yang demikian akan menjadikan dirinya tetap semangat dan istiqomah di manapun berada.
Maka hendaknya para guru menghiasi dirinya dengan sifat-sifat mulia. Sifat yang paling utama adalah Takwa dan Ikhlas karena Allah. Seorang guru dengan ilmu dan penguasaan pendidikannya wajib hanya mencari ridho Allah, bukan karena gaji, pujian dari atasannya, demi ketenaran, promosi jabatan ataupun yang lainnya. Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Artinya: “Siapa pun yang mempelajari suatu ilmu yang difokuskan mengharap pada ridho Allah SWT, tetapi ia mempelajari ilmu hanya untuk mendapatkan keuntungan duniawi semata, maka ia tidak akan mencium wangi surga di akhirat nanti”.
Seorang guru harus meniatkan pengajaran pada muridnya untuk kebaikan umat dan Islam. Imam al-Nawawi mengatakan: "Wajib bagi guru untuk mencari ridlo Allah, dan tidak ditujukan untuk capaian duniawi. Mesti hadir dalam benaknya bahwa mendidik adalah ibadah, agar menjadi dorongan untuk memperbaiki niat, dan motivasi untuk menjaga dirinya dari kekhawatiran dan segala hal yang tidak disukainya, dan khawatir hilangnya keutamaan dan kebaikan yang besar".
Hilangnya sifat takwa dan ikhlas akan memunculkan kemunafikan, kemalasan dan kelalaian. Sehingga akan menghasilkan anak didik dengan tsaqofah yang dangkal dan akidah yang lemah, tidak peka dan paham akan masalah umat, alih-alih menjadi pelopor dalam kebangkitan umat, yang ada justru menjadi beban.
Termasuk sifat penting bagi guru adalah sabar dan bijaksana. Wajib bagi guru pendidik sebagai pencetak generasi untuk mengikuti metode dan akidah Laa Ilaha illallah Muhammadar Rasulullah agar menjadi sabar dan bijak sehingga ia dapat memikul tugas dengan baik.
Seorang guru yang semangat dan ikhlas tidak akan menghentikan tugas dan perannya sebatas apa yang sudah diberikan di kelas. Peran yang paling penting adalah daya pengaruh terhadap muridnya dan masyarakat, berkata benar dan istiqomah. Ia tidak akan menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan dan ideologinya.
Meskipun kebijakan kurikulum sekuler saat ini menjadi jalan untuk meracuni generasi, seorang guru yang istiqomah akan berusaha membawa anak didiknya pada kebenaran Islam. Menjadi kewajiban para guru muslimah untuk menampakkan kerusakan dan memerangi ide-ide barat yang ditanamkan saat ini lewat kurikulum. Lalu tugas guru adalah menjelaskan kepalsuan serta bahayanya.
Satu peran yang paling penting dari seorang guru adalah membentuk kepribadian muridnya. Para murid menunggu sosok ideal dari gurunya. Karenanya wajib bagi guru untuk menjadi teladan yang baik bagi muridnya. Teladan yang baik adalah salah satu cara yang paling jitu dalam pembentukan kepribadian murid, menjadi panutan dalam kepribadian, penampilan, karakter, dan daya pengaruh.
Sudahkah kita sebagai guru memiliki sifat mulia dan peran strategis seperti di atas? Dan mungkinkan sistem sekarang ini memuliakan guru sebagaimana dulu di jamannya Rasulullah?
Ya, sejatinya, selama kapitalisme digunakan untuk mengelola negara dan pendidikan Guru akan sulit untuk keluar dari masalah. Khil4f4h dengan sistem ekonomi islam yang diterapkan sesuai dengan ketentuan syariat menetapkan anggaran pendidikan berbasis baitul mal dengan sifat mutlak negara memiliki kemampuan finansial untuk menjamin kebutuhan publik berupa pendidikan gratis yang berkualitas termasuk kebutuhan guru dengan gaji yg mensejahterakan/memuliakan. Sistem kehidupan islam sebagai wujud pelaksanaan syariat islam secara sempurna dalam bingkai khil4f4h juga menjaga, atmosfer keimanan di masyarakat. Siapapun akan menghargai profesi guru.
Alhasil, Ladang amal sholeh terbuka luas di depan mata. Semoga masa depan guru pun kedepannya semakin baik seiring semakin dekatnya fajar kemenangan Islam menyingsing. Maka jadilah bagian guru yang memperjuangkan kemenangan Islam agar senantiasa tercatat peran strategis
nya sepanjang masa. Wallahu a’lam.
Baca juga:

0 Comments: