Headlines
Loading...
Oleh. Ana Mujianah 

"Sudah umur empat tahun, Nisa kok belum bisa bicara, Ran?" tanya kakak ipar Rani setiap kali mereka ada reuni keluarga. Seperti biasa, Rani akan berusaha tersenyum meski senyum itu terasa hambar. Rani selalu bisa menutupi kegelisahan hatinya di hadapan keluarga besar Hafidz, suaminya.

Namun, sesampai di rumah, tak jarang Hafidz-lah yang menjadi sasaran tumpahan emosi Rani yang terpendam. Beruntung, laki-laki itu bisa membentangkan kesabarannya seluas lautan. Kalau tidak, mungkin perang dunia akan sering terjadi menghiasi rumah tangga mereka sehari-hari.

"Kenapa sih, kakak kamu selalu aja kepo sama Nisa?" gerutu Rani pulang reunian keluarga. Rani langsung ngeloyor masuk rumah meninggalkan Hafidz dan putrinya di mobil.

"Ya ... namanya lama nggak ketemu, wajarlah Bund kalau kakak nanya," sahut Hafidz berusaha membesarkan hati istrinya yang duduk di sofa ruang tamu.

"Iya, tapi kan nggak usah setiap kali ketemu nanya. Kita kan juga sedang berusaha terapi Nisa," protes Rani sewot sambil melepaskan pernak-pernik yang ia kenakan.

"Sudahlah nggak usah diambil hati pertanyaan Kak Dewi tadi. Anggap aja itu bentuk perhatian Kakak ke adeknya. Ya, kan?" Hafidz selalu saja punya cara meredam kekesalan istrinya. Meski baru lima tahun menikah, laki-laki itu seakan paham betul karakter sang istri. Rani memang gampang meledak-ledak emosinya, tapi juga mudah reda jika ia sabar menasihatinya.

"Sudah, sekarang Bunda istirahat sana. Besok pagi kita ada jadwal ketemu dokter Vina, ntar kesiangan!" perintah Hafidz sambil menggendong Nisa ke kamarnya. Tadi, gadis mungil itu tertidur di mobil saat perjalanan pulang dari rumah eyang. Meski dengan wajah ditekuk, tanpa banyak membantah lagi, Rani pun akhirnya mematuhi perintah suaminya.

**
Pagi menjelang siang, jalanan ke arah Jatiwaringin lumayan padat. Hafidz sesekali mengeluh dengan banyaknya galian proyek di sepanjang jalan. Karena hal tersebut lumayan menyumbang kemacetan lalu lintas yang mengular. Sementara, dia harus buru-buru mengantar Rani ke klinik untuk terapi Nisa, putri mereka.

"Assalamu'alaikum, Dok," sapa Rani ramah setelah sampai di klinik terapi tumbuh kembang anak.

"Wa'alaikumsalam. Mari silakan masuk. Maaf, dengan ayah bunda siapa? Apakah sudah mendaftar sebelumnya?" sambut dokter Vina tak kalah ramah.

"Ayah bunda Nisa, Dok. Kami sudah mendaftar online kemaren," sahut Rani.

"Baik. Baru pertama ke sini?" tanya dokter Vina. 

"Betul, Dok." Rani memang baru pertama ke klinik terapi tersebut. Beberapa waktu lalu Rani mendapat rekomendasi dari teman kuliahnya untuk mencoba terapi alternatif di klinik itu. Setelah berembuk dengan suaminya, tak ada salahnya dicoba. Itulah kesepakatan yang kemudian mereka berdua ambil.

Deteksi awal di klinik terapi tersebut meliputi deteksi fisik dan emosi. Rani dan suaminya mendengarkan dengan serius hasil analisa dokter Vina. 

"Alhamdulillah secara fisik sehat. Hanya butuh terapi bicara dan stimulus yang banyak. Insya Allah nanti akan lancar bicaranya," kata dokter Vina dengan telaten menjelaskan.

"E-em, soal emosi ... apakah dulu ibu pernah tidak menginginkan kehadiran gadis cantik ini? Sewaktu hamil?" selidik dokter Vina sambil memastikan deteksi pada alat di depannya. Seketika, mata Rani membulat sempurna. Entah deteksi itu kebetulan tepat atau bagaimana cara kerja mesin tersebut, yang jelas jantung Rani serasa berhenti berdetak mendapat pertanyaan dari dokter Vina. Wanita itu kemudian mengangguk pelan sambil melirik suaminya.

"Saya menikah muda, dijodohkan orang tua, Dok. Waktu itu ... saya masih ingin bekerja dan melejitkan karir saya. Tiba-tiba saya hamil ...."  Kerongkongan Rani serasa tercekat. Ibu muda satu anak itu tak bisa melanjutkan lagi kata-katanya. Seketika bahunya berguncang keras. Tangisnya pecah, teringat saat dia berniat menggugurkan janin berumur dua bulan itu. Rasa bersalah kembali menyeruak menyelimuti batin Rani. 

"Apakah itu penyebab keterlambatan bicaranya, Dok?" tanya Hafidz. "Bisa jadi salah satu pemicunya, Pak. Maka, rasa bahwa dia tidak diinginkan ini harus dilepaskan," terang dokter Vina menguatkan hasil analisanya.

"Maafkan Bunda, Nak!" Rani langsung menghambur memeluk putrinya erat dengan tangis yang semakin tak terbendung.

"Nisa, Bunda mencintaimu, Nak. Bunda sayang Nisa. Bunda menginginkan Nisa. Maafkan Bunda, Nak!" Rani kembali mendekap erat putrinya. Rasa bersalah membuat Rani tak mampu menatap mata bening tanpa dosa milik putri kecilnya yang keheranan melihat bundanya tiba-tiba menangis. 

Rani memang tidak mutlak menjadikan hasil evaluasi mesin itu sebagai satu-satunya hasil pemeriksaan. Namun, apa yang disampaikan dokter Vina, sungguh menjadi bahan muhasabah yang menghujam di hati Rani. 

Allah yang menitipkan putri kecil yang manis itu di rahimnya. Maka, ini adalah amanah yang harus dia jaga. Tak ada hak baginya menolak anugerah itu. Dalam deraian air mata, terselip janji di hati kecil Rani. Bahwa dia akan bertaubat dan berjanji merawat Nisa sebaik mungkin dengan segala kemampuan yang dia miliki.

TAMAT

Baca juga:

0 Comments: