Headlines
Loading...
Oleh. Yuliati Sugiono

Sayup-sayup terdengar azan Subuh. Ku dekatkan telinga, sebetulnya bukan sayup-sayup tapi terdengar sangat jelas. Kok mendadak pasang telinga? Ya karena kami berada di dalam bis yang posisinya sekarang berada di jalan raya Lovina Bali bagian utara. Semalam penuh di dalam bis dan sekarang harus turun karena dah sampai tujuan mau lihat dholpin di laut lepas. 

"Lovina..Lovina" teriak kernet sopir mengingatkan penumpang. 

"Ini Lovina ya Pak?" tanyaku memastikan.

"Iya Lovina, mau turun di mana?"

Ganti aku yang bingung karena memang tidak tahu pastinya mau turun di mana, asal berangkat saja.

"Mau lihat dholpin Pak" jawabku sekenanya.

"Oh lihat dholpin, turun di Sentral saja ya" ujarnya.

"Oke" kataku mengiyakan meski gak tahu yang disebut Sentral itu di mana.

Akhirnya kami diturunkan di pinggir jalan. Mungkin itu yang disebut Sentral. 

"Ibu jalan saja kearah sana, nanti ketemu laut" kata si kernet sambil tangannya menunjuk ke suatu arah. 

Celingak-celinguk, sepi nian karena memang masih Subuh. Belum salat. Jalanan sunyi lengang. Tidak menemukan masjid, tapi tadi suara azan terdengar begitu jelas. Pasti masjidnya sekitar sini.

Setelah tanya ke seorang pemuda yang naik motor ditunjukkan arah masjid. Katanya sih dekat, ternyata dekatnya orang Bali itu sekitar satu kilometer jalan kaki. Untung masjidnya di pinggir jalan. Jadi kami balik ke arah yang sudah dilewati bis tadi. 

Lumayan banyak jamaah salat Subuh ini, sekitar dua puluh orang. Selesai salat kami disuguhi teh dan kopi, sambil ngobrol. Ternyata ini kampung Islam.  Bonusnya tidak perlu jalan lagi ke Sentral, kami langsung dibawa masuk ke perkampungan, ke rumah Pak RT setempat yang punya usaha perahu untuk lihat dholpin. Dapat harga miring pula. Aih senangnya.
Inikah yang disebut ukhuwah Islamiyah?

Selesai atraksi dholpin, kami lanjutkan perjalanan ke Kintamani. Pesona gunung Batur dan danau Kintamani memang tiada banding. Tak lupa beli jeruk kintamani yang manisnya seperti aku, kata pak suami
(semoga pembaca gak gumoh).

Menariknya tuh, di sepanjang jalan kulihat jilbab dimana-mana berkibar sobat. Maksudnya itu orang yang berjilbab, bukan jilbabnya doang macam tiang listrik ya. Jadi persentase antara yang buka-buka aurat dengan jilbaber itu 50 : 50. Berasa familiar gitu.

Di Kintamani kami ngopi-ngopi cantik sambil memandang megahnya gunung Batur. Di atas ada gunung, di bawah ada danau. Wow lukisan indah tiada tara. Suasana restoran juga ramai dengan ya itu tadi para jilbaber dan yang buka-bukaan, tumplek blek jadi satu. Namun sekarang pede aja kita ye, karena jilbabernya buanyak.

Setelah puas lanjut lagi deh ke Tirta Empul. Ini pemandian suci gandeng dengan istana Tampaksiring. Kami gak nyebur ke kolamnya karena itu ritual Hindu. Hanya nongkrongin lihat bule-bule yang sok khusuk ikut-ikutan nyebur kolam. Percaya Tuhan aja kagak, lha kok ikut nyemplung bule itu.

Sudah sore, driver antar kami ke Denpasar, tak lupa mampir Terasiring. Itu lho sawah-sawah. Gak lama di Terasiring karena ini kan sawah. Turis lain ter wow-wow lihat sawah, aku cuma mbatin "Iki lak podo wae bek ndesoku"

Akhirnya nyampe juga di hotel Denpasar. Pagi di sekitar hotel banyak yang jual gorengan, nasi pecel dan lain-lain. Jangan kuatir, kalau dulu aku ragu-ragu mau makan daging atau ayam, tapi sekarang semua halal. Mau penyetan juga banyak di malam hari banyak warung. Yang jaga para jilbaber. Bahkan di pasar Badung, yang jual pie susu, itu orang Banyuwangi, yang jual parfum orang Probolinggo dan yang jual mukena orangnya berjilbab. Ada kampung Jawa di Denpasar.

Bahkan di Kuta, tepatnya di Uluwatu, ada pondok pesantren Al Jabar. Lucu juga kalau diingat-ingat, turun tebing Uluwatu para bule berbikini berselancar. Eh masih di wilayah yang sama, ada ponpes. Salut gua. Tak percaya, buktikan sendiri!

#tulisan ini diperuntukkan bagi pihak-pihak yang menginginkan Bali kembali ke era 1980-an

Baca juga:

0 Comments: