Headlines
Loading...
Oleh. Ratty S Leman

Pagi itu sekitar pukul 09.00 pagi, Ning segera bersiap untuk berangkat ke taman koleksi di depan kampus Baranangsiang. 

Sudah lama dia tak bertemu teman lamanya itu. Alhamdulillah beliau ke Bogor dan mereka berjanji untuk ketemu walau sejenak melepas rindu.

Kebetulan Tia, teman sekampusnya dulu ingin berbincang tentang anak-anak mereka. Berdiskusi tentang autisme. Ingin berbagi pengalaman untuk kemajuan anak-anak mereka berdua.

Ning sudah sampai di taman koleksi, dicarinya Tia. Oh, itu dia berkerudung orange menyala. "Tia", teriak Ning sambil mendekati temannya. Yang dipanggil langsung berlari mendekat, mereka berpelukan melepas rindu. 

"Eh, kita sudah berapa tahun ya tidak ketemu?" tanya Tia.

"Gak tau tuh, kayaknya sejak kita lulus belum pernah ketemu lagi", kata Ning ketawa.

"Ngobrol di WA grup aja ya kita", lanjut Tia.

"Alhamdulillah, akhirnya diizinkan ketemu", kata Ning bersyukur.

"Iya, Alhamdulillah. Mbak, aku bawa sedikit oleh-oleh nih. Kita cemal cemil aja sambil ngobrol" sambung Tia.

"Mbak, bagaimana itu ceritanya. Autis is curable, autis bisa sembuh. Yang benar aja Mbak. Anakku autis 25 tahun belum sembuh Mbak, belum bisa ngomong. Masih begitu-begitu aja. Sudah aku bawa anakku kemana-mana. Ke dokter-dokter, terapi ke mana-mana, minum suplemen ini itu. Belum sembuh lho Mbak Yu. Eh, kok di status Mbak, ngomongnya autis bisa sembuh. Lha aku kaget tho. Makanya aku pengen banget ketemu Mbak", mulailah Tia nerocos.

Ning kalem aja, dicobanya oleh-oleh Tia dari Sulawesi Selatan. Entah, apa namanya kue itu, rasanya enak tentunya.

Ning pelan-pelan mengingatkan Tia akan pelajaran aqidah yang dulu pernah mereka pelajari saat tingkat persiapan bersama di Masjid Kampus. 

"Tia, ingat materi responsi agama Islam tentang rukun iman yang enam?" tanya Ning.

"Ingat dong, pertama iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab, iman kepada Rasul, iman kepada kiamat dan iman kepada qadla dan qadar", jawab Tia semangat.

Ning, memulai bicara ke topik utama, "Kita bahas yang pertama dulu. Iman kepada Allah. Kamu yakin gak, Allah bisa menghidupkan dan mematikan? Bisa menyembuhkan yang sakit? Bisa memberi rizki?"

"Ya, sebagai seorang yang beriman pasti yakin", jawab Tia.

"Lha, kenapa untuk anak autis kamu gak yakin bisa sembuh dengan izin Allah?" lanjut Ning.

"Lha bagaimana ya. Aku sudah berusaha maksimal dan berdoa terus. Tapi anakku belum sembuh-sembuh juga. Trus aku harus bilang apa? Bisa sembuh? Anakku tidak progress Mbak", sambung Tia lagi.

"Kalau menurutku autis itu bukan penyakit tapi gangguan. Karena gangguan maka tidak bisa sembuh, hanya bisa dimaksimalkan", tegas Tia.

Ning menghela nafas, "Berarti menurutmu, gangguan tidak bisa disembuhkan?" 

Ning memperbaiki duduknya, "Pernah dengar kisah Imam Bukhori yang sembuh dari buta? Berkat doa Ibu, Allah izinkan beliau yang buta saat kecil sembuh dan menjadi ulama besar".

"Ah, itu kan kisah orang-orang dulu yang bersih hatinya", tungkas Tia

Ning tersenyum, "Mengapa kita tidak berusaha terus-menerus membersihkan diri dan hati kita, hingga Allah berkenan mengabulkan doa-doa kita?"

"Berdoalah kepada Ku, akan Aku kabulkan permintaanmu, firman Allah dalam Al Qur'an".

"Al Qur'an itu mukjizat hingga akhir jaman. Berbeda dengan mukjizat lainnya yang berlaku hanya untuk Nabi dan hanya saat itu terjadi. Mukjizat Al Qur'an sepanjang jaman, bukan hanya Nabi Muhammad saja yang bisa menggunakan, tapi kita umatnya diberi pusaka Al Qur'an untuk mewujudkan mukjzat itu", tegas Ning

"Berdoalah, bersandarlah sepenuhnya ke Allah. Insya Allah mukjizat itu bisa kita dapatkan."

"Allah memberi soal pasti ada jawaban. Allah Maha Rahman Maha Rahim."

"Jangan karena anak kita gak progress setelah melalui jalan yang mendaki dan berliku, lalu kita,mengambil kesimpulan yang salah".

"Jangan seperti orang Yahudi, yang minta bukti semua firman Allah. Jika Allah bisa menghidupkan dan mematikan, ayo hidupkan mayat ini. Jika Allah memberi rizki, turunkan makanan dari langit. Keimanan pada yang ghaibnya kemana? Gak ada kan? Masa kita begitu seperti mereka?"

"Ada lho yang sembuh tanpa bekas dan aku melihatnya dengan jelas. Meski ada yang sembuh tapi masih ada gejala sisa seperti anakku."

"Tapi kan doaku tetap memohon kesembuhan tanpa meninggalkan bekas. Kalau Allah memberinya masih ada bekas ya berbaik sangka saja, Allah menginginkan kita jangan sampai lupa kepada-Nya."

"Untuk kasus anakmu yang belum diberi kesembuhan, jangan putus asa. Ikhtiarmu sudah dinilai. Kan ikhtiar dan doa yang dinilai Allah, prosesnya bukan hasilnya."

"Jika ikhtiar dan doa belum sesuai keinginan kita. Ingat saja, siapa tahu ini jadi tabungan pahala kita di akhirat kelak". 

"Diberi kesembuhan atau tidak itu wilayah Allah, bukan wilayah kita. Wilayah kita hanya usaha dan doa yang tak putus".

"Kok aku jadi 'blank' gitu ya", komentar Tia jujur.

"Lha, kemana aja Neng geulis, gak pernah dimurajaah lagi ya ngajinya? Itu baru iman kepada Allah lho. Belum iman kepada yang lain. Apalagi bahasan iman kepada qadha dan qadar, harus khatam dulu tuh iman-iman yang sebelumnya. Kalau gak, nanti bisa-bisa suka gak ridlo dengan takdir yang sudah Allah catat untuk kita", lanjut Ning.

"Haduh, minum dulu Mbak", kata Tia menyodorkan air mineral. 

"Terus masih ada satu pertanyaan lagi nih Mbak, tentang diet. Apa iya harus diet seribet itu?" protes Tia.

Ning dengan sabar menjelaskan, "Saya itu bersyukur kuliah di gizi masyarakat dan sumberdaya keluarga. Karena jadi tahu biokimia makanan. Pengaruh makanan ke dalam tubuh kita. Bukan kita juga pernah diajari mengatur dan menghitung zat gizi makanan untuk penderita diabetes, hipertensi, penyakit gout dan lain-lain saat kuliah dulu?"

"Lalu ketika ada ilmu diet untuk autisi kita jadi bingung dan menentangnya?"

"Oke jika ada ahli yang meneliti dan hasilnya tidak signifikan menurutnya".

"Kalau aku, kucoba dulu. Kalau ada efek baik diet ini ke anakku maka aku teruskan. Jika tidak maka aku stop. Jangan apriori sebelum mencoba dan membuktikan. Jangan ikut-ikutan kata orang. Ikut orang juga harus dengan ilmu, menolak juga harus dengan ilmu", lanjut Ning.

"Lha, iyalah. Aku pikir, kalau anakku gak boleh makan ini dan itu. Lha terus makan apa?  Tia membela diri.

"Lha, yang dilarang itu sedikit. Yang diperbolehkan itu banyak Neng geulis. Makanya belajar. Ayo belajar lagi", sahut Ning 

Hari makin siang dan mereka pun ngobrol terus hingga adzan dhuhur mengharuskan mereka rehat sejenak ke masjid kampus. Perbedaan pendapat tak menghalangi persahabatan mereka.

Baca juga:

0 Comments: