
Oleh. Ratty S Leman
Ahad pagi yang melelahkan. Seperti malam-malam sebelumnya, Faiz tak tidur semalaman. Rewel, nangis minta keluar rumah. Tangisannya setiap malam mengganggu tidur Ning dan Kenang, juga tetangga sebelah rumah.
Faiz akhirnya tidur setelah subuh. Ning meluruskan badannya di kursi tamu. Di depannya duduk Kenang tak kalah capeknya menemani mereka berdua begadang hampir tiap malam.
"Kita harus memeriksakannya ke dokter", kata Ning kepada suaminya. "Dokter anak?", tanya Kenang. "Entahlah, dokter anak atau dokter rehabilitasi medis. Yang penting kita bawa dulu ke rumah sakit", tegas Ning.
"Anak kita belum bicara padahal usia 18 bulan, mondar-mandir, jika dipanggil tak menengok, malam rewel tak bisa tidur, terlalu aktif dan masih banyak keluhan lainnya," keluh Ning.
Dia melanjutkan argumennya, "Meski kata Ibuku, ah biasa itu anak laki-laki jika telat bicara. Biasanya anak laki-laki jalan dulu baru bicara. Kalau anak perempuan biasanya bicara dulu, jalannya yang lambat."
Tapi menurut teori yang aku pelajari di bangku kuliah, anak kita mengalami hambatan dalam tumbuh kembangnya. Menurut KMS (Kartu Menuju Sehat) tumbuh kembang, seharusnya anak usia satu tahun sudah keluar suara dua suku kata misal mama, dada, papa. Anak kita diam saja, hiperaktif dan jika malam susah tidur."
Kenang terdiam berpikir, akhirnya setuju dengan pendapat istrinya. Keesokan harinya mereka berencana membawa Faiz ke rumah sakit di klinik tumbuh kembang.
***
Sore itu mereka sudah bersiap membawa Faiz ke klinik tumbuh kembang anak. Seperti biasa, Faiz tak bisa tenang. Berlari ke sana ke mari di dalam rumah, tapi selalu paham jika ibunya memakai kerudung matanya bulat berbinar-binar. Dia paham akan diajak pergi keluar rumah. Diulurkan tangannya minta digendong.
Digendongnya Faiz menuju ke depan gang menunggu angkot. Begitu angkot datang mereka bertiga segera naik. Ning dan Kenang sudah hafal, jika lewat sungai Jembatan Merah, pasti Faiz minta berhenti untuk sekedar menengok sungai melihat air mengalir. Untuk berjaga-jaga agar hal itu tidak terjadi, diajaknya Faiz bercanda dan berinteraksi sehingga lupa kebiasaannya menengok sungai itu supaya perjalanan lancar.
Sesampai di rumah sakit mereka mendaftar dan menunggu antrean untuk konsultasi dengan seorang dokter wanita. Setelah menunggu, tak lama kemudian nama Faiz dipanggil.
Dokter wanita itu menyapa dengan ramah menanyakan keluhan. Ning menjelaskan tentang kondisi anaknya sejelas-jelasnya dan sedetail-detailnya. Kenang menambahkan beberapa point yang terlewat diceritakan istrinya tentang anak mereka.
Baiklah, diagnosa belum bisa ditegakkan karena masih 18 bulan. "Kita stimulus saja dengan berbagai terapi di sini ya. Semoga nanti bisa duduk, bisa kontak mata dan akhirnya berkurang hiperaktifnya dan bisa bicara", kata dokter wanita itu menjelaskan.
Sebagai orangtua yang awam, Ning dan kenang mengangguk dan menurut saja apa kata dokter. Mereka berharap terapi yang akan dijalani Faiz akan bisa mengejar ketertinggalan perkembangnya.
Sejak usia 18 bulan itulah Faiz mengikuti rangkaian terapi di rumah sakit itu. Terapi okupasi, terapi sensori dan terapi wicara.
Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk semua layanan terapi ini. Kenang yang baru saja mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) tentu saja bingung. Tapi dia yakin, akan ada rezeki untuk menterapi anaknya.
***
Kereta hari itu suasananya padat dan udara panas. Faiz mulai tak betah, mondar mandir ke sana kemari hingga sampai di kepala gerbong kereta. Diketuk-ketuknya pintu ingin masuk. Ning mengingatkan tidak boleh. Semakin dilarang tangisnya semakin kencang. Tiba-tiba petugas kereta datang menghampiri dan dengan sopan bertanya, "Ada apa Bu, apa ada yang bisa kami bantu?" Ning kikuk menjelaskannya, "Anak saya Pak, pengen pintu masinis ini di buka, mungkin pengen masuk". Petugas itu tersenyum dan segera membukakan pintu, "Ooo begitu, mari silakan jika ingin masuk". Ning keheranan dan bertanya, "Boleh Pak?" Petugas tersenyum lagi, "Boleh Bu". Petugas tersebut mempersilakan Faiz duduk persis di sebelah masinis. "Pengen lihat sopir kereta ya Dik?" komentar Pak Masinis ramah.
Alhamdulillah, pengalaman yang menyenangkan hari ini. Tidak dimarahi orang, tapi justru dimengerti. Mereka pun akhirnya berbincang akrab dengan Pak Masinis. Jika Faiz tidak menangis rewel minta pintu masinis di buka, tak mungkin kami seumur hidup bisa naik kereta di ruang masinis.
***
Mereka berhenti di Stasiun Cikini untuk melanjutkan perjalanan ke RSCM. Alhamdulillah Faiz kooperatif dan tidak rewel lagi. Sesampai di RSCM dia pun melakukan aktivitas seperti biasa, mondar mandir di seluruh ruangan rumah sakit.
Tibalah saatnya nama Faiz dipanggil. Setelah masuk dan berkonsultasi cukup lama untuk 'assesment' akhirnya keluarlah diagnosa autisme dari dokter tersebut. Kami berdua mengenyitkan dahi karena belum paham apa itu autisme.
Mereka diberi resep dan buku-buku tentang autisme untuk dibaca dan dipelajari. Dokter tersebut menyarankan anak kami diterapi di kota kami saja, tidak usah ke Jakarta.
***
Sepulang dari RSCM dan berbekal diagnosa itulah mereka mulai belajar apa itu autisme dan penangannya. Ada beberapa kriteria yang masuk, namun ada beberapa yang tidak.
Tetap mereka lanjutkan terapi untuk Faiz, meski di kinik tumbuh kembang hanya sekali sepekan karena ketiadaan biaya. Selebihnya Ning harus bekerja dan belajar keras memberdayakan diri agar bisa menterapi sendiri anaknya.
Alhamdulillah, tahun demi tahun berlalu. Sejak kebingungan mereka saat Faiz berusia 18 bulan hingga akhirnya diagnosa autis ditegakkan di usia 3 tahun. Di usia 4 tahun Faiz mengalami banyak kemajuan. Yang tadinya tidak bisa duduk akhirnya bisa duduk. Yang tadinya tak bisa kontak mata akhirnya bisa kontak mata. Yang tadinya sulit tidur malam dan suka begadang akhirnya bisa tidur nyenyak. Di usia 4 tahun itulah Faiz bisa verbal, bisa mengucapkan kata bermakna seperti Ibu, maem, bobok, mimik, pipis, eek dan lainnya.
Bahagianya hati Ning dan Kenang. Bersyukur atas segala nikmat yang tercurah. Yakinlah mereka bahwa autisme bisa sembuh dengan izin Allah. Faiz bisa diterima di SDIT reguler dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Ning dan Kenang bahagia. Akhirnya kelelahan mereka selama ini semakin berkurang. Faiz semakin menampakkan kemajuannya. Kesabaran dan keikhlasan, itulah pelajaran yang mereka dapat dalam membersamai amanah yang dititipkan kepada mereka. Amanah terindah yang Allah berikan.
Baca juga:

0 Comments: