Headlines
Loading...
Oleh: Ana Mujianah 

Hening. Sayup kudengar nyanyian burung di kejauhan. Mendayu memilukan hati. Menggambarkan suasana malam yang sunyi. Suara jangkrik pun tak terdengar mengerik. Hanya desir angin yang berhembus pelan. Seolah ingin membisikkan sesuatu.

Malam pun semakin larut. Namun, aku masih enggan beranjak dari teras rumah. Kurapatkan kaki dan kedua tangan untuk mengusir dingin yang mulai menusuk tulang.  Duduk terpaku menatap daun pisang di halaman yang tertiup angin. Anganku mengembara. Mengingat sesuatu yang mengusik jiwa.

"Wes to nduk ora usah neko-neko. Nganggo klambi sing biasa wae!" Ibuku mulai percakapannya waktu itu. Wajah tuanya nampak kusam tak bersemangat. Ada gurat resah bergelayut di sana.

Aku sendiri sebenarnya tidak kaget dengan kata-kata ibu. Mengingat ketegangan yang terjadi antara aku dan ibu beberapa hari ini soal pakaian baruku. Ya, pakaian baruku yang berbentuk gamis. Orang-orang menyebutnya daster ibu hamil. Ibuku tidak suka aku memakai itu.

"Sing biasa niku pripun menurut njenengan, Bu?" Aku menimpali dengan sangat hati-hati. Hati ibuku terlalu lembut. Salah ucap sedikit saja, bisa-bisa membuat ibuku menangis.

Seolah faham maksudku, dengan suara agak meninggi ibuku menjawab, "Awakmu dudu jebolan pondok."

"Bapakmu cuma wong tani."

"Awake dewe ki dudu turunan priyayi!"  

"Makanya, kamu nggak usah macem-macem dandan ngikutin Azizah putrane Pak Kaji!"

"Lha terus nopo kaitane kalih pakaian kulo bu?" Aku kembali bertanya pelan dan sangat hati-hati.

Berusaha mencari celah dan titik lembut hati ibuku agar bisa menyampaikan kebenaran Islam yang aku fahami, tentang pakaian pada ibuku. Bahwa menutup aurat itu adalah kewajiban setiap muslimah.

Aku sadar, bagaimanapun aku adalah seorang anak. Yang harus hormat terhadap orang tua jangan sampai dicap anak durhaka. 

"Aku ki bingung arep njawab piye maneh, nanggepin omongane wong-wong kae," sahut ibuku dengan mata mulai berkaca.

"Jarene awakmu saiki aneh, sesat, teroris mergo awakmu nganggo klambi ga koyok biasane," gerutunya.

Aku pun memilih diam. Kupikir ini bukan saat yang tepat menjelaskan. Di saat hati seseorang sedang tak bersahabat karena diselimuti emosi sesaat.

"Ibu mau dibuatkan teh hangat?" bisikku pelan sambil meraih tangan ibuku. Wanita yang telah melahirkanku itu hanya menggeleng.

"Ya sudah, ibu istirahat saja dulu." Aku menggandeng tangan  ibuku ke kamar.

**
Waktu pun terus berlalu. Hidayah yang datang menuntut keteguhan jiwaku. Berislam tak sekedar merubah penampilan namun juga tingkah laku. Berani menentang arus budaya yang berlaku jika memang tak sesuai syariat. Meskipun harus berbeda bahkan dikucilkan masyarakat.

Beruntung aku dipertemukan dengan teman-teman yang saliha. Yang selalu sabar mengajariku tentang Islam. Yang tak pernah lelah mengajakku belajar pada satu guru ke guru yang lain. Yang menguatkanku pada jalinan ukhuwah yang ikhlas. 

Hingga aku mampu berdiri tegak menemukan jati diriku. Walaupun aku sadar godaan selalu terbentang di hadapan, yang bisa membuatku berbalik arah dari ketaatan. Namun, keimanan dengan proses berfikir yang cemerlang telah menguatkan tekadku. Sehingga mampu menjadi benteng mengalahkan hawa nafsu.

Maka, akupun berusaha meyakinkan ibuku. Bahwa berislam tak perlu legitimasi orang. Karena apa yang dianggap benar oleh kebanyakan orang, belum tentu benar di mata Allah Swt. 

Memang tak mudah mematahkan pendapat yang sudah mengakar dan menjadi kebiasaan. Butuh waktu dan kesabaran. Maka aku pun berprinsip, jika ibuku bagaikan karang di lautan, yang tak mudah goyah oleh terjangan ombak yang garang, maka aku pun harus bisa seperti air hujan yang tak lelah menetes di atas bebatuan. Hingga suatu hari nanti terbentuklah lubang karena tetesan air yang tak pernah lekang.

"Ya Allah, berilah petunjuk kepada ibu hamba," pintaku setiap kali usai salat lima waktu. 

"Ibu pancen bodo soal agama."  Satu kalimat tak terduga itu pun kudengar bagai tetesan embun pagi yang menyejukkan seluruh relung hatiku.

"Jamane wes bedho."

"Biyen ngaji ngertine mung moco Yasin diulang-ulang."

"Nyatane isine Al Quran ora mung surat Yasin thok, tapi macem-macem aturan kanggo ngatur uripe menungso."  Ibuku manarik nafasnyadalam sebelum melanjutkan.

"Kamu bener."

"Nglaksanakne perintahe Gusti Allah kuwi memang wajib kanggo wong muslim kabeh, ora pilih-pilih." Beliau lalu terdiam sejenak.

"Sekarang, kalau kamu memang yakin itu perintahe Gusti Allah, Ibu nggak akan melarang lagi."

"Yang penting istiqomah. Jangan buka tutup-buka tutup koyok portal. Saiki ditutup rapet sesuk diobral,"  nasehat ibuku untuk meyakinkanku.

Tak bisa dibendung lagi, buliran bening itu pun jatuh membasahi pipiku. Kupeluk erat tubuh tua ibuku dengan penuh haru sambil berbisik, "Matur suwun nggih bu, mugi-mugi Gusti Allah paringi  istiqomah."

Ibuku mengusap kepalaku lembut sambil mengangguk. Sungguh, dukungan ibu bagai seribu kekuatan bagiku agar tetap teguh menjalankan Islam dengan kaffah. 

TAMAT

Baca juga:

0 Comments: