Headlines
Loading...
Penulis: Desi

Seperti biasa di pagi hari pamannya sudah berada di meubelnya untuk membersihkan ruangan tersebut dan menyiapkan segala peralatan. Bening sempat berhenti, melihat pamannya yang sedang sibuk. 

Kemudian ia mengayuh sepedanya melewati tempat di mana pamannya berada. Dia mengumpat dirinya, merasa terlalu pengecut untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya.

Bibi Ois yang ternyata melihat tingkah Bening segera menghampiri suaminya dan berkata, "Tadi liat Bening lewat engga, Yah." 

"Ayah engga liat," jawab suaminya singkat.

"Ayah yang nanya dulu, ngapa," ucap Bibi Ois.

"Biarin aja buat pelajaran dia," jawab suaminya tanpa menoleh ke arah Bibi Ois. 

"Dia ponakanmu satu-satunya. Jangan benci dia, ya, Yah," pinta Bibi Ois yang disambut senyum oleh suaminya.

"Ya engga lah. Kejadian kemarin juga Ayah salah. Tapi Ayah juga sengaja diam aja biar dia mikir kalo tindakannya juga engga baik," ucap suaminya.

"Ya semoga Bening mikir seperti itu. Kalo Bening engga minta maaf duluan, Ayah harus ajak ngobrol dia loh," pesan Bibi Ois.

"Iya. Udah sana siapin sarapan," ujar suaminya. 

"Siap," jawab Bibi Ois penuh semangat.

"Ah, kenapa sih bilang maaf aja susah banget," ucap Bening dalam hati. 

Bening melaju bersama sepedanya ditemani pikiran yang tak karuan. Hawa dingin menyerang tubuhnya. Wajah cantiknya tersaruk cahaya malu-malu mentari yang menembus celah-celah awan.

Ribuan embun di pucuk daun bak mutiara yang berkilauan tersepuh surya yang datang menyapa ramah. Asanya menggebu memperbaiki keadaan di hari kemarin, nyatanya belum sanggup ia tunaikan.

Nafas berat berembus dari mulutnya. Tak terasa gerbang sekolah telah nampak di depan mata. Bening turun dari sepedanya dan menuntun hingga ke parkiran khusus kelas 8.

"Bening, Assalamualaikum," sebuah suara membuat Bening menoleh.

"Waalaikum salam, Aliput cantik," jawab Bening dengan wajah menggemaskan.

"Gimana, sudah baikan sama pamanmu?" tanya Alifa.

"Kenapa ya, Put. Mulutku kok susah banget diajak kompromi," wajah Bening menekuk dengan mulut seperti ikan buntal.

"Jadi kamu belum ngobrol sama pamanmu?" tanya Alifa sedikit kaget diiringi gelengan kepala Bening.

"Insyaallah nanti aku coba lagi. Bismillah semoga nyaliku kuat," ucap Bening yang diberi semangat oleh Alifa.

"Oiya, Put. Aku boleh nanya?" Bening bertanya setelah mereka sampai di kelas dan duduk di meja mereka.

"Apa?" ujar Alifa.

"Maaf, ya, Put. Aku bertanya-tanya terus sepulang dari rumahmu. Ibumu kok engga pake kerudung, ya." Bening memberanikan diri bertanya.

"Dulu engga pernah terlintas pertanyaan itu karena aku belum tau kalo kamu ngaji," tambahnya.

Alifa tersenyum tapi ada aroma kesedihan pada wajahnya. Dia menghela nafas panjang kemudian menjawab pertanyaan Bening.

"Itu ujian tersulit bagi aku, Ning. Tapi aku tetep bersyukur karena sekarang ibuku engga nglarang-nglarang lagi aku ngaji."

"Apa sebelumnya kamu engga boleh ngaji?" tanya Bening heran, Alifa tersenyum mengangguk.

"Sering pas mau berangkat ngaji aku disuruh ganti baju pake baju yang kata ibuku lagi trend," ujar Alifa.

"Aku terus mencari cara agar aku bisa ngaji. Seringnya aku minta bantuan temen untuk nyamper dengan alasan belajar kelompok." Alifa menceritakan masa-masa sulitnya.

"Aku bawa gamis dimasukkan di dalam tas dan dari rumah aku pake baju yang ibuku mau. Sampai tempat kajian aku ganti baju dulu," ucapan Alifa membuat Bening tertampar.

"Ibuku menjadi korban kapitalis. Berpikirnya untung rugi materi. Itu menjadi tantangan terberat bagi aku, tapi aku engga mau kalah."

"Tentang korban kapitalis, kita semua yang hidup di bawah naungannya ya, menjadi korban karena ikut terdampak dari penerapan sistemnya," pembahasan ini membuat Bening mengerutkan dahinya.

"Nanti kalo kamu udah ngaji bakal tau apa itu kapitalis. Aku lanjut ceritaku aja, ya." Alifa mengerti jika Bening belum paham, kemudian melanjutkan ceritanya.

"Aku terus berusaha menyampaikan pemahaman Islam sedikit demi sedikit dengan penuh hati-hati dan pelan banget."

"Aku berdoa sama Allah semoga Allah buka hati ibuku untuk menyambut hidayah."

"Jika bukan dari lisanku, semoga Allah hadirkan orang lain yang omongannya bisa didengar ibuku."

"Dia baru bener-bener ngizinin aku ngaji, ya, belum lama ini." Alifa terus bercerita.

"Dia sering mendapat curhatan dari pelanggannya tentang anak-anak mereka yang sulit diatur. Bahkan ada yang terpaksa berhenti sekolah karena hamil."

"Dari situ ibuku mikir. Di luar sana pergaulan engga terkendali. Kalo engga punya sesuatu untuk pegangan pasti kebawa arus, begitu kata ibuku," ucap Alifa.

"Alhamdulillah sekarang malah suka nanya jadwal ngaji dan dia mau nganterin."

"Ya, meskipun dia belum mau menutup aurat dan belum mau ngaji, tapi setidaknya aku sudah diizinkan ngaji," ucapan Alifa membuat Bening berkaca-kaca.

"Membelokkan hati seseorang engga semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, biarpun sulit, semoga pelan-pelan ibuku mau hijrah bersamaku."

"Ya, Allah. Itu menjadi momen yang sangat aku tunggu," kedua tangan Alifa menengadah ke langit.

"Bersama sahabatku dalam kajian, itu pun menjadi doaku. Semoga Allah kabulkan," kedua tangannya dibasuhkan ke wajahnya.

Mendengar cerita Alifa, tenggorokan Bening serasa mendapat pukulan yang menyesakkan. Hatinya begitu trenyuh. Ada seonggok malu menyelimuti pikirannya.

Bersambung

Baca juga:

0 Comments: