Headlines
Loading...
Oleh. Teti P. Firdaus

Disitu ada keuntungan maka apapun dilakukan, tidak memiliki standar yang jelas yang penting untung. 

Mendatangi kantung massa seperti Pondok Pesantren, Yayasan Islam dan Ulama atau Kyai, yang memiliki basis massa yang banyak, melimpah. Walaupun Pemilu masih dua tahun lagi, namun jurus menimba suara mulai dilakukan para calon anggota dewan dan para penikmat jabatan. 

Tidak segan berganti penampilan berkerudung, berkoko dan berkopiah serta surban walau mereka non muslim, demi pencitraan seolah mereka dekat dengan konstituen. Gelontoran bantuan, bingkisan sembako segera disalurkan. Terbaca jelas dengan mata mengapa tiba-tiba menjadi ramah dan dermawan. Rupanya memang ada tujuan terpendam ingin dukungan umat Islam.
 
Bagi-bagi amplop sebagai pendekatan menyuap suara rakyat. Mereka lupa ketika sudah menjadi pejabat, kacang lupa kulit, bahkan kebijakan sungguh tidak bijak dan menyakitkan, menyengsarakan umat. Baliho besar berderet di sepanjang jalan. Penampilan menarik lengkap dengan seribu janji. Slogan indah yang membius, karena ambisius sang calon pejabat wakil rakyat. 

Islam mempunyai mekanisme yang jelas ketika memilih pemimpin. Ada kriteria yang jelas menurut syarak, dan tidak lepas dari ketetapan hukum syarak tentang sistem yang akan diterapkan. 

Sistem Demokrasi vs Sistem Islam
1. Sumber Hukum
Hukum dalam demokrasi dibuat oleh manusia yaitu berasal dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat. Manusia membuat hukum dan sesuai kehendak manusia. Sementara dalam Islam, kedaulatan milik Allah, hukum berasal dari Allah dan sesuai  dengan kehendak Allah. Al-Qur'an dan As-sunah, ijmak sahabat serta qiyas, semua berasal dari wahyu Allah, bukan keinginan hawa nafsu manusia.
2. Hukum syarak sekalipun sedikit yang mengemban maka itulah yang berlaku. Sementara demokrasi berkeyakinan suara terbanyak menjadi andalan. Dalam sistem demokrasi, suara terbanyak menjadi kemenangan, sekalipun suara didapat dengan kecurangan, menyuap, dan yang lebih parah suara para penjahat pelaku kriminal bahkan suara orang gila pun dianggap sah. Dalam Islam hanya orang sehat lahir batin dan balig serta mukallaf saja yang diterima dimata hukum, orang gila tidak diterima kesaksiannya. Apalagi suaranya. 
3. Wakil rakyat merupakan amanah
Menjadi wakil rakyat adalah amanah berat yang akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah sehingga pada masa Islam tidak banyak orang yang mau mengembannya. Karena mereka khawatir tidak bisa menjalankan amanah itu. 
4. Wakil rakyat bukan petugas partai
Dalam Islam seorang aktivis partai ketika terpilih menjadi wakil rakyat maka dia harus keluar dari partainya, karena khawatir akan membela dan menyuarakan partainya, sehingga akan cenderung berjuang membela partainya atau bahkan menjadi petugas partai. Sedangkan dalam demokrasi, para pejabat bebas mengeruk kekayaan dan memfasilitasi partainya untuk mendapat berbagai fasilitas serta kemudahan akses demi partainya. 

Keberadaan partai dalam Islam adalah untuk dakwah Islam, untuk menyeru kepada penguasa, supaya diterapkannya hukum Allah secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. 

Partai Islam berfungsi untuk mengoreksi jalannya kekuasaan, apakah hukum Allah yang ditegakkan? Bukan malah berkoalisi, berpelukan erat dengan partai sekuler dan partai yang berhaluan jauh dari dakwah Islam. Mana mungkin partai yang bertentangan bisa berkoalisi, demi apa? 

Partai Islam jangan terjebak pada azas demokrasi yang ikut menyuburkan kerusakan, karena visi dan misinya tidak jelas. Partai Islam haruslah berjuang untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin, bukan untuk mencari uang serta menikmati fasilitas dan tunjangan hidup seperti wakil rakyat di alam demokrasi kapitalis saat ini.
 
Partai Islam, saatnya rapatkan barisan. Sudah nyata kerusakan sistem demokrasi kapitalis sekuler, berdiri tanpa standar yang jelas. Saatnya kita kembali kepada sistem pemerintahan Islam. Jika ingin hidup sejahtera, aman dan damai, maka taatlah pada aturan Allah dan gapailah rido-Nya. Saatnya tinggalkan demokrasi, tegakkan Islam kaffah!

Wallahu A'lam

Baca juga:

0 Comments: