
OPINI
Sistem Peradilan Demokrasi Mustahil Berantas Korupsi
Oleh Umi Hafizha
Kasus suap dan korupsi tak pernah absen dari pemberitaan. Kasus yang terbaru menyeret Hakim Agung Sudrajat Dimyati. Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk segera mengevaluasi integritas secara menyeluruh, mulai dari Hakim Agung sampai hakim di Pengadilan Negeri.
Peneliti ICW, Lalola Easter menyatakan bahwa lemahnya proses pengawasan lembaga, baik oleh badan pengawas MA maupun Komisi Yudisial, semakin membuka celah banyaknya korupsi di sektor peradilan. (Kompas.com, 25/9/22)
Baru-baru ini dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam Jakarta Pusat pada hari Selasa, 4 Oktober 2022, Menteri Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintah akan membentuk konsep besar sistem peradilan di Indonesia. Hal itu bertujuan untuk melakukan reformasi hukum peradilan pasca insiden kasus korupsi Hakim Agung Sudrajad Dimyati.
Mahfud menambahkan, dalam konsep besar yang dilahirkan dari FGD bersama 29 Aktivis, tokoh, dan pakar hukum tersebut, akan dibuat Intergrasi Sistem Peradilan, sehingga fungsi dan batasan kewenangan setiap lembaga hukum bisa diatur lebih jelas dan tidak disusupi modus kejahatan. (Kompas.com, 4/10/22)
Kasus suap Sudrajad Dimyati menambah panjang daftar penegak hukum korup di Indonesia. Sebelumnya, ada penangkapan Jaksa Pinangki yang terlibat suap dan gratifikasi dalam kasus Joko Candra. Pada tahun 2022, KPK juga menangkap Sekretaris MA Nurhadi yang menerima suap dan gratifikasi puluhan miliar rupiah.
Benar, peradilan di negeri ini membutuhkan pembenahan dan perubahan. Marak kasus suap di lembaga peradilan menunjukkan bahwa dalam sistem Demokrasi kapitalis, keadilan itu mudah diperjualbelikan. Ada "supply dan demand" dalam keadilan. 'Demand' yaitu ada banyak pihak yang menganggap pengadilan bukan tempat meminta keadilan. Namun ia adalah tempat memangku keadilan dengan segala cara. Cara instan untuk memenangkan peradilan adalah dengan materi atau uang.
Sedangkan 'supply' adalah pengadilan yang dapat memberikan keadilan sesuai dengan pesanan. Ini terjadi karena sistem Kapitalisme yang bersandar pada asas Sekularisme, telah membentuk manusia untuk berwatak materialistik, dan mengambil gaya hidup hedonis yang minim ketaatan pada aturan Allah.
Maka, jangan heran jika hakim, yang seharusnya menegakkan keadilan, akan tergiur ketika diberikan imbalan harta banyak untuk memutuskan suatu kasus. Hal ini diperparah dengan realita politik Demokrasi yang meniscayakan aturan dibuat oleh manusia dengan segala keterbatasannya yang sarat kepentingan. Hukum akan berpihak kepada siapapun yang memberikan keuntungan. Ketiadaan sanksi tegas yang menjerat pelaku, juga semakin menyuburkan tindak korupsi.
Problem korupsi adalah problem sistematik dan cacat bawaan sistem Demokrasi kapitalis. Oleh karena itu, korupsi tidak mungkin diberantas secara tuntas, meskipun ada lembaga anti korupsi atau dibuat konsep besar peradilan. Oleh karena itu, solusi fundamental untuk mengatasi masalah korupsi adalah dengan menghapus sistem Demokrasi kapitalis yang rusak, lalu menggantinya dengan sistem yang telah terbukti kuat dan stabil, yaitu Sistem Islam.
Sistem Islam tegak berlandaskan pada akidah Islam. Islam bersumber dari Allah Sang Pencipta dan Pengatur. Hanya Islam yang mampu menyelesaikan permasalahan umat manusia, termasuk permasalahan korupsi. Islam telah mengharamkan tindakan suap. Pihak-pihak yang terlibat pun mendapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam bersabda, "Allah melaknat penyuap dan yang disuap dalam urusan hukum." (HR.At-Tirmidzi)
"Yang menyuap dan disuap masuk neraka." (HR.At-Thabrani)
Dalam Islam, kedudukan hukum amat penting. Negara diperintahkan Allah untuk berlaku adil dalam menerapkan syariat-Nya di peradilan. Maka, negara Islam akan serius menumpas praktik suap, terutama di tubuh peradilan, lewat beberapa kebijakan sebagai berikut:
Pertama, Jabatan hakim hanya diisi oleh orang-orang alim dan bertakwa. Untuk mewujudkan keilmuwan dan ketakwaan pada diri manusia ini, dibutuhkan penanaman akidah yang kuat. Akidah Islam melahirkan kesadaran bahwa setiap manusia akan diawasi oleh Allah Swt. Dari sini, akan lahir kontrol (pengawasan) internal yang sedini mungkin akan mencegah korupsi. Mereka tidak mudah tergiur oleh iming-iming harta.
Kedua, Hakim hanya mengadili perkara dengan menggunakan hukum Islam yang berasal dari Allah Swt. bukan hukum yang lain. Hukum Islam adalah satu-satunya hukum yang menjamin keadilan bagi umat manusia, dan bebas dari intervensi manusia, serta tidak dapat ditafsirkan sesuai hawa nafsu manusia.
Ketiga, Hakim wajib menerapkan hukum secara adil yang membuat efek jera sesuai ketetapan syariat Islam. Para pelaku korupsi akan diberikan sanksi 'ta'zir' (sanksi yang kadar dan jenisnya di tentukan oleh negara atau hakim). Sanksi 'ta'zir' bagi para koruptor tergantung dari tingkatannya,- mulai dari nasihat, penjara, denda, pengumuman kepada masyarakat, cambuk hingga hukuman mati.
Keempat, Negara akan mengawasi dan mengaudit kekayaan para hakim, sebagaimana yang dilakukannya pada para pejabat negara lainnya. Jika ditemukan adanya tambahan harta yang tidak wajar, negara akan menyitanya sebagai milik Baitulmal, seperti yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab.
Maka, hanya dengan sistem khil4f4h, negara mampu memberantas korupsi dan menciptakan keadilan di tengah masyarakat.
_Wallahu a'lam bishawwab_.
Baca juga:

0 Comments: