
Oleh. Firda Umayah
Santi masih memegang erat surat yang ditulis dalam sebuah kertas notebook berwarna biru itu. Sesekali ia membukanya dan membaca apa yang tertulis di dalamnya. Wajahnya tersenyum. Menambah manis wajah berkulit sawo matang itu.
"Hayo, baca apa, tuh? Baca surat, ya? Dari siapa, tuh? Sini, Abang baca", tiba-tiba suara bang Jaka mengagetkan Santi. Tanpa ia sadari, pintu kamarnya terbuka sehingga membuat bang Jaka masuk begitu saja.
"Abang ... kan udah Adek bilang, kalau mau masuk kamar Adek, ketok pintu dulu", sahut Santi seraya bergegas memasukkan kertas biru ke dalam laci belajarnya.
Bang Jaka yang terus menggoda Santi akhirnya kena pukul guling yang lumayan berat yang ada di kamar Santi. Sudah seminggu ini, Santi mendapatkan surat yang dikirim oleh seseorang yang tidak ia kenal. Surat itu ia dapat tiap dua hari sekali. Surat itu dikirim melalui jasa kurir dan tertulis nama serta alamat lengkap rumah Santi. Sang pengirim surat hanya menuliskan identitas dengan nama "Penggemar Rahasia".
Isi surat tersebut adalah bentuk pujian sang penggemar rahasia kepada Santi atas prestasi sekolah yang ia miliki. Bahkan, tak jarang sang penggemar juga memuji aktivitas Santi yang aktif pergi ke masjid untuk salat berjamaah dan pergi mengaji ke madrasah diniyah meski kini Santi telah duduk di bangku kelas 10.
Santi selalu memikirkan siapa gerangan yang mengirimkan surat untuknya. Apakah dia laki-laki atau perempuan. Jika perempuan, rasanya tidak mungkin. Sebab Santi bukanlah orang yang populer di sekolahnya. Meskipun ia berprestasi, namun busana seragam sekolah yang ia gunakan tidak seperti yang digunakan pada umumnya. Sebab seragam sekolahnya merupakan modifikasi dari gamis yang biasa ia gunakan sehari-hari.
Ketika malam tiba dan Santi terlelap dari tidurnya, bang Jaka kembali masuk ke dalam kamar Santi dan membuka laci meja belajarnya. Tentu saja, ada tiga surat dengan kertas berwarna biru yang masih disimpan rapi oleh Santi. Melihat hal itu, bang Jaka hanya dapat menggelengkan kepala sembari membawa keluar ketiga surat bersamanya.
Keesokan harinya, Santi mencari surat yang ia letakkan ke dalam laci meja belajarnya. Begitu mengetahui suratnya tidak ada, Santi segera berlari menuju kamar bang Jaka yang hanya berjarak tiga meter dari pintu kamarnya. Ia mendobrak kamar bang Jaka tetapi ia tak menemukan abang yang kini sedang menempuh kuliah pendidikan semester 3 itu. Santi terus mencari keberadaan bang Jaka di dalam rumahnya. Hingga ia melihat kakaknya sedang duduk di teras rumah bersama seseorang yang tidak ia kenal.
"Abang, sini. Adek mau tanya", suara Santi terdengar pelan saat ia berada di samping pintu depan rumah.
"Oh, kamu udah bangun. Kamu duduk di kursi tamu di dalam dulu, ya. Abang ada perlu, mau ngomong sama Adek", jawab bang Jaka. Tak lama Santi melihat teman bang Jaka menyodorkan kertas putih yang berisi tulisan kepada bang Jaka.
Bang Jaka lalu masuk ke kalam rumah dan duduk di samping Santi. Ia lalu menyodorkan surat dengan kertas biru yang sebelumnya Santi dapati dan juga menyodorkan kertas putih berisi tulisan yang bang Jaka terima dari teman yang masih menunggu bang Jaka diteras rumah.
"Coba kamu liat dua tulisan di dua kertas ini. Sama tidak tulisannya?", tanya bang Jaka.
Santi dengan seksama melihat dan menganggukkan kepalanya.
"Berarti selama seminggu kemarin, teman Abang yang ngirimin Santi surat?", tanya Santi.
Bang Jaka lantas menggelengkan kepala. Santi pun menjadi semakin bingung. Santi akhirnya menanyakan apa maksud dia kertas dengan tulisan yang sama yang bang Jaka berikan kepadanya.
Sambil mengusap kepala Santi, bang Jaka menjelaskan bahwa seminggu kemarin, ia ingin menguji Santi atas apa yang telah ia capai. Ia ingin melihat apakah tulisan misterius yang ia kirim untuknya akan membuat ia goyah dalam upaya menjaga hatinya. Abang Jaka juga menjelaskan bahwa ia meminta tolong temannya Dika untuk membantu menuliskan surat untuk Santi. Ini agar Santi tak mengira bahwa surat itu berasal darinya.
"Dek, kalau jadi cewek itu jangan baperan. Kalau ada surat yang gak jelas, gak usah dimasukin ke hati. Soalnya itu bisa mengguncang iman kita. Abang tak bermaksud bohong sama Santi. Abang bangga punya adek pinter, rajin ke masjid dan mau menutup aurat kayak adek. Seperti yang Abang tulis di surat itu. Tapi Abang juga mau adek belajar jaga hati. Biar kalau adek dideketin cowok, adek gak baper, terus banyak berharap. Karena cewek itu gampang disentuh dengan ucapan, pujian, rayuan", jelas bang Jaka.
Santi hanya diam mendengarkan. Abang Jaka lantas meminta maaf jika tindakannya kurang disukai Santi. Namun, kini Santi telah belajar bahwa setiap orang pasti akan diuji dengan hal-hal yang mungkin ia sukai atau bahkan tidak ia sukai. Sehingga semua sikap terhadap segala sesuatu yang terjadi harus disikapi sesuai dengan syariat Islam.
"Adek maafin Abang. Adek juga minta maaf kalau adek masih baperan pas dapat surat yang gak adek kenal. Adek akan belajar lagi agar adek bisa menata hati dan pikiran supaya gak gampang masuk ke pujian atau rayuan orang-orang. Makasih, ya, Abang", ucap Santi.
Sebagai permintaan maaf bang Jaka ke Santi, dia mengajak Santi pergi ke supermarket untuk mentraktir Santi. Namun, saat keduanya sedang berjalan di area belanja, Santi dengan sengaja menggandeng tangan bang Jaka layaknya pasangan muda.
"Adek jangan gitu. Nanti Abang dikira orang udah nikah lagi. Abang kan belum nyari jodoh", ucap bang Jaka sambil melepaskan tangannya dari Santi.
Santi hanya tertawa kecil dan kembali meledek bang Jaka dengan mengatakan, "Salah sendiri. Kemarin-kemarin ngerjain Adek. Sini, mana tangannya. Biar Adek gandeng lagi. Biar cewek-cewek yang suka sama Abang mundur semua", jawab Santi sambil berusaha meraih tangan bang Jaka. Sementara itu bang Jaka mengenggam tangannya sendiri dengan erat. [ ]
Baca juga:

0 Comments: