Headlines
Loading...

Oleh. Desi

"Neng, bangun. Salat Subuh dulu." Ibu membangunkannya. Namun, Bening hanya menggeliat. Netranya begitu sulit untuk dibuka. Serangan kantuk selalu berhasil membuatnya bangun hingga akhir subuh.

"Sudah jam 5, ayo bangun!" Goyangan tangan ibunya pun gagal membuat Bening untuk beranjak dari tempat tidur. Tubuh Bening tak bisa diajak kompromi dengan kemauannya yang tak mau kalah dari ayam jantan yang setia berkokok menjelang Subuh.

Sebenarnya, pembahasan semalam dengan ibunya yang membahas perihal kematian, memunculkan tekad dalam dirinya, pikiran untuk taat melintas di kepalanya. Namun, nyatanya langkah awal untuk mewujudkan tekad itu sungguh alot.

"Alhamdulillah," ucap syukur Bening setelah selesai menunaikan kewajiban salat Subuh. Ia tak peduli meski langit yang mulai terang seolah menertawakannya.

"Neng, Ibu berangkat ke pasar dulu, ya? Kamu hati-hati berangkat sekolahnya," pamit ibunya sambil memeluk tubuh anak semata wayangnya itu.

Ibunya Bening yang akrab disapa Bu Eli itu menyewa sebuah kios di pasar yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Setelah kepergian Arden suaminya, Bu Eli berusaha mencari cara agar kebutuhan keluarga tetap terpenuhi.

Tahun pertama ditinggal suami, menjadi babak baru dalam hidupnya. Tahun penuh perjuangan mencari jalan rezeki demi penghidupan yang layak untuk keluarganya.

Sementara itu, Bening telah sampai di gerbang sekolah kebanggaannya. Buru-buru ia turun dari sepeda dan menuntunnya sampai ke tempat parkir khusus sepeda para siswa.

"Hai Aliput, tunggu!" teriak Bening saat melihat teman sebangkunya berjalan menjauh dari tempat parkir.

Spontan Alifa berhenti menunggu Bening. Ya, namanya Alifa tetapi Bening lebih suka memanggilnya dengan Aliput. Mereka dipertemukan lagi di kelas 8F setelah setahun lalu mereka duduk sebangku di kelas 7G. 

"PR mu sudah dikerjakan?" tanya Alifa.

"Sudah dong," jawab Bening. 

Mereka termasuk murid yang cerdas meski tidak menempati urutan pertama atau pun kedua. Mereka juga bukan siswi yang banyak tingkah seperti kebanyakan teman sekelas lainnya.

"Pulang sekolah ada acara engga, Put?" tanya Bening setelah dua jam pelajaran pertama berlalu.

"Asiiik, mau ngajak makan, ya?" Alifa menyodorkan wajah sumringah penuh harap.

"Makan ciki sambil nonton drakor, yuuk," celetuk Bening spontan merubah mimik Alifa.

"Ogah, ntar ketularan ngehalu kaya kamu," sindir Alifa dengan bibir menyungging.

"Ah, oppa ganteng banget," muka sok imut Bening disambut sabetan buku yang dilayangkan Alifa ke wajah Bening.

"Tuh, kan," Alifa keki melihat tingkah sahabatnya itu.

"Iiih, sewot," ucap Bening.

"Kenapa, sih, kamu enggak suka oppa-oppa ganteng?" Bening merasa heran dengan sahabatnya yang tidak pernah tertarik membahas idolanya itu.

"Ya, karena aku punya the real idol, enggak palsu kayak idola kamu itu," tukas Alifa.

"Iih, palsu apaan? Mereka juga real, udah mah ganteng punya prestasi segudang lagi.  Penghasilannya juga wow," bela Bening untuk idolanya.

"Plastik," singkat Alifa menjawab. 

"Sirik kamu. Aku sih yakin mereka bukan plastik. Sekali pun iya pastinya plastik berkelas tinggi. Jadi, tetep membanggakan," bela Bening yang tidak terima idolanya dikatakan plastik.

"Emang siapa sih, idola kamu?" tanya Bening yang rupanya penasaran juga.

"Idolaku manusia yang paling indah parasnya. Paling mulia akhlaknya. Idola kamu mah ... lewat," ucapan Alifa membuat Bening menerka-nerka.

"Kamu belum ngeh siap yang aku maksud?" Bening menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Alifa.

"Padahal kelak di akhirat seluruh umatnya akan berharap syafaat darinya, berharap diakui sebagai umatnya." Mendengar perkataan ini, barulah Bening paham siapa yang dimaksud.

"Ya ..., itu mah, pasti lah. Maksud aku idola saat ini, loh," kilah Bening yang sebenarnya merasa tercubit oleh omongan Alifa.

"Pasti terlupa, ya," sindir Alifa disambut senyum malu Bening.

"Coba bayangkan..." ucapan Alifa terhenti kala Pak Hendro datang memasuki kelas.

"Aku lanjut nanti," ucap Alifa sedikit berbisik.

"Ok!" jawab Bening.

Tepat pukul 09.55, bel tanda istirahat berbunyi. Pak Hendro guru matematika yang terkenal tegas itu mempersilahkan anak-anak untuk istirahat. Anak-anak berhamburan keluar menuju kantin. Tertinggal hanya beberapa anak saja yang masih di dalam kelas termasuk Bening dan Alifa.

"Lanjut Put, tadi mau ngomong apa," pinta Bening yang jiwanya mulai gundah.

"Intinya jangan salah memilih idola. Idola itu kan sosok yang bisa memberi teladan baik. Memicu kita untuk taat dan meninggalkan maksiat," jelas Alifa.

Alifa berhenti sejenak untuk memakan beberapa suap roti yang dibawanya dari rumah. Sementara Bening memakan camilan yang dibawakan dari kios ibunya.

"Sekali-kali kamu nonton ceramah Ustadz Fuad Naim sih. Dia mantan penggemar berat K-Pop. Pengalamannya dia tulis dalam buku yang dikasih judul Pernah Tenggelam." Alifa meneguk air putih dalam botol transparan berwarna ungu. Kemudian melanjutkan ucapannya, "Coba kamu follow IGnya. Asli, mendengar ceramahnya membuat pikiran kita terbuka." Alifa memperhatikan raut muka Bening dengan seksama seolah mencari sesuatu.

"Tak kuasa aku meninggalkan oppaku," jawaban dari Bening ini membuat Alifa tepuk jidat.

Kelas mulai dipenuhi oleh makhluk-makhluk beregoisme tinggi. Remaja yang sebagian besar gagap agama dan tak tahu arah benar menemukan jati dirinya.

Cilacap, 3 Oktober 2022

Baca juga:

0 Comments: