
OPINI
Kemiskinan Rakyat Sudah Akut, Rekening Kaum Elit Kian Gendut
Oleh. Nur Syamsiah Tahir
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK)
Seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Peribahasa tersebut rasanya layak untuk menggambarkan kondisi masyarakat di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Negeri yang wilayahnya terbentang dari pulau Sabang hingga pulau Merauke ini amat kaya raya. Tak satu pun negeri di dunia yang mengingkari kenyataan ini. Bahkan penyanyi legendaris Koes Ploes memahatkan kondisi tersebut dalam lirik lagunya yang melegenda hingga kini.
Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat, kayu dan batu jadi tanaman.
Hanya saja fakta yang terjadi sekarang sangatlah bertolak belakang. Pasalnya kondisi rakyat di negeri kepulauan ini masih terbelenggu kemiskinan. Apalagi setelah dihantam pandemi corona dan berlanjut dengan kenaikan harga di berbagai barang kebutuhan mendasar rakyat, termasuk naiknya Tarif Dasar Listrik dan BBM. Akhirnya kemiskinan pun kian akut.
Di sisi lain, segelintir orang menikmati kekayaan berlimpah. Bahkan diperhitungkan sampai tujuh turunan kekayaannya tak akan habis. Tentu saja hal ini merupakan ketimpangan yang menyesakkan dada.
Tak bisa dimungkiri fakta ini terjadi akibat tindak korupsi yang merajalela, salah satunya di Papua. Sebagaimana dilansir oleh IDN Times (18/9/2022), Direktur Eksekutif Progressive Democracy Watch (Prodewa) Wilayah Papua, Leonardus O. Magai mendesak pemerintah memberantas kasus korupsi yang ada di bumi Cenderawasih.
Seperti yang disampaikan oleh Leonardus bahwa kasus dugaan korupsi Gubernur Papua, Lukas Enembe, hanyalah satu dari sekian banyak kasus korupsi yang terjadi di Papua. Bahkan tindak korupsi ini pun melibatkan sejumlah pejabat elite di Papua. Fakta keberadaan rekening gendut hingga budaya hidup mewah seperti memakai jam tangan senilai ratusan juta rupiah, kebiasaan pergi ke kasino dengan dalih melepaskan penat, kepemilikan 4 mobil mewah, dan yang lainnya.
Padahal dari sisi rakyatnya, masyarakat Papua masih tertinggal dari daerah lainnya. Kenyataannya Papua telah menjadi wilayah dengan otonomi khusus (otsus) selama 20 tahun, tetapi belum bisa meningkatkan IPM Papua. Bahkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih tertinggal dari daerah lain. Fakta ini terjadi sebagai akibat dari paradigma politik kebijakan yang masih menindas dan sewenang-wenang. Inilah yang menjadi dalang utama di balik tidak meratanya pembangunan di Papua, tegas Leonardus.
“Dari mulai izin konsesi lahan eksploitasi yang korup sampai korupsi dana otsus. Temuan-temuan seperti ini tidak serius diperhatikan oleh pemerintah pusat, karena mungkin secara politik dana otsus itu dianggap sebuah kompensasi terhadap isu keamanan di Papua yang masih bergejolak," katanya.
Jika dirunut mulai dari muara hingga hilir maka fakta yang terjadi di Papua termasuk di wilayah lainnya amatlah rumit. Bagaikan mengurai benang kusut. Apa pasal? Karena kerusakan yang terjadi di Papua khususnya dan di Indonesia ini pada umumnya merupakan kerusakan yang tersistem. Kita bisa membuka mata dan telinga lebar-lebar bahwa kerusakan moral termasuk tindak korupsi, sudah terjadi di setiap lapisan masyarakat dan di setiap lini kehidupan.
Mengapa fakta ini bisa terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam? Padahal agama Islam sudah menyampaikan secara tegas adanya larangan untuk bermaksiat, termasuk mengambil sesuatu yang bukan haknya (ghulul/korupsi).
Kenyataan seperti ini wajar saja terjadi karena agama dalam sistem kehidupan di negeri kita dilarang ikut campur mengurusi permasalahan sehari-hari. Agama hanya dijadikan anutan saat berhubungan dengan Sang Khalik saja. Hal ini terwujud dalam aktivitas salat, puasa, haji, pernikahan, kematian, pembagian harta waris, dan pengajian. Sedangkan dalam menyelesaikan urusan manusia dengan sesama manusia, contohnya tolong-menolong, jual beli, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan lainnya diselesaikan sesuai dengan aturan yang dibuat manusia sendiri. Agama dilarang turut campur dalam pengaturannya, termasuk ketika manusia memanfaatkan hewan, tumbuhan, dan alam sekitarnya bagi kehidupannya sehari-hari. Inilah bukti nyata penerapan fashlud diin 'anil hayah sebagai ide dasar kapitalisme sekularisme di negeri ini.
Alhasil, tak terhitung jumlah hutan yang ditebangi atas nama investasi dan pembangunan. Demikian pula dengan barang tambang, hasil laut, dan sumber daya alam lainnya dikeruk habis-habisan demi meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Dengan begitu maka pantas saja jika rekening penguasa dan kroni-kroninya kian gendut alias tebal. Sebaliknya upaya reboisasi, relokasi, dan semisalnya amat minim dilakukan. Begitu pula dengan rakyat setempat, yang hanya dapat menikmati sedikit sumber daya alam daerahnya. Rakyat hanya mendapatkan remahan dari kue lezat yang terhidang. Maka kemiskinan yang mendera masyarakat pun kian hari kian akut. Inilah buah nyata dari kapitalisme sekularisme.
Oleh karena itu 14 abad yang lampau Rasulullah saw. telah melarang adanya penguasaan terhadap padang rumput, air, dan api. Setiap orang pasti membutuhkan ketiga hal tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padang rumput, air, dan api bisa dimanfaatkan secara umum, maka ketiganya termasuk milik umum. Dengan demikian proses pengelolaannya harus ditangani oleh negara. Kalaupun dalam pengelolaannya membutuhkan biaya produksi, misalnya untuk gaji pekerja, peralatan yang dibutuhkan, biaya perawatan, dan pendistribusiannya, maka wajar jika rakyat dipungut biaya untuk itu. Hanya saja tarif yang dibebankan bisa dipastikan terjangkau oleh rakyat, bahkan bisa jadi digratiskan oleh negara.
Dengan model pengelolaan seperti ini bisa dipastikan setiap individu rakyat dalam negara akan terjamin kebutuhannya, baik kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanannya. Sehingga rakyat benar-benar bisa hidup sejahtera dan aman sentosa. Tak akan ada lagi ketimpangan baik dari sisi rakyat dan penguasa ataupun rakyat dengan negara. Tak akan ada lagi kemiskinan di tataran rakyat, sebaliknya tak akan ada juga rekening-rekening gendut. Oleh karena itu, mari kita terapkan Islam secara kafah agar kesejahteraan hidup terwujud di tengah masyarakat.
Wallahualam bissawab
Baca juga:

0 Comments: