
Oleh Noviana Irawaty
Penghinaan terhadap Islam dan pengembannya sudah sering terjadi. Namun, tak ada tindakan tegas dari penegak hukum. Dengan dalih kebebasan berpendapat, penghina Islam tumbuh subur di era Demokrasi. Bagaimana Islam memandang hal ini?
Kasus terbaru terjadi pada pertengahan September 2022. Seorang 'buzzer' istana, Eko Kuntadhi, melakukan penghinaan agama untuk kesekian kalinya. Kali ini dia melecehkan ayat suci Al-Qur’an sekaligus menghina Ustadzah Imaz Fatimatuz Zahra yang akrab disapa Ning Imaz dari Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. (news.detik.com,15/09/2022)
Saat itu Ning Imaz memposting rekaman dirinya yang tengah menyampaikan tafsir Ibnu Katsir atas QS. Ali Imran: 14 terkait pahala yang akan diperoleh laki-laki dan perempuan di surga nanti.
Orientasi kenikmatan tertinggi laki-laki adalah perempuan, maka balasan pahalanya disediakan bidadari. Sementara, orientasi kenikmatan tertinggi perempuan adalah sesuatu yang indah, sehingga balasannya adalah perhiasan.
Akibatnya, Eko Kuntadhi mencibir Ning Imaz dengan kata-kata pedas dan kasar “t*l*l tingkat kadal, hidup kok cuma mimpi s*l4ngk4ng4n”, begitu cuitannya melalui akun Twitter.
Namun, penghinaan yang dilakukan 'buzzer' atas mubaligah dan ayat suci Al-Qur’an ini berakhir dengan pemberian maaf dari Ning Imaz beserta suaminya Gus Rifqil. Ada apa gerangan?
Sementara Ustadz Maher Ath Thuwailib yang mengatakan sorban Habib Luthfi seolah-olah jilbab, dijebloskan ke bui hingga meninggal dunia di sana.
Usut punya usut, ternyata suami Ning Imaz berteman baik dengan Guntur Romli. Kita tahu siapa dia. Guntur Romli setali tiga uang dengan Eko Kuntadhi. Menurut Romli, Eko Kuntadhi tak mengetahui siapa yang dia serang.
Dia tidak mengetahui bahwa Ning Imaz berasal dari 'Nahdlatul Ulama'. Sementara organisasi masyarakat terbesar di Indonesia saat ini berteman baik dengan penguasa. Artinya, Eko Kuntadhi tidak sadar bahwa dia sedang mengolok-olok temannya sendiri. Sehingga kasus ini dapat diselesaikan dengan menghapus potongan video yang diunggahnya dan menyatakan permintaan maafnya ke media. "Case is closed".
Jika hal seperti ini kita pikirkan secara mendalam, dapat kita tarik benang merahnya.
Yaitu, sistem Demokrasi Kapitalis meniscayakan kebebasan berpendapat. Di bawah sistem ini, kasus pelecehan agama begitu mudahnya selesai dengan permintaan maaf. Tak ada tindakan tegas dari penegak hukum. Mereka seolah-olah bisu dan buta terhadap kebenaran di depan mata.
Para 'buzzer' menyerang seluruh simbol Islam, dan tidak mengkhususkan kepada narasi radikalisme saja. Setiap ada kesempatan untuk menyerang Islam, maka itu akan diambilnya, dengan tujuan menciptakan Islamofobia dan memecah belah persatuan umat Islam.
Bagaimana Pandangan Islam?
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, ”Mengapa kepada Allah dan ayat-ayat-Nya, serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok.” (QS. At-Taubah: 65)
Saat orang-orang munafik yang menghina Nabi itu menyanggah, bahwa mereka melakukan itu hanya sekadar bercanda. Allah menjawab, “Tidak perlu kalian mencari-cari alasan, karena kalian telah kafir setelah beriman.” (QS. At-Taubah: 66)
Syekh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menjelaskan tentang makna ayat ini dalam kitab tafsir karyanya,
فإن الاستهزاء باللّه وآياته ورسوله كفر مخرج عن الدين لأن أصل الدين مبني على تعظيم اللّه، وتعظيم دينه ورسله، والاستهزاء بشيء من ذلك مناف لهذا الأصل.
Menghina Allah, ayat-ayat, dan Rasul-Nya, adalah penyebab kekafiran, pelakunya keluar dari agama Islam (murtad). Karena agama ini dibangun di atas prinsip mengagungkan Allah, serta mengagungkan agama dan Rasul-Nya. Menghina salah satu di antaranya bertentangan dengan prinsip pokok ini. (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 342)
Bila dihukumi murtad, maka pelaku diberikan waktu tiga hari untuk bertobat, jika dalam waktu tersebut tidak mau bertobat, maka para ulama sepakat (‘ijma) bahwa sanksinya adalah hukuman mati. Namun sanksi ini tidak bisa dijatuhkan oleh individu atau kelompok. Hanya negara yang berhak untuk memutuskan.
Imam Al Kasani rahimahullah menerangkan syarat untuk melakukan hukuman had (hudud),
أن يكون المقيم للحد هو الإمام أو من ولاه الإمام
Yang menjalankan hukuman had adalah pemimpin (pemerintah) atau yang mewakilinya. (Bada’i ash-Shonai’, 9/249)
Sungguh kami sangat rindu Islam tegak bersama pelindungnya. InsyaaAllah, tak lama lagi.
_Wallahu a'lam bishawwab_.
Baca juga:

0 Comments: