Headlines
Loading...

Oleh Yuliati Sugiono

Dunia yang sudah meng-global tentu membutuhkan mobilitas yang tinggi. Di era modern ini, mobilitas bisa berupa sarana transportasi baik darat, laut maupun udara. Garuda Indonesia bukan hanya merupakan sarana transportasi udara, tapi juga kebanggaan rakyat Indonesia di dunia internasional, seperti halnya Qatar Airways (Qatar), Cathay Pacific (Thailand), Turkish Airlines (Turki), dan Lufthansa (Jerman).

Dilansir dari Kompas.com (22/9/2022), Garuda Indonesia mencatat laba sebesar Rp 57 triliun. Sontak berita ini mengagetkan banyak pihak, karena sebelumnya Garuda Indonesia selalu merugi hingga dinyatakan pailit.

Pada 2020, Garuda menanggung utang Rp 142 triliun. Terdiri dari Rp 104 triliun dari lessor pesawat, Rp 34 triliun non lessor, dan Rp 4 triliun pihak preferen.
Memang, selama Covid-19 Garuda Indonesia mengalami penurunan jumlah penumpang dan "available seat" hingga 52 % pada 2020 dan penurunan isian kargo hingga 30%.

Dengan kondisi seperti itu, akhirnya Garuda masuk proses PKPU (Penangguhan Kewajiban Pembayaran Utang) dengan melakukan restrukturisasi.

Semua lessor, bank-bank yang memberi pinjaman, pemegang sukuk, dan lain-lain diberi pilihan : restrukturisasi dengan harapan Garuda pulih sehingga bisa mengembalikan utang, atau jika Garuda bangkrut, utang tak terbayar, mereka semua tidak mendapatkan uangnya kembali. Mereka semua menyepakati restrukturisasi.

Ada beberapa jenis restrukturisasi, yaitu: 

1. Utang ditunda pembayarannya, dengan menerbitkan kupon utang baru.

2. Utang ditukar dengan saham Garuda. 

PKPU disepakati. Sebagian utang Garuda ini diberikan kupon utang baru. Sebagian lagi ditukar dengan saham. Sementara pembayaran utang ke bank-bank diperpanjang hingga 20 tahun kemudian. 

Pemerintah juga berencana  memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Garuda Indonesia senilai Rp 7,5 triliun yang diambil dari APBN. Ini dilakukan setelah pendampingan PKPU.

Maka sungguh mengejutkan ketika Garuda mengumumkan bahwa dia mendapatkan laba Rp 57 triliun. Laba dari mana?

Sistem Saham

Perseroan saham adalah perseroan yang terbentuk dari para pesero yang tidak dikenali mayoritas pesero lainnya. Agar terdaftar sebagai anggota dalam perseroan saham, seseorang harus membeli satu atau beberapa lembar surat saham perusahaan, sebagai kompensasi dari nilai keterlibatannya secara formal dalam perseroan tersebut. 

Saham dianggap sebagai salah satu bentuk keterlibatan dalam pengelolaan atas dasar kehendak pribadi. Artinya, untuk menjadi pesero, seseorang cukup membeli beberapa lembar surat saham, baik pesero yang lain menerima atau pun tidak.

Saham termasuk salah satu pengembangan harta dalam sistem kapitalis. Nilai surat saham tidak tetap tapi berubah-ubah sesuai dengan untung ruginya perseroan. Keuntungan dan kerugian setiap tahunnya tidak sama. Kadang berbeda, bahkan boleh jadi dengan perbedaan yang sangat mencolok.

Saham sama dengan kertas berharga, yang harganya bisa turun jika bursa saham mengalami penurunan, dan harganya bisa naik jika bursa saham mengalami kenaikan. Saham adalah kertas nominal yang mempunyai nilai tertentu, yang bisa mengalami fluktuasi sesuai dengan kondisi pasar, yaitu sesuai dengan untung ruginya perseroan atau sesuai dengan penerimaan dan penolakan masyarakat terhadap perseroan tersebut.

Dengan demikian, saham merupakan barang yang tunduk pada "demand and supply".

Ketika utang ditukar dengan saham, jika nilai saham lebih kecil dibanding nilai utang, maka otomatis Garuda akan mengakui laba. Termasuk restrukturisasi utang lainnya, misalnya dengan tukar barang, saat nilai penukarnya lebih kecil dari nilai utangnya, Garuda bisa saja mencatatkan keuntungan.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa mereka sepakat jika utang ditukar dengan saham yang justru nilainya lebih rendah? Karena mereka percaya akan potensi saham Garuda di masa depan. Ini lebih baik daripada tidak mendapat pembayaran sama sekali.

Jadi ketika Garuda mendadak  untung sebesar Rp 57 triliun, keuntungan itu berasal dari restrukturisasi utang. Nominal utang itu sesuatu yang pasti, sementara nilai saham itu fluktuatif (tidak pasti).

Itulah mengapa Islam mengharamkan saham. Seharusnya laba itu berasal dari operasional Garuda bukan dari laba restrukturisasi utang (saham). Terlebih, Garuda masih membebani rakyat dengan modal yang diambilkan dari APBN sebesar Rp 7,5 triliun.

Sejatinya kerugian Garuda itu merupakan suatu ironi, karena harga tiket Garuda termahal di antara maskapai penerbangan lainnya. Penumpang juga tidak pernah berutang tiket.
Meskipun utang Garuda tinggal 50%, tetap saja itu nilainya Rp 70 triliun.

Maka ketika Islam tidak diterapkan, sungguh kerugian-lah yang diderita BUMN. Satu-satunya solusi adalah mari kita buang jauh-jauh sistem Kapitalisme, sumber malapetaka. Lalu terapkan Islam Kafah.

_Wallahu a'lam_

Baca juga:

0 Comments: