.jpeg)
Cerbung
Circle Positif Rasti
Oleh. Ratih Fn
SSCQMedia.Com- Menghirup udara pagi yang sejuk di kampung halaman sembari mendengarkan alunan burung yang bernyanyi riang. Hemm, sungguh luar biasa.
Menyapa hari baru dengan penuh kesyukuran, ditemani secangkir teh hangat dan camilan ringan yang mengenyangkan, ubi dan singkong rebus. Sungguh nikmat.
"Rasti, hari ini kamu mau langsung berangkat bekerja?" Pertanyaan mamahnya membuyarkan lamunan Rasti.
"Iya, Mah, insyaallah."
"Apa nggak sebaiknya kamu istirahat dulu? Kan, kamu baru sampai rumah kemarin siang."
"Alhamdulilah badan Rasti sudah enakan setelah istirahat semalam. Mamah nggak perlu khawatir." Rasti mencoba meyakinkan mamanya yang masih tampak khawatir.
"Lagipula, kasihan teman kantor Rasti yang harus segera pindah ke Semarang, Mah. Dia masih tertahan di Jogja, karena menunggu Rasti gantiin dia."
"Ya udahlah, gimana baiknya menurut kamu aja. Yang penting hati-hati nanti naik motornya. Magelang-Jogja itu jarak yang cukup jauh dilaju pakai motor."
Akhirnya mamah Rasti mengalah, meski dalam hati beliau masih dipenuhi rasa khawatir.
"Ya, Mah. Insyaallah Rasti akan selalu berusaha hati-hati."
Bisa bekerja di kota yang dekat dengan kampung halaman adalah hal yang sangat Rasti syukuri. Dengan begitu, dia bisa berkumpul lagi dengan keluarganya setelah hampir 4 tahun ia merantau di Ibukota.
Sudahlah jauh dari keluarga, ditambah hiruk pikuk ibukota, dengan segala kebisingan, kemacetan dan polusi udaranya, sungguh membuat Rasti selalu merindukan kota kelahirannya.
Beruntung perusahaan tempat Rasti bekerja ada pelebaran wilayah area Jawa Tengah dan DIY. Jadi, Rasti mendapatkan kesempatan mutasi ke Yogyakarta.
Yogyakarta adalah sebuah kota legendaris. Kota ini terkenal dengan 'gudeg Jogja' dan 'bakpia Patok' sebagai makanan khasnya. Selain itu, Yogyakarta juga terkenal dengan kerajinan batik tulis, gerabah Kasongan, juga perak di Kotagede. Entah kenapa, ada sensasi unik saat memasuki kota ini. Meski Rasti tak terlahir di Yogyakarta, namun menyusuri setiap jalanan kota membuat nyaman hatinya.
"Assalamualaikum, Rasti. Gimana kabar kamu?" Sinta, teman kantor Rasti yang akan ia gantikan posisinya, menyapa Rasti dengan ramah.
"Wa'alaikumussalam, Sinta. Baik, alhamdulilah. Kita mau langsung keliling Jogja hari ini, Sin?"
"Iya lah, hari ini aku bakalan jadi pemandu jalan kamu. Menyusuri lorong-lorong jalan kota istimewa ini." Sinta memang anak yang ramah dan ceria, dalam hati Rasti bersyukur senantiasa dipertemukan dengan orang-orang baik di setiap tempat.
Satu tahun sudah berjalan, Rasti bekerja di Yogyakarta. Ia melaju setiap hari dari Magelang ke Yogyakarta. Jarak yang ternyata masih terjangkau untuk dilaju pulang pergi setiap hari. Terlebih jika dibandingkan dengan saat ia di Jakarta dulu.
Selama setahun belakangan ini, Rasti masih sesekali berkunjung ke Ibukota. Untuk mengurus keperluan skripsi-nya, dan alhamdulilah akhirnya wisuda tinggal menunggu hari H saja.
Menjadi wanita pekerja yang masih lajang, di usianya yang sudah terbilang dewasa, sebuah ujian yang istimewa. Karena kebanyakan teman sekolahnya dulu, sudah berkeluarga.
"Rasti, apa kamu belum pengen nikah?" Tanya saudaranya, suatu ketika.
"Pengen lah, Budhe. Masak nggak pengen, cuma belum ketemu jodohnya aja."
"Pakdhe kamu punya temen guru yang lagi nyari istri tuch, mau nggak dikenalin? Usianya udah matang, udah mau 40 tahun?"
"Waduuuh...?!" Refleks Rasti beristighfar dalam hati.
"Kenapa, Ras? Kok waduh?"
"Eh, enggak, Budhe. Maaf itu, suruh ketemu ayah aja kalo gitu. Rasti percaya kok, insyaallah ayah tahu yang baik buatku."
Dan benar saja, tak menunggu lama, sekitar dua hari kemudian. Pakdhe Jono, saudara jauh mamah Rasti, datang dengan temannya. Ayah Rasti agak kaget saat bertemu laki-laki itu, karena ternyata dia bukan hanya jelang 40 tahun, melainkan sudah berusia hampir 45 tahun. Hanya selisih 2-3 tahun dari usia ayah Rasti.
Dalam hati Rasti rasanya ingin berdo'a, "Ya Allah semoga bukan dia jodoh saya." Kegalauan kembali melanda hati Rasti, yang ini bahkan lebih galau dibanding saat menghadapi Rendi. Sungguh rasa yang luar biasa bagi seorang Rasti.
"Terima kasih banyak, Pakdhe, atas niat baiknya mengenalkan Rasti dengan teman Pakdhe. Namun, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya, untuk masalah pernikahan Rasti, saya harus minta pendapat ke yang bersangkutan. Sebentar nggih, Pakdhe."
"Nduk, gimana itu? Bapak harus nanyain apa?" Ayah masuk dan meminta pendapat Rasti.
Mamah Rasti yang sudah sewot saja di dalam rumah, "Jangan lah, yah. Masak iya Rasti nikah sama orang seusia ayah!"
"Lhaa, baru mau kenalan doank, mah, makanya ini Ayah nanya ke Rasti."
"Udah-udah, Mah, Yah, tanya aja ke orangnya, visi misi beliau berkeluarga. Lalu prinsip-prinsip hidup beliau bilamana berkeluarga bagaimana."
"Okelah, kamu dengarkan dari dalam, ya." Ayah Rasti kembali ke ruang tamu.
Setelah ayah Rasti mengutarakan apa yang Rasti sampaikan, dan teman Pakdhe pun menjawab pertanyaan ayah Rasti. Menjadi semakin tampak bahwa, usia tak menjamin kedewasaan ataupun pemahaman Islam yang sahih seseorang. Dan Rasti dengan tenang menolak untuk melanjutkan ta'aruf.
Keyakinan Rasti Lo semakin diuji, namun Rasti yakin, Allah tak akan salah memilihkan jodoh untuknya. Bahkan, setelah beberapa waktu kemudian baru terungkap. Bahwa, ternyata teman Pakdhe itu juga mendekati beberapa wanita lain, pada saat yang bersamaan. Pakdhe Jono minta maaf ke Rasti maupun ayah dan mamahnya.
Alhamdulillah, Allah tampakkan kebenaran itu segera. Beberapa bulan berselang setelah wisuda, Rasti tak sengaja bertemu kakak kelasnya dulu saat SMU, di sebuah kedai Jus, di kota Gudeg itu.
"Assalamualaikum, ehmm ... Rasti, ya?" Sapa seorang lelaki muda di seberang meja.
"Wa'alaikumussalam, iyaa ... Siapa ya?" Lupa-lupa ingat Rasti menjawab salam lelaki itu.
"Arifin, kakak kelas kamu SMU dulu."
"Ooh, iyaa. Maaf, ya, kKak, tadi agak lupa." Rasti menjawab singkat.
"Kamu udah nikah, Rasti?"
"Eh..?!"
"Mbak, ini jusnya sudah jadi."
Belum sempat Rasti menjawab, si Mbak penjual jus menyodorkan jus jambu pesanan Rasti.
"Biar nanti aku yang bayar, Rasti."
"Eh, nggak perlu kak. Afwan, makasih sebelumnya. Rasti duluan, assalamualaikum."
Rasti berjalan hendak keluar kedai menuju motornya diparkir, dan ternyata kakak kelasnya itu mengejar.
"Rasti, ini kunci motor kamu ketinggalan di meja. Dan pertanyaanku belum kamu jawab."
"Oh, makasih kak dan Rasti belum menikah."
Rasti segera berlalu, melaju dengan motornya.
Pertemuan yang sekilas itu, ternyata membawa makna istimewa terkhusus bagi sang kakak kelas Rasti, Arifin namanya.
Karena beberapa hari berselang setelah hari itu, Arifin datang ke rumah Rasti. Memberanikan diri menemui ayah Rasti, berniat mengajak Rasti ta'aruf. Ayah Rasti sepenuhnya menyerahkan keputusannya ke Rasti. Karena ayah Rasti paham betul bagaimana karakter putri semata wayangnya itu.
Demi menjaga kemurnian hati, Rasti meminta izin untuk melibatkan orang lain dalam ta'arufnya dengan Kak Arifin, yaitu ustazah Rasti beserta suaminya. Dan hari itu, adalah awal sebuah hubungan baru yang di masa depan menjadikan Rasti dipanggil dengan sebutan Bu Arifin.
Tamat.
Cilacap, 10 Oktober 2022
💕Ratih Fn 💕
Baca juga:

0 Comments: