
Cerbung
Circle Positif Rasti (Yakin 100% pada Allah Semata)
Oleh. Ratih Fn
"Hidup ini segala-galanya pakai uang, Rasti. Kamu itu masih anak bau kencur, belum tahu apa-apa tentang kebutuhan hidup yang sesungguhnya. Kamu tahu sendiri, kan, Ayah kamu kerjaannya nggak pasti, Mama juga cuma ibu rumah tangga. Nggak bisa bantu keuangan keluarga, setidaknya kalo kamu kerja jadi karyawan tetap, besok kalo sudah menikah bisa saling menopang keuangan keluarga, seperti Tante Meli dan Om Adi." Masih terngiang kata-kata mamanya saat Rasti mengutarakan keinginannya keluar dari magang kuliah di sebuah bank swasta terkemuka.
Berbagai argumen Rasti sampaikan pelan-pelan ke ayah juga mamanya. Sembari ia terus berdoa semoga Allah lembutkan kalbu mereka. Dalam hati, Rasti berjanji pada diri sendiri, ia akan tetap maksimal berusaha, membuktikan kepada keluarga bahwa keputusannya adalah sebuah pilihan yang tepat. Ia yakin sepenuhnya kepada janji Allah Swt., bahwa hukum Allah adalah satu-satunya yang benar dan pantas untuk diterapkan dalam kehidupan.
Bersyukur Allah mudahkan Rasti segera mendapat pekerjaan di ibukota. Dan beruntungnya lagi, kantor tempat ia bekerja tidak mempermasalahkan pakaiannya. Rasti juga bisa tetap kuliah di sela-sela waktu kerjanya. Ia mengambil kuliah extention yang hanya aktif belajar pada hari Ahad. Meski bukan kampus ternama, Rasti cukup nyaman menimba ilmu di sana.
Kampus yang berlokasi di bilangan Jakarta Timur itu, cukup populer di kalangan guru yang ingin menggenapkan ijazah S1 mereka. Ya, kebanyakan mahasiswa di sana memang tenaga pengajar yang belum tersertifikasi, jadi mereka harus menambah jenjang pendidikan agar berijazah S1 sebagai syarat sertifikasi keguruannya.
Namun begitu, justru hal itulah yang membuat Rasti merasa nyaman kuliah di sana. Banyak bergaul dengan para guru senior, menambah wawasannya terkait dunia pendidikan.
Ada beberapa mahasiswa yang masih baru lulus dari SMU seperti dirinya, diantaranya Dewi dan Ira. Mereka berdua kini jadi teman dekat Rasti, apalagi mereka sama-sama masuk di kelas yang sama. Mungkin karena usia mereka tidak terpaut jauh, jadi obrolan mereka terasa nyambung.
Ira satu tahun lebih muda dari Rasti, namun badan bongsornya menjadikan dia tampak lebih dewasa dari usia yang sesungguhnya. Meski tingkah polos, ceria dan usilnya seringkali menampakkan usia dia yang sebenarnya. Sedangkan Dewi justru kebalikannya, meski 4 tahun lebih senior dari Rasti, tapi perawakan imutnya membuat Dewi tampak lebih muda. Sikap lembut dan dewasanya memperlihatkan usia Dewi yang memang berada di atas keduanya. Jadi, pas sekali mereka bertiga, tampak seusia saat berjalan bersama.
Ada satu hal yang membuat Rasti nyaman bersahabat dengan mereka berdua, yaitu karena keduanya lumayan taat dalam beribadah. Mereka menunaikan salat lima waktu dan menutup aurat. Memang, sih, keduanya belum berhijab syar'i, hal ini Rasti catat dalam hati, poin inilah yang menjadi fokus dakwahnya kepada kedua bestie-nya dalam jangka pendek. Memahamkan mereka untuk berhijab syar'i.
Pagi itu mereka membuat janji temu di serambi masjid kampus, salah satu tempat favorit Rasti. Berada di lingkungan masjid itu, membuat hati Rasti tenang. Selain itu, suasana masjid kampus memang membuat betah para pengunjung. Halaman bersih, asri dengan beberapa pohon rindang yang tegak berdiri. Lantai marmer yang selalu dijaga kebersihannya oleh takmir masjid. Ruangan utama maupun serambi yang luas, kamar mandi yang terpisah sempurna antara jamaah pria dan wanita. Kaligrafi-kaligrafi asmaul husna yang terukir indah di dinding-dinding masjid, mengingatkan setiap hamba akan kebesaranNya. Semua itu menambah rasa nyaman jama'ah yang beribadah di sana. Bila hasil karya manusia saja bisa menimbulkan rasa takjub, apalagi keindahan ciptaanNya.
Sengaja Rasti meminta mereka bertemu di serambi masjid, karena Rasti ingin menunaikan salat dhuha sebelum memulai aktivitas perkuliahan mereka. Salah satu kebiasaan baik yang alhamdulilah telah ia jaga sejak lama. Tepatnya sejak ia lebih mengenal Islam melalui organisasi rohis SMU-nya.
Rasti sudah duduk manis di pinggir serambi masjid kampusnya, saat salah satunya bestie-nya datang menyapa.
"Hai, Ras ..., sudah dari tadi kamu datang?"
"Assalamualaikum, Dewi. Salam dulu gitu kalo ketemu saudaranya seiman."
"Eh, iya. Wa'alaikumussalam warahmatullah, Rasti sayang ...," Dewi menjawab salam Rasti sembari tersenyum, menampakkan gigi putihnya yang berderet rapi.
"Haiiii, bestiii-bestiiiku. Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh," Rasti dan Dewi menjawab salam Ira hampir bersamaan.
"Eh, Wi'... Rendi nanyain kamu tuh di depan, kayak-nya dia suka deh sama kamu. Udah tiga kali ini nanyain kamu, mau ngajak makan bareng tuh, katanya." Ira antusias berspekulasi tentang Rendi, teman kampus mereka yang belakangan tampak ingin mendekati Dewi.
"Yaa Allah, jangan, Wi. Kalo dia serius, suruh datang ke rumah kamu, ketemu ma ortu kamu, wi. Bukan ngajakin jalan gitu, kalian kan bukan muhrim." Rasti mencoba mengingatkan Dewi, sahabatnya tentang bahaya hubungan-hubungan tidak jelas seperti itu.
"Tapi, Ras. Kata Rendi, dia pengen ngajak makannya kita bertiga, biar dia dan Dewi nggak berdua-an."
"Lhaaah?! Ikhtilat donk kalo gitu, tetep nggak boleh, Ira cantik..." Agak ribet memang menjelaskan ke teman Rasti yang satu ini. Mesti jelas dan detail, barulah dia mengerti.
"Ooh? gituu kah, Ras? Jadi harus gimana misal Rendi pengen kenal lebih dekat sama Dewi?" Ira memang masih mentah, terkait hukum interaksi dengan lawan jenis dalam Islam. Maklumlah, lahir dan tumbuh besar di kota metropolitan yang sekuler, membuat kebanyakan remaja dan pemuda masa kini bergaul bebas laki-laki dan perempuan.
"Jadi, Ras... Misal beneran Rendi pengen serius kenal deket sama aku. Harus ketemu langsung ma ortuku, gitu?" Dewi juga ikut penasaran.
"Ya, begitulah seharusnya, Wi."
"Tapi, sebenernya aku nggak 'sreg' sama dia, karena gimana yaa... Dia lebih muda dari aku, trus dia ternyata anggota aparatur negara lho, bagian intel. Aku kok rasanya, nggak kepengen punya suami aparatur negara, Ras." Ira sudah berasumsi sebelum jelas maksud Rendi berulang kali menanyakan dirinya.
"Hemm, sebenarnya dua alasan kamu itu bukan alasan yang syar'i untuk menolak khitbahan atau pinangan seorang laki-laki, Wi. Nggak ada salahnya juga misal memang dia serius, kamu cari tahu dulu visi misi dia dalam berkeluarga. Apakah sama dengan kamu atau tidak, kurang lebih begitu menurutku, Wi. Lagipula, maaf nih. Kamu sudah cukup usia untuk menikah kan, wi. Dan misal ternyata visi misi dia bagus, lalu ortu kamu setuju. Nggak baik lhoo menolak pinangan laki-laki. Kamu juga sering bilang kan kalo Rendi nggak pernah telat salat jama'ah di masjid kampus?"
"Ehmm, iya juga sich. Oke lah kalo begitu." Akhirnya Dewi sepakat juga dengan pendapat Rasti, sahabatnya yang ia kenal sejak awal masuk kampus keguruan itu.
"Assalamualaikum, akhwatifillah..." Saat mereka sedang serius berdiskusi, tiba-tiba Rendi muncul mengucap salam kepada mereka. Terkejut mereka dibuatnya. Namun, mereka tak lupa menjawab salam Rendi. Ira yang super heboh, sibuk menyikut-nyikut Dewi sembari senyam-senyum.
"Maaf, Dewi. Bolehkah aku berkunjung ke rumah kamu, besok? Kalo bisa teman-teman kamu juga ikut. Supaya bisa jadi saksi."
"Tapi, maaf. Apa ya maksud kamu sebenarnya ingin datang ke rumahku, Ren?" Dewi mencoba memastikan maksud Rendi, supaya dia bisa mengkomunikasikan dengan ortunya.
"Ehmm, aku pengen minta tolong ke ortu kamu, supaya menjadi perantara, karena aku pengen ta'aruf dengan... Rasti."
"Lhaaah....??!" Sontak kami bertiga saling tatap.
"Karena ortu Rasti kan tinggal di daerah, tidak di Jakarta."
"Astaghfirullah...!!!" Rasti refleks beristghfar, kepala Rasti tiba-tiba terasa berkunang-kunang. Tak menyangka ada ikhwan yang ingin ta'aruf dengannya. Suatu hal yang belum ingin ia pikirkan di usianya yang baru menginjak 20 tahun.
Melihat Rendi sepertinya serius dengan niatnya, Rasti meminta tolong ustazah dan suaminya untuk menjadi perantara. Ia tidak mau melibatkan orangtua Dewi, bukan karena Rasti tak menghormati mereka. Namun, khawatir justru menimbulkan salah prasangka dan persepsi. Dan dari hasil ta'aruf mereka, juga setelah beristikharah, Rasti memutuskan untuk tidak melanjutkan ta'arufnya. Karena banyak hal prinsip yang jauh berbeda. Rasti sama sekali tak kecewa, begitu pun ia harap Rendi tak juga putus asa. Karena janjiNya pastilah nyata, setidaknya itu yang Rasti yakini sepenuh hati. Harus tepat 100% keyakinannya, tanpa kurang sepersen pun.
Tamat.
Cilacap, 30 September 2022
Baca juga:

0 Comments: