Headlines
Loading...
Tambang Ilegal, Cermin Retak Pengelolaan Negeri

Tambang Ilegal, Cermin Retak Pengelolaan Negeri

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Presiden Prabowo Subianto menyaksikan penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk di Bangka Belitung. Ia menyebutkan bahwa kerugian negara dari kasus ini bisa mencapai Rp300 triliun. (finance.detik.com, 06/10/2025)

Seiring dengan itu, data menunjukkan bahwa jumlah tambang bermasalah atau ilegal di Indonesia telah mencapai ribuan titik. Hingga 2023, tercatat lebih dari 2.740 lokasi tambang ilegal yang teridentifikasi oleh Kementerian ESDM, melibatkan jutaan pekerja. Pemerintah pun telah mengesahkan pengelolaan tambang termasuk sumur minyak, melalui koperasi dan UMKM dengan tujuan menciptakan lapangan kerja serta menggerakkan ekonomi daerah.

Kerugian besar tersebut bukan sekadar angka, melainkan sinyal bahwa sistem pengelolaan sumber daya alam kita telah membiarkan kebocoran besar berlangsung lama. Lebih jauh, menurut Kepala BPKP, Yusuf Ateh, aktivitas tambang ilegal di kawasan hutan memiliki potensi kerugian negara hingga Rp700 triliun, dengan sekitar 300.000 hektare lahan menjadi prioritas untuk dikuasai kembali. (monitorindonesia.com, 27/06/2025)

Para ahli menilai bahwa eksploitasi ilegal yang cepat dan minim pengawasan memicu kerusakan lingkungan parah, sekaligus membuka peluang besar bagi penghindaran pajak dan retribusi negara. Semua ini menunjukkan adanya kelemahan tata kelola, pengaruh ideologi ekonomi yang membiarkan swastanisasi, dan perlunya solusi alternatif—yakni pengelolaan berbasis nilai Islam sebagai titik tolak perubahan.

Ulah Kapitalisme Sekuler

Kita harus melihat bahwa banyak pengelolaan tambang yang merugikan negara selama ini dibiarkan begitu saja. Pemerintah tampak hanya bertindak setelah kasus terbuka ke publik, bukan melalui pengawasan preventif.

Swastanisasi tambang, yakni menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak swasta atau korporasi, berarti negara melepaskan hak kepemilikan umum yang seharusnya dijaga. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip bahwa kekayaan alam merupakan milik seluruh rakyat.

Koperasi dan UMKM memang diberi peluang untuk ikut mengelola tambang, namun banyak di antaranya tidak memiliki kapasitas teknis maupun regulasi yang memadai. Kondisi ini membuka peluang besar bagi keterlibatan pihak ketiga, bahkan membuat standar dasar seperti analisis dampak lingkungan sering diabaikan.

Kesalahan tata kelola tambang sejatinya merupakan bagian dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Negara seolah lepas tangan, masyarakat menanggung risiko lingkungan, sementara pihak swasta meraup keuntungan besar tanpa kontrol yang layak.

Solusi Islam

Dalam pandangan Islam, tambang dengan deposit besar merupakan harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara sebagai wakil rakyat. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwāl fī Dāwlah al-Khilāfah menjelaskan bahwa barang tambang dengan jumlah besar tidak boleh dimiliki individu atau sekelompok orang, melainkan harus dikelola secara kolektif demi kemaslahatan bersama.

Dalilnya tampak dari hadis ketika Rasulullah saw. menolak pemberian tambang garam yang memiliki deposit besar kepada seorang individu:

“Sesungguhnya ia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah, maka beliau memberikannya. Tatkala beliau mengetahui bahwa tambang itu besar, beliau bersabda, ‘Kalau begitu, tarik kembali darinya.’” (HR Tirmidzi)

Dengan demikian, Islam menegaskan bahwa negara bertanggung jawab mengelola tambang besar agar kesejahteraan rakyat benar-benar terwujud. Swastanisasi tambang besar jelas melanggar syariat karena mengalihkan hak umum menjadi milik pribadi atau korporasi.

Tambang berskala kecil dapat dikelola oleh rakyat, tetapi tetap di bawah pengawasan negara, terutama terkait aspek lingkungan dan dampak sosial. Sistem politik dan ekonomi Islam menjamin bahwa negara tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi memastikan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi, lingkungan terjaga, dan kesejahteraan nyata dirasakan.

Jika pengelolaan tambang dilakukan dalam sistem Islam, maka pertama, hasil tambang digunakan untuk mendanai fasilitas publik seperti listrik, bahan bakar, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur melalui baitulmal. Kedua, eksploitasi berlebihan dapat dihindari karena negara bertindak sebagai pengelola amanah, bukan pemburu keuntungan. Ketiga, kemakmuran akan dirasakan secara merata, bukan hanya oleh segelintir korporasi.

Penutup

Kita tidak boleh lagi membiarkan kekayaan alam negeri ini terus mengalir ke kantong-kantong gelap. Kerugian Rp300 triliun, bahkan potensi Rp700 triliun, adalah bukti nyata kegagalan sistem pengelolaan yang ada dalam menjaga hak rakyat.

Sudah saatnya kita membangun sistem yang tidak hanya berbasis teknis, tetapi juga berbasis nilai yang amanah, keadilan sosial, serta pelestarian lingkungan sesuai dengan ajaran Islam yang mulia.

Jika tidak, generasi kita akan mewarisi bumi yang terkuras, rakyat yang tak sejahtera, dan penyesalan yang tak kunjung sirna. Saat kita menindak kasus besar, hendaknya kita tidak hanya “mengambil alih” tambang ilegal, tetapi juga mengembalikan hak rakyat yang telah lama hilang. [My]

Baca juga:

0 Comments: