Oleh: D’ Safira
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Fenomena konsumtif di kalangan remaja Indonesia terus menunjukkan wajah barunya, salah satunya melalui tren koleksi boneka karakter seperti Labubu dari seri The Monster yang sempat viral dan menjadi simbol gaya hidup “up to date” di media sosial. Boneka ini dijual dalam format blind box dengan harga yang bisa mencapai jutaan rupiah per karakter. Bahkan untuk versi patung kecilnya saja dibanderol Rp453.118, sedangkan boneka Labubu dapat mencapai harga lebih dari satu juta rupiah (Kompas.com, 20-09-2024).
Meski popularitas Labubu mulai meredup, budaya konsumtif dan pencitraan semu tetap berlanjut dalam bentuk yang lebih variatif dan digital. Misalnya melalui merchandise edisi terbatas dari Pop Mart dan Funko, konten unboxing serta haul di TikTok Shop, hingga tren belanja impulsif di marketplace yang dibungkus dengan narasi “self reward” dan “healing.” Sekilas, semua ini tampak sebagai tren koleksi biasa atau bentuk ekspresi diri. Namun jika ditelaah lebih dalam, fenomena ini merupakan hasil rekayasa psikologi massal yang digerakkan industri kapitalis untuk menggiring remaja agar membeli bukan karena kebutuhan, melainkan demi pengakuan sosial dan agar dianggap relevan secara gaya hidup.
Kapitalisme secara sistematis menanamkan cinta dunia dan gaya hidup konsumtif. Generasi muda pun menjadi lebih sibuk menyusun wishlist belanja daripada mencari makna hidup, lebih terpikat pada kemasan daripada substansi, dan lebih tertarik pada validasi digital daripada nilai spiritual. Sistem ini mendorong manusia untuk mengukur harga diri dari kepemilikan barang, bukan dari kualitas amal atau kontribusi sosial.
Pandangan ini jelas bertentangan dengan Islam, yang memandang dunia sebagai ladang amal dan kehidupan sebagai kesempatan mengumpulkan bekal menuju akhirat. Islam tidak melarang kepemilikan harta atau kesenangan dunia, tetapi semuanya harus berada dalam bingkai halal dan haram. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56:
ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْØ¥ِنسَ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan hidup manusia semata-mata adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Dengan mengingat ayat ini, umat Islam diharapkan mampu membentengi diri dari perilaku konsumtif yang melalaikan, serta menjadikan ibadah sebagai orientasi utama dalam setiap aktivitas.
Teladan nyata telah dicontohkan oleh sahabat Rasulullah saw., seperti Abu Darda’ ra., yang memilih menyibukkan diri dengan ibadah dan amal saleh saat orang lain sibuk mengejar harta—bukan untuk pencitraan, melainkan sebagai bekal pulang kepada Allah. Beliau dikenal sebagai ahli puasa, ahli zikir, dan ahli salat sunnah, menunjukkan bahwa kesibukan dunia tidak harus mengalahkan kesibukan akhirat.
Namun, kerusakan generasi hari ini tidak semata disebabkan lemahnya kontrol individu, melainkan juga akibat sistem yang membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat. Karena itu, solusi yang dibutuhkan bukan hanya pengendalian diri (self-control) atau edukasi moral, melainkan juga perubahan sistemik menuju sistem yang berlandaskan akidah Islam, yaitu Khilafah.
Sistem Khilafah akan memfokuskan generasi pada visi akhirat, menghapus budaya konsumtif, serta mengarahkan media, pendidikan, dan budaya agar membentuk pola pikir Islam yang sehat dan bermakna.
Negara dalam sistem Islam tidak akan membiarkan industri kapitalis meracuni generasi dengan pencitraan semu, tetapi akan membangun kesadaran kolektif bahwa hidup bukan soal gaya, melainkan soal amal dan tanggung jawab. Maka, sebagai generasi Islam, kita harus waspada terhadap sihir kapitalisme yang membungkus pencitraan semu dengan kemilau dunia, dan kembali kepada pandangan hidup Islam yang menuntun pada makna hakiki kehidupan: menjadi hamba Allah yang beramal, bukan konsumen yang terjebak dalam ilusi.
Saatnya kita menata ulang orientasi hidup, bukan sekadar mengikuti tren, tetapi memperjuangkan nilai; bukan sekadar tampil keren, tetapi menjadi pribadi yang beriman dan berkontribusi.
Wallahualam bissawab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: