Headlines
Loading...
Salah Kelola Tambang, Kerugian Sistemik Mengadang

Salah Kelola Tambang, Kerugian Sistemik Mengadang

Oleh: Bunda Erma E.
(Pemerhati Umat)

SSCQMedia.Com—Negeri ini kembali diguncang oleh fakta mengejutkan terkait besarnya kerugian negara akibat praktik tambang ilegal yang telah beroperasi bertahun-tahun. Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya saat menyaksikan penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk, menyebut kerugian negara akibat kejahatan ini mencapai sekitar Rp300 triliun. Aset yang disita berupa alat berat, logam timah, tanah, hingga fasilitas smelter, dengan nilai mencapai Rp6–7 triliun. Ia menegaskan bahwa tambang ilegal bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap kepentingan bangsa karena merampas kekayaan alam milik rakyat (rri.co.id, 7/10/2025).

Data menunjukkan jumlah tambang bermasalah di Indonesia mencapai ribuan, dengan lebih dari 2.000 titik pertambangan tanpa izin (PETI) yang tersebar di berbagai daerah. Fakta ini menegaskan bahwa kerusakan tata kelola sumber daya alam telah menjadi masalah sistemik.

Selama bertahun-tahun, pengelolaan tambang di Indonesia berjalan dalam pola yang merugikan negara namun dibiarkan tanpa penyelesaian. Sumber daya alam yang semestinya menjadi milik dan sumber kemakmuran rakyat justru dikuasai segelintir korporasi besar demi menumpuk keuntungan. Sementara itu, masyarakat di sekitar tambang hidup dalam kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini menegaskan lemahnya pengawasan dan minimnya keberpihakan negara terhadap rakyat, sekaligus menggambarkan rapuhnya sistem tata kelola yang lebih berpihak kepada pemodal daripada amanah pengelolaan kekayaan publik.

Lebih jauh lagi, swastanisasi tambang, yakni penyerahan pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan swasta, termasuk asing, pada hakikatnya merupakan bentuk perampasan terhadap hak kepemilikan publik. Akar dari semua kesalahan tata kelola ini terletak pada penerapan sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan keuntungan materi sebagai tolok ukur utama dalam setiap kebijakan.

Dalam sistem kapitalisme sekuler, negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan korporasi, bukan pelindung bagi rakyat. Ketika agama dipisahkan dari urusan ekonomi dan politik, pengelolaan sumber daya alam pun diatur berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia. Akibatnya, pengelolaan SDA berubah menjadi eksploitasi tanpa batas yang menimbulkan kerusakan lingkungan, kesenjangan sosial, dan kemiskinan struktural yang terus berulang.

Solusi hakiki untuk keluar dari persoalan tambang ilegal hanya dapat diwujudkan dengan mengganti paradigma kapitalistik dengan sistem Islam kaffah. Islam memiliki mekanisme pengelolaan tambang yang diamanahkan kepada negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir orang. Dalam paradigma Islam, tambang termasuk kategori kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah), yakni kekayaan yang diciptakan Allah Swt. untuk dimanfaatkan seluruh rakyat, bukan dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu.

Rasulullah saw. bersabda,

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “api” dalam konteks hadis ini mencakup berbagai sumber energi dan kekayaan alam, seperti minyak, gas, batu bara, dan hasil tambang lainnya. Artinya, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada swasta, karena tambang bukan objek bisnis, melainkan amanah publik yang wajib dijaga dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

Dalam kitab Sistem Ekonomi dalam Islam, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa negara dalam Islam berperan sebagai ra‘in (pengurus rakyat). Negara wajib menjamin agar sumber daya alam milik rakyat dikelola sesuai syariat. Beliau menegaskan, negara tidak berhak menjual, menyewakan, atau memberikan izin eksploitasi sumber daya alam yang termasuk dalam kepemilikan umum kepada pihak swasta.

Hakikat pengelolaan tambang dalam Islam bukanlah untuk mengejar keuntungan ekonomi semata, tetapi untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat. Negara berkewajiban mengelola hasil tambang dan mendistribusikan manfaatnya secara langsung maupun tidak langsung, baik melalui penyediaan fasilitas publik, pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun subsidi kebutuhan dasar masyarakat. Keuntungan dari sektor tambang akan masuk ke Baitul Mal, yaitu lembaga keuangan negara dalam sistem Islam yang menyalurkan dana untuk kepentingan rakyat.

Dengan demikian, kekayaan alam benar-benar menjadi sumber keberkahan dan kemakmuran, bukan alat akumulasi kekayaan bagi segelintir elite atau perusahaan raksasa. Maka, hanya dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, tambang dan seluruh SDA lainnya dapat menjadi instrumen kesejahteraan hakiki bagi seluruh manusia.

Wallahualam bissawab. [ry]

Baca juga:

0 Comments: