Headlines
Loading...
Saat Wisata Ramah Muslim Menjadi Cermin Peradaban

Saat Wisata Ramah Muslim Menjadi Cermin Peradaban

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Jawa Barat kembali menorehkan prestasi membanggakan. Provinsi ini konsisten menempati peringkat keenam dalam ajang Indonesia Muslim Travel Index (IMTI) sejak tahun 2019, 2021, hingga 2023. Tahun ini, Jawa Barat kembali mengukuhkan komitmennya dalam mengembangkan ekosistem pariwisata ramah muslim yang utuh—mulai dari layanan wisata, fasilitas ibadah, hingga jaminan kehalalan produk yang dikonsumsi wisatawan.
(disparbud.jabarprov.go.id, 14 Oktober 2025)

Prestasi ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi penanda bahwa Jawa Barat sedang menapaki jalan baru, yakni menyatukan nilai spiritual dengan potensi ekonomi wisata.

Capaian ini layak diapresiasi. Namun, di balik gemerlap penghargaan, terselip pertanyaan penting: apakah wisata ramah Muslim hanya akan berhenti sebagai simbol seremonial, atau benar-benar menjadi budaya hidup di seluruh lini kehidupan masyarakat?

Kehalalan bukan hanya urusan sertifikasi, tetapi manifestasi dari ketaatan kepada Allah Swt. Sayangnya, di negeri mayoritas muslim, jaminan kehalalan justru masih sebatas penghargaan dan formalitas. Ia hadir megah di dunia pariwisata, tetapi goyah dalam kehidupan sehari-hari. Produk haram masih bebas beredar, tempat maksiat tetap beroperasi, dan orientasi keuntungan tetap menjadi ukuran utama.

Inilah wajah nyata kapitalisme sekuler—sistem yang menjadikan standar halal-haram tunduk pada hitungan materi. Dalam sistem ini, sesuatu baru dianggap penting jika memberi manfaat ekonomi. Nilai-nilai ilahiah digantikan oleh logika pasar.

Pelayanan publik, termasuk urusan jaminan halal, akhirnya berubah menjadi transaksi bisnis antara negara dan rakyat. Negara menjadi regulator dan fasilitator, bukan pengurus dan pelindung. Sama seperti jaminan kesehatan yang dikomersialisasi melalui BPJS, jaminan halal pun terjebak dalam mekanisme pasar.

Islam: Sistem yang Menjamin, Bukan Memperjualbelikan

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang negara sebagai pelayan dan pengurus urusan rakyat (ra’in wa mas’ul). Rasulullah saw. bersabda:

“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sistem Islam, jaminan pangan dan pariwisata halal bukan proyek bisnis, melainkan amanah syar’i. Negara wajib memastikan semua makanan, minuman, dan produk wisata halal, baik dari bahan, proses, maupun tujuannya.

Rasulullah saw. menegaskan:

“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan nilai harganya.”
(HR. Ahmad)

Negara Islam juga memiliki mekanisme pengawasan ketat terhadap produksi pangan, sertifikasi, hingga distribusi barang. Bukan untuk mencari keuntungan, tetapi demi menjaga ketakwaan kolektif masyarakat.

Selain itu, Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya mencontohkan penerapan kebijakan tegas terhadap pelaku maksiat atau penyebar produk haram. Ali bin Abi Thalib ra. meriwayatkan:

“Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu Bakar juga 40 kali, sedangkan Utsman 80 kali.”
(HR. Muslim)

Sanksi ini menegaskan bahwa Islam tidak kompromi dalam menjaga kesucian masyarakat. Dalam pandangan Islam, negara wajib menjamin semua kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan halal, kesehatan, dan pendidikan secara mudah dan gratis. Mekanisme ini ditopang oleh baitul mal, lembaga keuangan negara yang mengelola harta umat dari berbagai sumber halal seperti fai’, kharaj, jizyah, dan kepemilikan umum.

Dengan sistem seperti ini, jaminan halal bukan slogan, melainkan kebijakan nyata yang menyentuh setiap individu. Negara tidak perlu memungut biaya tinggi atau menciptakan birokrasi rumit. Semua rakyat mendapatkan hak yang sama sebagai bentuk pelayanan, bukan jual beli.

Penutup

Keberhasilan Jawa Barat dalam ajang IMTI 2025 seharusnya menjadi pintu refleksi nasional. Bahwa negeri ini tidak cukup hanya menjadi “ramah muslim” di sektor wisata, tetapi harus menjadi negeri yang benar-benar tunduk kepada hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Jaminan halal, pelayanan publik, dan kesejahteraan rakyat sejatinya hanya akan sempurna jika dijalankan dalam sistem yang bersumber dari wahyu Allah, bukan dari logika pasar.

Allah Swt. mengingatkan:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. Ar-Rum: 41)

Kini saatnya umat Islam tidak hanya bangga menjadi destinasi wisata halal, tetapi menjadi pelaku peradaban halal. Bukan sekadar tempat dikunjungi, melainkan negeri yang dirahmati karena menegakkan syariat-Nya secara menyeluruh.

[Hz]


Baca juga:

0 Comments: