Headlines
Loading...
Program Aksara Menjawab Harapan Pencari Kerja

Program Aksara Menjawab Harapan Pencari Kerja

Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Jawa Barat kembali menjadi pelopor. Gubernur KDM meluncurkan aplikasi yang digadang-gadang mampu mempermudah warga mencari kerja. Program ini bukan sekadar digitalisasi, tetapi juga jawaban atas derita panjang para pencari kerja yang berdesakan di bawah terik matahari demi secarik harapan.

Kepala DPMPTSP Jabar, Dedi Taufik, menegaskan bahwa program inkubasi dan akselerasi ini dirancang untuk memperkuat ekosistem wirausaha sekaligus membuka akses investasi bagi pelaku usaha kecil.

“UMKM harus memperkuat branding dan rantai distribusi agar mampu bersaing, bukan sekadar berada di ujung produksi,” ujarnya.

Program Aksara Jabar terdiri atas tiga tahap: Ready to Collab, Ready to Scale Up, dan Ready to Invest. Tema tahun ini, Ready to Collab, menjadi semangat baru bagi para pelaku usaha dan pencari kerja.

Dedi Mulyadi menambahkan,

“Data para pencari kerja dikumpulkan oleh Dinas Tenaga Kerja, kemudian diserahkan ke perusahaan. HRD akan langsung memanggil mereka untuk seleksi tanpa perlu melamar satu per satu. Tidak perlu repot, tinggal daftar dan tunggu panggilan.”

Lucky, salah satu warga, mengaku lega,

“Kami bersyukur akhirnya ada sistem yang lebih tertib dan manusiawi. Selama ini banyak warga pingsan hanya karena desakan massa saat melamar kerja. Sekarang, kami datang dengan harapan, bukan sekadar nasib.”
(bapenda.jabarprov.go.id, 09/10/2025)

Pemerintah menegaskan komitmennya untuk menindak tegas praktik percaloan dan pungutan liar.

“Tidak boleh lagi ada yang bayar jutaan hanya untuk bisa kerja di pabrik,” tegasnya.

Aplikasi ini, bagi sebagian orang, adalah secercah cahaya di ujung lorong panjang pengangguran. Namun, bagi sebagian lainnya, harapan itu belum cukup untuk menyembuhkan luka lama yang lebih dalam, yaitu sulitnya lapangan kerja, upah rendah, dan ketimpangan ekonomi yang tak kunjung selesai.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) anak muda di Indonesia masih tinggi, yakni 16,16% per Februari 2025. Dari setiap 100 orang usia 15–24 tahun, sekitar 16 orang menganggur. Meski turun 0,26% dari tahun sebelumnya, angka ini tetap mencolok.

Sementara itu, laporan IMF dalam World Economic Outlook (April 2025) menempatkan Indonesia pada posisi ketujuh di Asia dan pertama di Asia Tenggara dengan tingkat pengangguran tertinggi.

Masalahnya bukan semata soal data pelamar dan lowongan kerja, tetapi tentang akar sistemik yang menumbuhkan ketimpangan dan memotong sayap kesejahteraan.

Sistem Kapitalisme Menyempitkan Asa

Kapitalisme telah gagal menunaikan janji kesejahteraan. Negara sibuk menjadi regulator, bukan pengurus rakyat. Rakyat dibiarkan bersaing di pasar kerja yang sempit, sementara ruang ekonomi dikuasai korporasi besar.

Teknologi dan otomatisasi memang menciptakan efisiensi, tetapi sekaligus meminggirkan manusia. Mesin menggantikan tenaga kerja, sementara pemerintah sekadar menjadi fasilitator pasar. Job fair, program magang, dan inkubasi bisnis sering kali hanya sebatas formalitas.

Kapitalisme juga menciptakan ketimpangan ekonomi yang tajam. Menurut laporan Oxfam (2024), 1% orang terkaya di dunia menguasai hampir separuh kekayaan global. Di Indonesia, kekayaan 50 orang terkaya setara dengan kekayaan 50 juta rakyat biasa (Celios, 2024).
(news.detik.com, 20/01/2025)

Sementara rakyat kecil dipaksa berinovasi demi bertahan hidup, negara berlepas tangan dengan dalih pemberdayaan masyarakat.

Islam dan Solusi yang Hakiki

Islam memandang pekerjaan bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan bagian dari ibadah dan tanggung jawab sosial. Negara berkewajiban memastikan setiap rakyat memiliki akses terhadap pekerjaan yang layak.

Rasulullah saw. bersabda:

“Imam (pemimpin) adalah pemelihara urusan rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.”
(HR. Bukhari-Muslim)

Dalam sistem Islam, negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi rakyat melalui beberapa mekanisme nyata:

  1. Pendidikan Gratis dan Berbasis Akidah Islam
    Negara memastikan pendidikan tidak hanya mencetak pekerja, tetapi melahirkan manusia berkepribadian Islam yang produktif dan bertakwa. Pendidikan diberikan gratis untuk semua lapisan masyarakat.

  2. Distribusi Lahan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
    Negara memberikan lahan mati kepada rakyat untuk dihidupkan. Khalifah Umar bin Khattab ra. pernah berkata kepada orang-orang yang menganggur di masjid,

    “Langit tidak akan menurunkan emas dan perak.”
    Lalu beliau memberi mereka benih untuk ditanam.

  3. Pengelolaan Ekonomi yang Adil
    Khilafah tidak menyerahkan kepemilikan umum kepada swasta. Minyak, tambang, dan energi dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Sektor industri dikembangkan agar mampu menyerap tenaga kerja besar-besaran.

  4. Larangan Riba dan Spekulasi Nonriil
    Islam menutup pintu spekulasi keuangan yang hanya memperkaya segelintir elite. Kekayaan beredar secara sehat melalui perdagangan halal dan produktif.

  5. Jaminan Sosial dan Keadilan Ekonomi
    Baitul mal dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan untuk menumpuk laba. Dana zakat, kharaj, dan fai’ dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, serta pengentasan kemiskinan.

Dalam pandangan Islam, negara adalah khadim ar-ra’iyyah (pelayan rakyat). Negara hadir untuk menjamin kebutuhan dasar setiap individu, bukan berbisnis dengan mereka. Negara Islam tidak membebani rakyat dengan pajak yang mencekik, melainkan mengelola kekayaan alam dengan amanah dan adil.

Selama sistem sekuler kapitalisme masih menjadi dasar kebijakan, aplikasi apa pun, sebaik apa pun inovasinya, tak akan mampu menuntaskan akar masalah pengangguran. Yang dibutuhkan bukan sekadar aplikasi, melainkan perubahan paradigma tentang bagaimana negara memandang rakyatnya.

Khatimah

Islam mengajarkan bahwa bekerja adalah bentuk pengabdian kepada Allah, bukan sekadar pencarian upah. Negara Islam menjamin kemudahan bagi setiap rakyat untuk bekerja, berdagang, dan berkarya dengan penuh kehormatan.

Ketika sistem Islam diterapkan, rakyat tidak lagi menjadi angka statistik pengangguran, melainkan manusia yang dihargai martabatnya. Di tangan pemimpin yang beriman, pekerjaan bukan hanya soal penghasilan, tetapi jalan menuju kemuliaan.

Dan di situlah sejatinya, kerja bukan sekadar cukup, tetapi bermakna.

[Hz]


Baca juga:

0 Comments: