Politik Ekonomi Kapitalisme di Balik Program Magang Berbayar
Oleh: Istiana Ayu S. R
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Program magang berbayar untuk fresh graduate yang baru diluncurkan pemerintah pada Oktober 2025 disambut dengan tepuk tangan oleh sebagian masyarakat. Pemerintah mengklaim program ini sebagai solusi kreatif untuk mengatasi pengangguran sarjana yang terus meningkat setiap tahun.
Menurut Kontan, program ini menargetkan 20.000 peserta di tahap pertama, dengan rencana penambahan 80.000 peserta di batch berikutnya. Masing-masing peserta akan menerima insentif setara upah minimum provinsi (UMP) selama enam bulan (Kontan, 15 Oktober 2025).
Namun, di balik gemerlap narasi “kesempatan emas bagi anak muda”, tersimpan potret suram politik ekonomi kapitalisme yang terus menindas generasi kerja baru.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan universitas mencapai 6,21% pada awal tahun 2025 (BPS, 5 Maret 2025). Angka ini tampak kecil di atas kertas, tetapi berarti ratusan ribu sarjana tidak terserap ke dunia kerja yang layak.
Sementara itu, Suara.com mencatat jumlah lulusan baru setiap tahun mencapai lebih dari satu juta orang (Suara, 30 September 2025). Artinya, program magang ini bahkan tidak menyentuh satu persen dari total fresh graduate nasional.
Inilah wajah asli kapitalisme: sistem yang menjanjikan kesejahteraan melalui kerja keras, tetapi justru menciptakan lapangan kerja yang semakin sempit dan upah yang semakin murah.
Kapitalisme melihat manusia bukan sebagai amanah Allah yang wajib dijaga kehormatannya, melainkan sebagai aset produksi yang bisa diganti kapan saja, selama masih ada yang mau bekerja dengan harga lebih rendah.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan bahwa secara global, satu dari tiga pekerja muda berusia 18–29 tahun bekerja dalam kondisi tidak stabil—mulai dari kontrak pendek, kerja lepas tanpa jaminan, hingga magang berbayar yang dieksploitasi (ILO, 22 Februari 2024).
Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, lebih dari 60% peserta magang tidak diangkat menjadi pekerja tetap, dan 40% di antaranya tidak dibayar sama sekali (Forbes, 17 Juli 2023).
Maka wajar jika ekonom asal Inggris, Guy Standing, menyebut generasi muda hari ini sebagai the precariat—kelas pekerja baru yang hidup dalam ketidakpastian dan kemiskinan terstruktur (Guy Standing, The Precariat, 2021).
Sementara itu, di Indonesia, banyak perusahaan menjadikan magang sebagai cara legal untuk memperoleh tenaga kerja murah, bahkan melalui program pemerintah. Padahal, seharusnya negara berperan sebagai pelindung rakyat, bukan penyedia tenaga murah bagi korporasi.
Inilah bukti bahwa politik ekonomi kita sepenuhnya tunduk pada kepentingan kapital besar, bukan kesejahteraan rakyat. Negara seolah berperan sebagai broker antara pemilik modal dan rakyat miskin.
Dalam sistem kapitalisme, politik dan ekonomi adalah dua sisi mata uang yang sama, keduanya melayani pemilik modal. Politik menciptakan regulasi yang mempermudah investor, sementara ekonomi menyediakan tenaga kerja murah melalui program seperti magang berbayar.
Yang diuntungkan jelas bukan fresh graduate, melainkan perusahaan besar yang mendapat tenaga kerja siap pakai dengan biaya minimal.
Padahal, Islam memiliki konsep ekonomi yang sangat berbeda. Islam tidak membiarkan tenaga kerja menjadi korban mekanisme pasar.
Rasulullah saw. bersabda:
“Tiga golongan yang menjadi musuh-Ku di hari kiamat: orang yang memberi makan lalu menipu, orang yang mempekerjakan pekerja lalu tidak membayar upahnya, dan orang yang berjanji lalu mengingkarinya.”
(HR. Bukhari)
Dalam sistem Islam, negara tidak sekadar menjadi fasilitator pasar, tetapi penjamin kesejahteraan rakyat. Negara wajib menyediakan pekerjaan yang layak, menjaga harga kebutuhan pokok, dan memastikan sumber daya alam tidak dikuasai oleh swasta.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah berkata:
“Seandainya ada seekor keledai yang mati kelaparan di Irak, aku takut Allah akan menuntutku karena lalai tidak menjaganya.”
Beginilah sensitivitas seorang pemimpin dalam sistem Islam, sangat jauh dari pemimpin kapitalis yang membiarkan rakyatnya “belajar mandiri” lewat magang berbayar yang sejatinya hanyalah bentuk eksploitasi terselubung.
Maka jelas, program magang berbayar bagi fresh graduate bukanlah solusi, melainkan cermin kegagalan sistem kapitalisme dalam menyejahterakan rakyatnya. Sistem ini mengubah manusia menjadi alat produksi, dan pemerintah menjadi pengelola pasar tenaga kerja, bukan pelindung rakyat.
Hanya Islam yang mampu mengakhiri lingkaran setan ini dengan menegakkan sistem ekonomi berbasis keadilan, bukan profit. Dalam sistem Islam, setiap individu berhak atas pekerjaan yang bermartabat, upah yang adil, dan kehidupan yang layak tanpa harus diperbudak oleh mekanisme pasar.
Dan hanya dengan kembali kepada syariat Islam secara kaffah, generasi muda akan menemukan arti sejati dari kerja, bukan sekadar bertahan hidup, tetapi berkontribusi untuk membangun peradaban yang diridai Allah. [My]
Baca juga:
0 Comments: