Mengenalmu untuk Merindukanmu, Ya Rasulullah
Oleh: Hanif Eka Meiana
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Dua minggu yang lalu aku mengikuti sebuah kajian. Saat itu, beberapa pertanyaan bergulir seputar persoalan keumatan: mulai dari masalah ijazah palsu, MBG, konflik Palestina dan Israel, serta topik-topik sejenisnya. Begitu banyak problem umat hari ini yang tak mampu terselesaikan dengan tuntas. Hal ini menyisakan derita bagi rakyat dan luka yang tak berkesudahan bagi umat Islam saat ini.
Berbagai cap disematkan kepada umat Islam yang katanya memiliki jumlah terbesar di dunia. Label miskin, bodoh, penjahat, teroris, jorok, dan lainnya menjadi hal yang sering dikonsumsi masyarakat dunia. Sedih rasanya melihat bagaimana stigma negatif itu tertancap pada diri umat Nabi Muhammad saw. Bagaimana tidak, sejarah telah membuktikan bahwa umat Nabi Muhammad saw. pernah menjadi umat terbaik selama lebih kurang tiga belas abad lamanya. Saat itu peradaban Islam menjadi peradaban yang gemilang, menghasilkan karya-karya terbaik dan bermanfaat bagi manusia, mencetak generasi berkepribadian Islam yang mulia, serta memiliki sistem terbaik yang mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Namun, hari ini kita dapati pencapaian itu hanya ada di masa lalu. Kini, umat Islam seperti singa yang tertidur—tak mampu berbuat apa pun saat saudaranya kesulitan dan saat negerinya dijajah oleh berbagai pemikiran rusak. Perpolitikan dan ekonomi dikuasai oleh oligarki. Di sisi lain, umat begitu merindukan sosok teladan, kepemimpinan yang amanah, dan kehidupan di bawah sistem yang adil. Itu pula yang aku rasakan.
Di tengah kesejukan ruang majelis dua minggu lalu, suara Ustazah Annisa mengalir tenang, namun setiap katanya seolah menampar kesadaranku. Hingga seorang ibu di sudut ruangan, dengan suara sedikit bergetar, melontarkan pertanyaan yang sesungguhnya bersemayam di hatiku juga, “Ustazah, bagaimana caranya agar kita bisa menangis saat mengingat Rasulullah?” Pertanyaan itu senyap, namun menggema di seluruh ruangan.
Pertanyaan tersebut mewakili perasaanku. Entah aku yang kurang peka, kurang ilmu, atau terlalu dalam terbenam dalam lautan lumpur kapitalisme. Aku lebih banyak memikirkan diriku sendiri dan amal pribadiku, terkadang lupa akan penderitaan saudara di Palestina. Aku sering memikirkan tagihan harian dibandingkan dengan dakwah menyampaikan kebenaran Islam kepada umat. Lautan lumpur kapitalisme itu terasa begitu nyata—menarikku ke dalam kesibukan duniawi hingga lupa pada kerinduan yang seharusnya membara.
Ustazah menyampaikan bahwa kecintaan kepada Rasulullah dimulai dari bagaimana kita mengenal sosok beliau, Uswatun Hasanah—teladan kita dalam kehidupan individu, bermasyarakat, maupun bernegara. Bagaimana Rasulullah tidak pernah mementingkan diri sendiri, bagaimana beliau menghadapi berbagai ujian berat dalam sejarah kehidupannya.
Sungguh, tak ada keburukan yang kita temukan pada diri beliau. Yang ada hanyalah kebaikan, ketulusan, dan kasih sayang yang tercurah untuk umatnya. Rasulullah saw. tidak sekalipun mengeluh saat menerima amanah sebagai seorang nabi dan rasul. Beliau memimpin umatnya dengan bijaksana dan penuh kasih sayang. Tidak pernah ada manusia yang mampu seperti beliau, bahkan tak ada yang sanggup menyamai pribadi Rasulullah saw.
Ustazah mengingatkan kami pada peristiwa di Thaif—bagaimana mungkin seseorang yang diludahi, dilempari batu hingga berdarah, justru mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Cinta macam apa yang lebih besar dari amarah saat disakiti? Kasih sayang mana yang lebih tulus dari doa untuk mereka yang membenci? Di titik itu aku sadar, aku belum benar-benar mengenal pribadi agung ini.
Ustazah menyampaikan bahwa dengan mengenal Rasulullah, kita akan tahu betapa pelik dan berat ujian yang beliau hadapi. Betapa tulus cinta dan kasih beliau kepada umat, bahkan kepada umat yang belum pernah beliau jumpai. Dengan itu, hati kita akan mampu merindukan sosok teladan mulia ini—berharap dapat berjumpa dengan beliau, memperoleh syafaat beliau, dan bertetangga dengan beliau di surga-Nya. Namun, akankah hal itu terjadi pada diri kita dan umat Muslim hari ini?
Sesungguhnya umat hari ini telah jauh dari syariat Allah. Berbagai kerusakan, kezaliman, dan kemaksiatan terpampang di depan mata. Hukum-hukum Allah diabaikan, rasa malu memudar, kecintaan dunia semakin menggila, dan keberkahan menjauh. Dampaknya, fasad (kerusakan) tampak di berbagai aspek kehidupan. Bagai anak ayam kehilangan induk, umat seolah mencari jalan keluar seperti oase di tengah padang pasir. Banyak yang mengenal Rasul sebatas biografi tanpa memahami perjalanan hidup, langkah dakwah, dan kepribadian Rasulullah saw. yang sesungguhnya.
Maka tak heran, banyak yang mengingat beliau hanya saat Maulid Nabi atau Isra Mikraj. “Tangisilah dirimu karena kamu tak mampu menangis saat mengingat Allah dan Rasul-Nya,” demikian kata Ustazah. Kulihat banyak ibu-ibu yang hadir meneteskan air mata mendengar penuturannya. Sungguh, aku merasa malu kepada Baginda Rasulullah saw.—malu karena belum mampu meneladani beliau, lalai dalam beramal saleh, malu karena banyak dosa, serta malu karena belum menjadi umat terbaik.
Cinta itu perlu pembuktian. Tidak hanya sekadar di lisan, tetapi juga terwujud dalam perbuatan. Maka aku bertekad memulai dari hal terkecil. Mungkin bukan dengan mengubah dunia secara langsung, tetapi dengan langkah nyata: mempelajari sirah beliau lebih dalam, menceritakan kisah keteladanannya kepada anak-anak, membagikan ilmunya kepada teman-teman seperjuangan, mengkaji hadis, serta terus berdakwah dan berusaha ittiba’ (mengikuti) jejak Rasulullah saw.
Semoga kita menjadi orang-orang yang mampu meneladani Rasulullah saw., teguh dalam berdakwah, berupaya menjadi insan yang mulia, serta memperjuangkan apa yang Rasulullah saw. perjuangkan, yakni menegakkan agama Allah Swt. Semoga kita kelak mendapatkan syafaat beliau.
Aamiin Allahumma aamiin.
Wallahu a’lam bish-shawab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: