Headlines
Loading...
Perundungan Anak Terus Terjadi, PR Besar Kita

Perundungan Anak Terus Terjadi, PR Besar Kita

Oleh. Wulan Syahidah
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Perundungan pada anak terus berulang, hampir di setiap sekolah, kelas, atau di jalanan, kasus  bullying kerap terjadi. Bahkan kini dengan bentuk yang makin sadis dan menjurus kriminal. Ironisnya, pelaku adalah teman sebayanya. Teman sebaya yang seharusnya saling mendukung dalam kebaikan, tapi ini malah melakukan kejahatan pada temannya sendiri.

Fenomena ini bukan sekadar insiden, tapi telah menjadi “gunung es” sosial. Terasa makin sulit mencari ruang ramah anak dalam kondisi hari ini. Hal ini mencerminkan kegagalan sistemik.

Di antara banyaknya kasus perundungan, tidak ada satu keadilan pun didapatkan oleh para korban. Penyelesaian hanya secara kekeluargaan, karena hampir semua pelaku masih di bawah umur. Seperti kasus perundungan beberapa waktu lalu, yang dilakukan ketika korban bersama dua orang temannya, kemudian korban dipaksa untuk minum tuak, karena menolak. Tetapi temannya tetap memaksa korban untuk meminumnya. Setelah itu korban malah ditendang dengan batu bata hingga kepala korban berdarah. Korban pun digusur lalu diceburkan ke dalam sumur dengan kedalaman kurang lebih 3 meter. (CNNIndonesia.com, 26/6/2025).

Fakta-fakta ini sungguh membuat miris. Hal ini juga membuktikan bahwa regulasi yang ada hanya sekedar tambal sulam. Sistem sanksi yang lemah. Pendidikan sekuler telah gagal membentuk kepribadian anak. Pembiaran terhadap gaya hidup bebas ala kapitalisme menjadikan anak-anak kita bukan hanya korban, tapi juga pelaku kekerasan. Lebih menyedihkan lagi, munculnya minuman keras (tuak) dalam kasus ini menandakan adanya pembiaran terhadap peredaran barang haram yang justru digunakan oleh anak-anak.

Opini publik tidak boleh berhenti pada keprihatinan. Kita harus berani mengakui bahwa akar masalahnya terletak pada sistem kehidupan sekuler kapitalistik yang menjauhkan manusia, termasuk anak-anak dari nilai-nilai agama dan tanggung jawab moral. Sistem ini menempatkan kebebasan sebagai nilai utama, bahkan untuk anak-anak, tanpa mempertimbangkan kesiapan akal dan kejiwaan mereka. Akibatnya,  yang lahir adalah generasi rapuh, brutal, dan tanpa kendali.

Islam menetapkan bahwa perundungan, baik fisik, verbal, apalagi yang melibatkan benda haram adalah perbuatan terlarang. Dalam Islam, anak yang sudah baligh memikul tanggung jawab syar’i (mukallaf), dan akan dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakannya di hadapan Allah dan juga di dunia, jika menyakiti orang lain. Islam juga menetapkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama.

Pertama, keluarga wajib bertugas menanamkan akidah, adab, dan kontrol diri sejak dini. Kedua, masyarakat wajib menciptakan lingkungan yang bersih dari kekerasan, pornografi, narkoba, dan segala bentuk perilaku menyimpang.  

Ketiga, negara sebagai penanggung jawab utama, harus menyusun kurikulum berbasis akidah Islam, bukan sekadar pelajaran moral formalitas. Negara juga wajib melarang peredaran barang haram seperti tuak dan rokok di kalangan anak-anak, serta menerapkan sanksi yang mendidik dan tegas, termasuk bagi anak mukallaf agar menjadi efek jera dan pelajaran.

Sistem sanksi Islam bukanlah kekerasan, tapi bagian dari pendidikan yang adil dan bermakna. Anak yang bersalah dibina sesuai tingkat pemahaman dan tanggung jawabnya, bukan dimusuhi atau dikriminalisasi secara buta. Selama sistem sekuler kapitalis masih mendominasi kehidupan, perundungan anak hanya akan terus terjadi dengan wajah yang makin mengerikan. Maka, solusi bukan hanya soal memperberat hukuman, tapi mengubah sistem kehidupan secara menyeluruh ke arah Islam kafah. 

Dengan sistem Islam, negara akan mencetak generasi berakhlak, tangguh, dan bertanggung jawab, karena pendidikan, aturan, dan lingkungan diarahkan menuju ketaatan pada Allah Swt. Hanya dengan itu, kita bisa benar-benar menyelesaikan PR besar perlindungan anak, bukan sekadar menutup borok dengan kosmetik hukum. [MA]

Baca juga:

0 Comments: