Headlines
Loading...
Harga Beras Naik, Ini Masalah Sistemik

Harga Beras Naik, Ini Masalah Sistemik

Oleh. Lilis Hy
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Setiap tahun, publik kembali dijejali narasi usang: stok beras aman. Namun, faktanya berkata lain. Pada pekan kedua Juni 2025, harga beras justru melonjak di 133 kabupaten dan kota.

Padahal, pekan sebelumnya “baru” 119 daerah yang mengalami lonjakan harga (ekonomi.bisnis.com, 16/6/2025). Tak hanya itu, Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium kini menyentuh Rp12.500 hingga Rp15.800 per kilogram (CNN Indonesia, 3/6/2025).

Kenaikan ini jelas bukan sekadar statistik. Ia menghantam langsung dapur rakyat kecil. Para ibu rumah tangga harus memutar otak lebih keras, pedagang makin terhimpit. Ironisnya, saat harga terus meroket, Bulog justru mengklaim stok beras dalam kondisi melimpah.

Lalu, mengapa harga tetap naik? Salah satu faktornya adalah kebijakan penyerapan gabah dalam jumlah besar oleh Bulog, yang justru menyebabkan penumpukan di gudang. Akibatnya, suplai ke pasar tersendat. Bahkan, Menteri Pertanian menyebut kemungkinan adanya praktik 'permainan' dalam distribusi.

Situasi ini menyingkap kenyataan pahit: pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme tidak berpihak pada rakyat.
Negara tak lagi mengupayakan pangan sebagai hak rakyat, melainkan membiarkannya bermain di lapak pasar. Yang dijaga bukan perut rakyat, tapi stabilitas untung rugi.

Dalam sistem seperti ini, distribusi pangan tidak pernah benar-benar adil. Penimbunan menjadi peluang bisnis. Harga dibiarkan fluktuatif atas nama pasar bebas. Sementara rakyat hanya bisa pasrah pada nasib.

Bandingkan dengan sistem Islam. Islam menempatkan negara sebagai penanggung jawab utama atas kesejahteraan rakyat—termasuk soal pangan, tak boleh diserahkan pada mekanisme pasar.

Negara bukan hanya menjamin ketersediaan, tetapi juga memastikan distribusinya merata hingga ke setiap individu. Praktik penimbunan dilarang keras. Petani mendapat dukungan menyeluruh—mulai dari penyediaan bibit, pupuk, hingga infrastruktur.

Yang membedakan, sistem ini tidak dijalankan demi kepentingan elite atau perhitungan laba, tetapi berdasarkan syariat Islam. Negara menjalankan fungsinya sebagai ra’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung) sebagaimana diperintahkan Allah.

Selama sistem kapitalisme masih menjadi fondasi pengelolaan negeri, penderitaan rakyat akan terus berulang.
Hanya sistem Islam di bawah naungan Khilafah-lah yang mampu menjamin keadilan distribusi dan ketersediaan pangan hingga ke setiap individu rakyat—bukan demi untung, tapi sebagai bentuk tanggung jawab di hadapan Allah Swt.

Wallahu a’lam bish-shawab. [Rn]

Baca juga:

0 Comments: