Oleh. Mela Amalia
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Jagat maya kembali gaduh. Akhir Juni 2025, rakyat Indonesia diguncang kabar memilukan dari Ciparay, Kabupaten Bandung. Seorang pelajar SMP berusia 13 tahun menjadi korban perundungan keji. Ia bukan hanya dihina atau dijauhi, tetapi dipaksa meminum tuak, disuruh merokok, ditendang hingga berdarah, lalu diceburkan ke dalam sumur. Fakta ini disampaikan langsung oleh Kapolsek Ciparay, Iptu Ilmansyah ( CNNIndonesia.com, 26-6-2025).
Peristiwa bermula saat korban berkumpul dengan dua teman dan satu pria dewasa di Kampung Sadangasih. Mereka memaksanya meminum tuak. “Korban menolak, tapi kemudian dipaksa untuk meminumnya setengah gelas,” tutur Kapolsek. Setelah itu, korban dipaksa merokok. Saat hendak pulang, ia ditendang hingga kepalanya membentur bata. Darah mengalir. Tak cukup sampai di situ, tubuhnya digusur dan diceburkan ke dalam sumur sedalam tiga meter.
Lebih menyedihkan lagi, beberapa anak hanya menonton, bahkan merekam kejadian itu. Luka di kepala korban disiram alkohol. Dalam keadaan berdarah, ia berjalan menuju masjid untuk membersihkan diri. Di tengah kelamnya pergaulan, hanya rumah Allah yang tersisa sebagai tempat berlindung.
Polisi kemudian bertindak setelah video viral. Tiga pelaku diamankan. Namun publik bertanya, apakah cukup dengan penangkapan? Apakah keadilan hanya lahir jika kasus menjadi viral?
Perundungan ini bukan sekadar tindakan kriminal. Ia adalah potret buram dari rusaknya sistem kehidupan hari ini. Sistem yang gagal menanamkan akhlak, iman, dan rasa takut kepada Tuhan.
Di tengah arus sistem Liberal-sekuler, remaja dibiarkan tumbuh dalam kebebasan semu tanpa batas. Alkohol bisa dengan mudah hadir dalam pergaulan anak SMP. Kekerasan menjadi tontonan biasa, bukan lagi kejahatan yang mengundang jeritan nurani.
Padahal Islam telah datang dengan seperangkat hukum yang tak hanya mencegah, tetapi juga menyembuhkan.
Dalam Islam, hukum memiliki dua fungsi utama yang mendasar: jawabir dan jawazir.
Jawabir adalah fungsi hukum sebagai penebus dosa bagi pelaku. Artinya, jika seseorang dijatuhi hukuman syariat seperti had atau ta’zir atas kejahatan yang diperbuatnya, maka hukuman itu menjadi kafarat, penebus dosanya di dunia agar ia tidak lagi dihukum di akhirat.
Jawazir adalah fungsi hukum sebagai pencegah kejahatan, yakni memberikan efek jera dan menakutkan bagi siapa pun yang berniat melakukan kejahatan serupa. Dengan ini, masyarakat terjaga dari pelanggaran hukum dan kezaliman.
Jika hukum ditegakkan sesuai syariat Islam, maka pelaku perundungan seperti di Ciparay akan merasakan efek jera yang hakiki. Mereka dihukum tidak hanya agar keadilan ditegakkan, tapi agar masyarakat belajar dari kasus itu dan mencegah kejahatan serupa terjadi lagi.
Namun sayangnya, sistem hukum hari ini justru sering melahirkan ironi. Banyak kasus besar dibiarkan, banyak pelaku kekerasan dibebaskan. Penegakan hukum terkesan formalitas, bergerak hanya setelah kamera menyorot. Inilah akibat dari sistem hukum buatan manusia yang serba lemah dan rapuh.
Islam memandang perundungan sebagai kezaliman besar. Islam mengharamkan miras secara mutlak, karena ia sumber kerusakan akal dan jiwa. Bahkan menyakiti sesama, sekecil apa pun, adalah dosa yang akan dihisab.
Islam juga tidak berhenti pada larangan, tetapi menghadirkan sistem pendidikan dan pembinaan karakter berbasis iman dan takwa. Dalam Islam, anak-anak tidak sekadar dibina untuk jadi cerdas, tapi untuk menjadi bertakwa dan bertanggung jawab di hadapan Allah.
Mereka dibimbing dengan pola pikir dan pola sikap Islam, diajarkan bahwa setiap perbuatan diawasi oleh Allah. Mereka tahu bahwa menyakiti adalah dosa, dan mengabaikan penderitaan orang lain adalah kezaliman.
Maka, sungguh, sistem saat ini telah gagal mendidik anak-anak kita. Pendidikan hari ini gagal menanamkan iman, gagal membentuk kepribadian Islami, dan gagal melahirkan generasi yang takut berbuat dosa.
Sudah saatnya kita kembali pada sistem hukum Islam yang paripurna yang melindungi masyarakat, menebus dosa pelaku, dan mencegah kejahatan di masa depan.
Sistem Islam bukan sekadar menindak, tapi membina. Bukan sekadar menghukum, tapi menyucikan. Bukan sekadar menakut-nakuti, tapi juga menenteramkan.
Karena keadilan sejati hanya bisa lahir dari hukum Allah. Dan keamanan sejati hanya tumbuh dari ketaatan kepadaNya.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb. [ry].
Baca juga:
0 Comments: