Headlines
Loading...
Sambutan Hangat untuk Macron: Sebuah Hipokrisi Diplomatik Indonesia?

Sambutan Hangat untuk Macron: Sebuah Hipokrisi Diplomatik Indonesia?

Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)

SSCQMedia.ComKunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia, disambut meriah oleh Presiden Prabowo Subianto, dalam peringatan 75 tahun hubungan diplomatik (kompas.com, 28/05/2025), mengungkap paradoks yang menyayat. Sebab, sambutan hangat pemerintah Indonesia,  berbenturan tajam dengan reputasi kontroversial Prancis yang cenderung Islamofobia. Seperti pembatasan simbol keagamaan di ruang publik dan kontroversi kartun Nabi Muhammad yang menuai protes umat muslim dunia.
 
Bagi mayoritas Muslim Indonesia, sambutan tersebut terasa sebagai hipokrisi diplomatik yang mencolok. Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, pemerintah seharusnya mengambil sikap yang lebih tegas, bahkan mempertimbangkan sanksi diplomatik sebagai bentuk protes atas penghinaan dan berbagai kebijakan Prancis yang menindas. Namun,  sikap pemerintah Indonesia yang tampak acuh ini, telah menunjukkan prioritas yang memprihatinkan. Di mana kepentingan ekonomi dan diplomatik, tampaknya lebih diutamakan dari pada hak-hak dan martabat umat Muslim. 


Akar Islamofobia di Prancis: Sebuah Sejarah Panjang


Meskipun Macron bukanlah pencetus Islamofobia di Prancis, akar permasalahan ini jauh lebih dalam, dan tertanam kuat dalam sejarah panjang negara tersebut.  Dari Perang Salib yang menorehkan luka yang mendalam, hingga era kolonialisme Prancis di negara-negara mayoritas Muslim, persepsi negatif terhadap Islam dan umat Muslim terus dibangun dan diwariskan secara turun-temurun, membuat Islam seringkali digambarkan sebagai ancaman yang perlu di-sekuritisasi. 


Dan sebagaimana para pendahulunya, di bawah kepemimpinan Emmanuel Macron, Islamofobia di Prancis terus mengalami transformasi yang dramatis dan mengkhawatirkan.  Bukan sekadar peningkatan diskriminasi biasa, melainkan sebuah radikalisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Republik Kelima.  

Bahkan, Islamofobia di Prancis telah menjadi sistemik dan ter-institusionalisasi. Hal tersebut ditandai oleh penyebarluasan Islamofobia  ke semua aspek kehidupan, penetrasi ke semua tingkatan pemerintahan, legalisasi dan penerapan melalui sistem hukum, dengan penyebaran narasi anti-Islam secara sistematis dan terencana, serta pengerahan seluruh aparatur negara.


Transformasi kualitatif ini, menjadikan Islamofobia di Prancis sebagai masalah kebijakan publik yang disengaja, bukan sekadar fenomena sosial yang terjadi secara alami. Dan hal Ini menjadi latar belakang penting untuk memahami ironi sambutan Indonesia terhadap Macron.


Dilema Indonesia:  Menyeimbangkan Hubungan Diplomatik dan Prinsip Kemanusiaan


Meskipun tampak sebagai simbol persahabatan dan kerja sama bilateral, namun  kenyataan Islamofobia yang sistematis di Prancis, menghadirkan ironi yang signifikan. Dan Indonesia, sebagai negara mayoritas Islam yang mendorong nilai toleransi dan persaudaraan, sepatutnya menunjukkan sikap yang kuat dan konsisten dalam menanggapi isu tersebut.


Namun, situasi ini semakin rumit,  mengingat dominasi ideologi sekuler-kapitalis dalam sistem internasional, yang seringkali mengabaikan prinsip-prinsip keagamaan dan keadilan demi keuntungan ekonomi. 


Dan Islam, sebagai agama dan sistem kehidupan yang komprehensif, memberikan panduan bukan hanya untuk ibadah ritual, tetapi juga untuk interaksi sosial dan politik, termasuk hubungan internasional. Sehingga,  Islam memberikan panduan tentang bagaimana menghadapi mereka yang memusuhi agama, terutama jika kebijakan mereka menyebabkan penderitaan umat Muslim. Oleh karena itu, pemimpin negara-negara Muslim memiliki tanggung jawab moral dan keagamaan yang besar untuk bersikap tegas dan membela umat.  Bukan bersikap tunduk pada negara-negara imperialis atau pada negara promotor Islamofobia, seperti Perancis. 
 
 
Tanggung Jawab Moral dan Politik Luar Negeri dalam Perspektif Islam


Politik luar negeri dalam Islam memiliki kerangka kerja unik, yang berbeda dari pendekatan negara-bangsa konvensional. Dengan adanya konsep Darul Islam (negeri Islam) dan Darul Kufur (negeri non-Islam) menjadi landasan utama dalam menentukan strategi interaksi dengan negara lain. Pembagian ini bukan sekadar pembedaan geografis, tetapi mencerminkan perbedaan ideologis dan politik yang mendasar, menentukan bagaimana sebuah negara yang berlandaskan Islam berinteraksi dengan dunia luar. Sebab, tujuan utama politik Islam adalah menegakkan syariat Islam, melindungi umat Muslim, dan menyebarkan dakwah (ajaran Islam). Sehingga, hubungan dengan negara lain dipengaruhi oleh posisi mereka terhadap Islam dan umat Muslim.  


Dalam konteks Darul Kufur, pendekatan yang lebih hati-hati dan bijaksana. Di mana Interaksinya bergantung pada perilaku mereka terhadap umat Muslim dan Islam. Jika negara tersebut bersikap ramah dan tidak mengancam, kerjasama dapat dipertimbangkan.  Namun, jika negara tersebut menunjukkan sikap bermusuhan, menghina Islam atau bahkan menindas umat Muslim, maka tindakan yang sesuai dengan syariat Islam, termasuk tindakan defensif atau bahkan jihad. Sebagai bentuk pembelaan diri  umat.
 

Penjajahan Palestina oleh Israel yang didukung oleh beberapa negara Barat,  merupakan contoh nyata dari tantangan kontemporer yang dihadapi oleh umat Islam.  Sebab, dukungan terhadap pendudukan dan penindasan rakyat Palestina,  merupakan pelanggaran dan jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Sehingga,  kerjasama dalam bentuk apa pun dilarang.


Situasi ini,  menunjukkan betapa pentingnya bagi pemimpin Muslim untuk tidak mengedepankan kepentingan ekonomi atau diplomatik semata, tetapi juga untuk memperjuangkan keadilan dan membela umat Muslim yang tertindas. 


Hal ini dapat dilakukan dengan mudah, karena Khilafah adalah negara yang berdaulat dan merdeka, baik dari sisi ekonomi maupun politik. Dan memiliki landasan ideologi dan hukum yang kuat dan jelas, berdasarkan Al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad saw. Sehingga memperkuat posisi Khilafah di kancah global. Sayangnya, ketiadaan Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang ideal, telah melemahkan posisi umat Islam, pasca runtuhnya Khilafah yang terakhir di turki pada tahun 1924. Negara negara muslim tercerai-berai menjadi negara-negara kecil dan membuat mereka rentan terhadap dominasi negara-negara imperialis dan bahkan negara-negara yang memusuhi Islam. 


Para pemimpin Muslim, dalam banyak kasus, cenderung tunduk dan takut untuk bersikap tegas.  Padahal, sejarah mencatat,  banyak pemimpin dalam Islam yang tegas dalam menghadapi penjajah dan penghinaan terhadap Islam.  Juga untuk melindungi martabat dan hak-haknya,  serta mengembalikan pengaruhnya di dunia internasional seperti masa lalu. Umat Islam perlu memperkuat persatuan dan kekuatannya kembali dengan mengembalikan Khilafah. Wallahu'alam bissawab.[US]

Baca juga:

0 Comments: