Penghormatan kepada Negara Pengusung Islamofobia, Pantaskah?
Oleh. Shandityas R.
(Aktivis Muslimah Gresik)
SSCQMedia.Com—Presiden Prabowo menerima kunjungan Presiden Prancis, Emmanuel Macron. Presiden menyebut, kunjungan Presiden Prancis ini sebagai kehormatan besar. Presiden Prabowo menjelaskan dalam 10 tahun lebih, hubungan bilateral antara Indonesia dan Prancis dilandasi oleh kerjasama politik yang berakar pada saling menghormati dan prinsip-prinsip yang dianut bersama, yaitu kemerdekaan, menghormati hak-hak asasi manusia dan demokrasi. (kompas.com, 28/5/2025).
Statement Presiden yang menganggap kunjungan Presiden Prancis sebagai penghormatan besar sangatlah melukai umat muslim di negeri ini. Hal ini ditengarai akan membuka celah normalisasi dengan pihak yang menghina dan melecehkan simbol Islam dan umatnya.
Negara Prancis termasuk salah satu pengusung Islamofobia. Selama pemerintahan, Presiden Emmanuel Macron secara konsisten membawa Islamofobia dalam kebijakannya. Prancis juga mendukung penuh berdirinya negara Israel yang merampas tanah dan hak hidup rakyat Palestina.
Konsistensi Prancis dalam mengembangkan ide Islamofobia berdampak buruk bagi muslim di Prancis. Saudara-saudara kita di sana kerap mendapat perlakuan diskriminatif dan pembatasan kebebasan dalam beragama. Dengan adanya pelarangan hijab, pelecehan karikatur Nabi Muhammad, puluhan masjid yang terpaksa ditutup dan beberapa badan amal muslim yang dibubarkan, sudah menjadi bukti sebagai bentuk Islamofobia dilegalkan di sana.
Seharusnya, pemimpin negara dengan mayoritas penduduk muslim memiliki sikap yang tegas dalam menunjukkan pembelaan terhadap agamanya. Karena tujuan bernegara, salah satunya adalah untuk "Hiratsatu ad-diin" (menjaga agama). Seharusnya pemimpin kaum muslimin marah ketika agama dan simbol-simbolnya dilecehkan.
Inilah yang terjadi dalam sistem sekuler-kapitalisme, kerjasama antar negara dirasa menguntungkan karena adanya asas manfaat. Negara pengusung anti-Islam ini tak henti-henti membuat jebakan agar pemimpin muslim mengikuti kemauan mereka di balik kerjasama politik dan diplomatik. Negara-negara yang memusuhi Islam semakin memperkuat pemahaman ideologi mereka pada negara mayoritas muslim sebagai misi menjauhkan agama dari kehidupan dan memecah ikatan-ikatan yang terjalin dalam satu akidah Islam.
Keadaan umat Islam yang lemah saat ini sangatlah sesuai dengan apa yang telah disampaikan Rasulullah saw. dalam satu riwayat beliau bersabda, “Ikatan Islam akan terlepas satu demi satu. Setiap kali satu ikatan terlepas, manusia akan bergantung pada ikatan berikutnya. Yang pertama kali akan terlepas adalah hukum dan yang terakhir adalah salat.”
Di dalam sistem Islam, negara diproyeksikan untuk menjunjung tinggi pembelaan terhadap agama. Ketegasan haruslah ditujukkan saat menghadapi negara kufur yang dengan terang benderang menghina dan melecehkan Rasulullah, agama, serta umatnya. Haram hukumnya bermanis muka dengan tangan terbuka, dan terlarang menjalin kerjasama dalam bentuk apa pun.
Allah memerintahkan untuk memerangi kaum yang secara jelas menghina agama. Rasulullah saw. para Khulafaur Rasyidin dan pahlawan Islam telah mencontohkan. Rasulullah mengepung Yahudi yang suka mengingkari janji.
Di masa Kekhalifahan Abbasiyah, seorang Muslimah dilecehkan oleh tentara Romawi di kota Ammuriyah. Ketika berita ini sampai kepada Khalifah Al-Mu'tashim, beliau segera mengirim pasukan besar untuk membebaskan kota tersebut. Dalam pertempuran, sebanyak 30.000 tentara Romawi terbunuh, dan kota Ammuriyah berhasil direbut kembali. Ini sebagai bentuk dakwah dalam penjagaan kehormatan perempuan, juga membuktikan kekuatan militer Islam pada masanya.
Hal ini menjadi tugas besar bagi umat Islam di seluruh dunia, betapa penting persatuan umat dalam negara dengan seperangkat aturan yang telah Allah Swt. berikan. Sudah pula dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. dan dilanjutkan para sahabat, yakni dalam bingkai daulah Khilafah.
Wallahualam bissawab. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: