Headlines
Loading...
Ibadah Haji Mudah dalam Sistem Khilafah

Ibadah Haji Mudah dalam Sistem Khilafah

Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)


SSCQMedia.Com—"No Visa!" Dua kata yang menghancurkan impian dan harapan Heri Risdyanto untuk menunaikan ibadah haji.  Bagi Heri, ini bukan sekadar penolakan administratif, melainkan tragedi yang merenggut kesempatan emasnya untuk menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima.

Heri Risdyanto bin Warimin, jamaah haji reguler asal Bandung, beserta istri dan orang tuanya, ditolak masuk ke Jeddah meskipun dokumen lengkap dan visa elektronik aktif sejak 6 Mei 2025.  Pembatalan visa oleh pihak lain pada 22 Mei 2025, tanpa sepengetahuan Heri, menjadi penyebabnya. Upaya Heri dan keluarganya untuk mendapatkan bantuan dari petugas kloter, KBIHU, dan Kemenag, gagal.  Petugas Kemenag yang datang ke bandara hanya sebentar dan tidak memberikan bantuan lebih lanjut. 

Lebih menyayat hati lagi, Heri dipulangkan ke Tanah Air bukan dengan perlakuan manusiawi.  Ia hanya dibekali tiket pesawat dan dipaksa meninggalkan Tanah Suci hanya dengan mengenakan kain ihram, pakaian suci yang seharusnya dikenakan saat melaksanakan ibadah haji. Disisi lain Komnas Haji menyatakan dokumen Heri valid dan mendesak Kemenag untuk menyelidiki kasus ini serta menolak narasi yang menyatakan Heri sendiri yang membatalkan keberangkatannya bahkan menyatakan kesiapannya dikonfrontir jika ada bukti pembatalan yang diajukan atas namanya. (khazanah.republika.co.id, 2/6/2025).

Peristiwa ini hanyalah satu dari berbagai kisah  yang mengungkap kurangnya perlindungan negara pada jemaah haji Indonesia.  Sebagai dampak dari sistem kapitalisme yang dijadikan dasar dalam bernegara selama ini. Fokus yang berlebihan pada aspek material dalam pengelolaan haji berpotensi mengabaikan pelayanan sepenuh hati kepada jemaah. 

Kapitalisasi Ibadah Haji

Salah satu bentuk kapitalisasi yang paling mencolok adalah bermunculan industri layanan haji. Melalui berbagai perusahaan menawarkan paket haji yang komprehensif, mulai dari pengurusan visa, tiket pesawat, akomodasi, hingga pembimbingan ibadah. Meskipun layanan seperti ini terkesan memudahkan jemaah, namun potensi komersialisasi harus menjadi perhatian serius. Harga paket haji yang tinggi, seringkali di luar jangkauan ekonomi sebagian besar masyarakat, menimbulkan kesenjangan dan eksklusivitas dalam akses ke ibadah ini. Praktik persaingan yang tidak sehat di antara perusahaan layanan haji juga dapat menyebabkan penurunan kualitas layanan dan tindak penipuan.

Dana haji yang besar terkumpul dan dikelola oleh lembaga resmi, seperti pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Bagi negara berparadigma kapitalis dana tersebut bagai dana segar yang dapat berpeluang untuk diinvestasikan dan memberikan keuntungan. Dengan dalih untuk kenyamanan jemaah haji melalu peningkatan infrastruktur. Namun akibat kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan haji telah menyebabkan berbagai kasus korupsi, yang pada akhirnya mengganggu pelayanan jemaah.

Ibadah Haji Mudah dalam Sistem Khilafah

Melihat kompleksitas permasalahan pengelolaan dana haji dan kebutuhan akan solusi yang lebih efektif dan adil, perbaikan sistem penyelenggaraan ibadah haji, hanya bisa dilakukan secara fundamental.


Konsep penyelenggaraan ibadah haji dalam sistem khilafah menawarkan model yang berbeda signifikan dengan sistem kontemporer. Alih-alih berfokus pada aspek finansial dan komersial, Khilafah menekankan kemudahan akses dan pelayanan sepenuh hati bagi seluruh umat Islam. Beberapa kebijakan kunci yang diusulkan meliputi:

1.  Penguatan Manajemen Terpusat:  Pembentukan departemen khusus untuk mengelola urusan haji dan umrah, terintegrasi dari pusat hingga daerah, akan menyederhanakan proses persiapan, bimbingan, pelaksanaan, dan kepulangan jemaah. Kolaborasi dengan departemen kesehatan dan perhubungan akan menjamin pelayanan terbaik.

2.  Biaya Haji yang Adil dan Terjangkau:  Besarnya Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) akan disesuaikan dengan biaya riil, mempertimbangkan jarak dan kebutuhan jemaah.  Akomodasi dianggap sebagai tanggung jawab negara, bukan sebagai sumber keuntungan.  Dana haji tidak digunakan untuk investasi atau pembangunan infrastruktur, melainkan dikelola secara transparan dan ditujukan sepenuhnya untuk pelayanan jemaah.  Selain itu pembangunan infrastruktur pendukung, seperti transportasi massal, dibiayai sepenuhnya dari Baitulmal, bukan dari dana haji.  Contohnya, Khalifah Abdul Hamid II dari Khilafah Utsmaniyah membangun jalur transportasi dari Istanbul hingga Madinah, dan Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz dengan pos layanan dan dukungan dana zakat.

3.  Penghapusan Visa untuk Warga Negara Khilafah:  Sistem Khilafah, sebagai kesatuan wilayah di bawah satu kepemimpinan dan hukum, memungkinkan penghapusan visa bagi warga negara khilafah.  Jemaah hanya perlu menunjukkan kartu identitas (KTP atau paspor) untuk memasuki wilayah suci.  Visa tetap berlaku bagi muslim warga negara non-Khilafah. Hal ini berguna untuk peningkatan aksesibilitas juga berdampak pada pengurangan potensi penipuan.

4.  Pengaturan Kuota yang Efektif:  Khalifah akan mengatur kuota haji dan umrah secara adil dan efisien, mempertimbangkan prinsip kewajiban haji sekali seumur hidup bagi mereka yang mampu. Sehingga prioritas diberikan kepada mereka yang belum pernah menunaikan ibadah haji atau umrah, berdasarkan data kependudukan.

Kesimpulannya, penyelenggaraan ibadah haji dalam sistem khilafah, menekankan aspek pelayanan dan kemudahan akses bagi jemaah. Fokusnya bukan pada keuntungan finansial, melainkan pada pemenuhan hak dan kewajiban keagamaan. Sehingga dapat  memastikan keadilan bagi seluruh umat Islam. Dengan begitu sistem Islam kaffah dapat menjadi solusi efektif dalam perbaikan sistem penyelenggaraan haji.

Wallahualam bissawab. []

Baca juga:

0 Comments: