Vie Dihardjo
(Alumnus Hubungan Internasional)
SSCQMedia.Com—Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) telah merilis catatan tahunan (CATAHU) sehari sebelum peringatan Hari Perempuan Internasional, 7 Maret 2025. Catatan Tahunan menyatakan bahwa kekerasan seksual mengalami kenaikan 10% dari 401.975 kasus di tahun 2023 menjadi 445.502 di tahun 2024 (bincangperempuan.com, 10/3/2025).
Begitu banyak regulasi yang dilahirkan untuk memberikan ruang aman bagi perempuan, tetapi nyatanya tidak mampu memberi ruang yang benar-benar aman. Perempuan justru dieksploitasi secara ekonomi, politik, hingga seksual. Ruang aman bagi perempuan, sesungguhnya diawali dari bagaimana memandang kedudukan perempuan.
Kapitalisme Memandang Perempuan
Dalam kapitalisme global perempuan mengalami paradoks. Di satu sisi perempuan terlibat secara langsung dalam rantai-rantai produksi sebagai pekerja, yang dianggap bisa diupah dengan murah. Di sisi lain perempuan juga adalah konsumen ‘pasar’ produk-produk industri.
Perempuan tidak benar-benar memegang kendali atas dirinya. Bahkan perempuan kehilangan ruang amannya, ia menjadi tidak aman dalam berbagai aspek (ekonomi, sosial, politik hingga budaya). Aturan perundangan yang dibuat belum bisa menciptakan ruang aman itu, misalnya UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) pada 2022, catatan kekerasan terhadap perempuan menurut CATAHU justru meningkat setiap tahun.
Akar Masalah
Hilangnya ruang aman perempuan, meningkatnya kekerasan seksual terhadap perempuan adalah masalah sistemik. Kebijakan-kebijakan yang lahir, seolah melindungi perempuan, tetapi nyatanya tidak.
Sistem kehidupan yang mengadopsi sekularisme yakni, memisahkan agama dan kehidupan, kebebasan individu secara luas tanpa batas, dan emansipasi yang melanggar fitrah, telah menjerumuskan perempuan pada eksploitasi dan kekerasan.
Hal ini dimulai dari sistem pendidikan yang hanya diarahkan pada penyediaan tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan, menomorduakan karakter, dan standar baik buruk.
Dalam sekularisme, baik buruk distandarkan pada agama melainkan manfaat. Arus informasi dalam sistem sekuler adalah komoditas, ia disaring berdasarkan kaidah untung rugi, bukan baik buruk, manfaat atau mudharat. Misalnya konten pornografi, diperdagangkan dan menjadi sebuah industri, yang banyak menginspirasi para pelaku kejahatan seksual, begitupun berita-berita kriminal.
Kebebasan adalah hal yang dijunjung tinggi dalam sekularisme, termasuk dalam pergaulan. Bebasnya interaksi laki-laki dan perempuan menjadi pintu masuk terjadinya pelecehan. Tersebarnya, mudahnya akses konten porno juga memicu rangsangan pada naluri seksual yang menyebabkan terjadinya banyak pelecehan dan kekerasan seksual pada perempuan.
Kejadian pelecehan dan kekerasan seksual, tidak mendapatkan sanksi yang menjerakan. Bahkan bila hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dilakukan secara suka sama suka, di sistem sekuler tidak bisa dijatuhi sanksi.
Islam Menjamin Keamanan Perempuan
Bukan retorika belaka, Islam benar-benar membuktikan memberi perlindungan maksimal pada perempuan. Seorang muslimah pernah diikat gamisnya pada ujung kayu dan ketika dia berdiri tersingkap auratnya, dilakukan oleh orang Yahudi di Pasar Madinah, ketika perempuan ini meminta tolong, datang seorang sahabat menolongnya, tetapi orang-orang Yahudi mengeroyok dan membunuhnya. Mendengar kejadian ini, Rasulullah mengumpulkan tentaranya dan memberi bendera kepada Hamzah bin Abdul Muthalib dan memerintahkan mengepung rapat orang-orang Yahudi selama 15 hari pada tahun kedua Hijriah. Kaum Yahudi menyerah, kemudian Rasulullah mengusir mereka dari Madinah.
Penjagaan Islam kepada keamanan perempuan juga dilakukan masa Khalifah Al Mu’tashim Billah ketika seorang muslimah dilecehkan di pasar Ammuriah, yang dikuasai Romawi, ketika muslimah tersebut menyeru “Wahai Mu’tashim, di mana engkau?”. Memenuhi seruan muslimah tersebut, Khalifah menggelar pasukannya yang panjangnya dari depan istananya di Baghdad hingga pasar di kota Ammuriah lalu menaklukkan kota tersebut.
Dalam menjaga keamanan perempuan, Islam memiliki metode yang komprehensif (menyeluruh). Secara preventif, dilakukan melalui sistem pendidikan. Pendidikan diarahkan melahirkan kepribadian islam, cara berpikir dan bertingkah laku dengan standar islam. Melalui sistem pergaulan (Nidzom Ijtima’i) bahwa pergaulan antar laki-laki dan perempuan adalah untuk melestarikan jenis manusia bukan sekedar memenuhi naluri seksual (gharizah nau’).
Tanggung jawab penafkahan tidak berada pada pundak perempuan. Oleh karena itu Islam memerintahkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi para lelaki untuk dapat memenuhi kebutuhan perempuan yang menjadi mahramnya (makanan, pakaian, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan keamanan).
Secara kuratif adalah menerapkan sanksi yang menjerakan. Untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dan eksploitasi pada perempuan. Sanksi tersebut adalah takzir (diserahkan pada Qadhi) yang bisa berupa hukuman penjara, cambuk, bahkan hukuman mati jika dinilai melampaui batas.
Ruang aman perempuan adalah niscaya, karena equivalent dengan takwa. Takwa diwujudkan dengan penerapan Islam kaffah, penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Karena tujuan penciptaan manusia adalah beribadah kepada Allah, sebagaimana Allah berfirman,
ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْØ¥ِÙ†ْسَ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Qs.Az Dzariyaat ayat 56)
Wallahu’alam bisshowab. []
Baca juga:

0 Comments: