Headlines
Loading...

Oleh. Eka Suryati 
(Kontributor SSCQMedia.Com)


SSCQMedia.Com—Gaza di pagi hari,  tak ada matahari yang biasanya hangat menyapa. Suara tangis anak-anak, dan rintihan para ibu yang kehilangan, mengiringi suara dentuman bom yang memporakporandakan segalanya. Ini menjadi sebuah kenyataan yang berulang, dari hari ke hari, tak berjeda, tiada harapan, seolah-olah semuanya takkan berakhir. Setiap hari Gaza dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa Israel masih terus menggempur Gaza tanpa rasa bersalah. Penduduk Palestina, rakyat yang tak berdaya menjadi sasaran  penjajah dalam melakukan aksi militernya yang sangat tak berprikemanusiaan.

Pengeboman juga menghantam apartemen di pusat kota Gaza, menghancurkan tempat yang mungkin menjadi satu-satunya perlindungan bagi keluarga tak berdosa. Bangunan-bangunan tempat tinggal dihancurkan. Semua ini terjadi saat mata dunia menatap, tapi tak cukup mengedip untuk menahan air mata atau menyuarakan amarah secara nyata. Menjadi hal yang tragis, karena kekejaman  militer Isr*el dibarengi dengan operasi darat di Rafah,  yang menghancurkan secara besar-besaran infrastruktur sipil. Hal ini menandai babak baru agresi yang  tak terbendung lagi. 
Ada hal lain yang tak kalah mematikan. Apakah itu?  kelaparan! Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan menyatakan gudang makanan mereka kosong. Warga Gaza bergantung pada bantuan pangan, dan bantuan itu tak kunjung tiba. Blokade yang dilakukan Israel telah menahan ratusan ribu ton makanan untuk sampai ke Gaza. Sejak 2 Maret, tidak ada satu pun bantuan yang berhasil masuk ke Gaza. Pasokan dasar seperti makanan, air bersih, obat-obatan, dan bahan bakar habis total. Layanan medis terhenti akibat rumah sakit yang lumpuh. Dapur-dapur komunitas yang selama ini menjadi tempat bertahan hidup harus ditutup karena tidak ada lagi bahan makanan untuk dimasak. 

Yang terjadi di Gaza bukan hanya bencana kemanusiaan, tapi eksekusi perlahan terhadap sebuah populasi yang tak berdaya. Kelaparan di Gaza bukan kecelakaan. Ia adalah senjata yang digunakan dengan sangat sistematis untuk menghancurkan fisik dan psikologis warga Palestina. Dalam laporan medis, menyebutkan bahwa warga Gaza dibunuh secara massal oleh serangan Israel yang tanpa henti dan juga tak berimbang. Tidak ada pertanggungjawaban, tidak ada penghentian, dan yang lebih memilukan, tidak ada keadilan.

Di Tepi Barat, militer Israel melanjutkan operasi penyerbuan ke sejumlah kota dan desa. Setidaknya 41 warga terluka, termasuk enam akibat tembakan peluru tajam. Adalah sebuah pelanggaran hak asasi ketika ambulans yang hendak menyelamatkan korban dihambat oleh pasukan Israel. Warga sipil Palestina menjadi sasaran bukan karena mereka bersenjata, tetapi karena mereka adalah orang Palestina. Di dunia di mana keadilan seharusnya berlaku universal, diskriminasi dan pembunuhan menjadi hukum yang diberlakukan di wilayah jajahan. Tidak ada tempat aman, tidak ada ruang bernapas, dan tidak ada kehidupan normal yang mungkin dijalani oleh warga Palestina di bawah bayang-bayang kekerasan Israel yang sistematis.

Dalam pusaran krisis yang terus bergulir, isu sandera kembali dimanfaatkan sebagai alat politik oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Meski laporan menyebutkan sebagian sandera dalam kondisi kritis dan puluhan telah tewas, perhatian utama justru tertuju pada kalkulasi kekuasaan, bukan keselamatan nyawa. Ketegangan pun meluas ke ranah internasional, dengan memburuknya hubungan Netanyahu dan mantan Presiden AS Donald Trump akibat pelanggaran kesepakatan, hingga Trump dikabarkan siap melanjutkan agenda regional tanpa Israel. Di tengah keretakan ini, Trump disebut-sebut akan mengumumkan rencana perdamaian baru untuk Gaza, termasuk pengakuan peran sipil Hamas dan kekebalan bagi para pemimpinnya. Namun, penolakan Israel terhadap pembentukan negara Palestina membuat Netanyahu terjebak antara menerima kesepakatan atau kehilangan kekuasaan akibat krisis politik dalam negeri. Di balik segala manuver elit ini, penderitaan rakyat Palestina terus berlangsung, mengingatkan bahwa perdamaian sejati hanya lahir dari keadilan dan pengakuan hak asasi manusia, bukan dari transaksi kekuasaan semata.

Kegeraman dunia internasional kian terasa, dengan Menteri Luar Negeri Spanyol mendesak Eropa untuk bersuara lebih lantang, dan Komisioner Eropa untuk Manajemen Krisis mengecam penutupan enam sekolah UNRWA di Yerusalem yang merampas hak belajar 800 anak. Seruan PBB yang menginginkan diakhirinya krisis kemanusiaan, namun masih tenggelam di tengah gemuruh bom yang terus menghantam Gaza. Sementara itu, umat Islam masih sibuk mengurus persoalan domestik ketimbang bersatu membela Palestina. Di tengah dilema moral global ini, dua pejabat militer Israel mengonfirmasi kepada New York Times bahwa mereka mengetahui identitas tentara yang menembak jurnalis Palestina-Amerika, Shireen Abu Akleh, tetapi tetap tidak ada tindakan hukum. Fakta ini mempertegas bahwa pembunuhan terhadap jurnalis, warga sipil, dan anak-anak Palestina bukan insiden acak, melainkan bagian dari pola kekerasan sistematis yang terus berlangsung karena impunitas yang diberikan oleh sistem hukum internasional yang lemah di hadapan kekuasaan Israel.

Kita, umat Islam tidak bisa lagi hanya menjadi penonton yang menyimak lalu lupa pada keadaan di Palestina. Dunia tidak cukup hanya menangis untuk Gaza. Tangisan tidak menghentikan peluru. Ratapan tidak membendung kelaparan. Pernyataan kutukan dan kecaman tidak memulihkan sekolah yang hancur atau rumah yang runtuh. Gaza membutuhkan lebih dari itu. Gaza membutuhkan solidaritas nyata, boikot ekonomi terhadap produk-produk pendukung agresi, tekanan diplomatik dari negara-negara berdaulat, dan dukungan tak bersyarat untuk hak-hak rakyat Palestina atas tanah, hidup, dan kebebasan.

Setiap bom yang jatuh di Gaza adalah bukti kegagalan umat manusia dalam melindungi yang lemah. Anak-anak, kaum perempuan dan orang-orang tua  yang meninggal karena kelaparan atau serangan udara adalah dakwaan terhadap dunia yang lebih peduli pada keuntungan politik daripada nyawa manusia. Dan setiap diamnya kita, seakan menjadi tanda setuju pada tindakan genosida yang terjadi.

Apa yang terjadi pada Gaza adalah ujian bagi hati, masihkah nurani kita terpanggil. Jika kita tidak bisa menghentikan penderitaan ini, setidaknya jangan membiarkannya terus berlangsung. Karena jika Gaza dibiarkan hancur, maka esok, kehancuran yang sama bisa menimpa siapa saja yang dianggap tidak pantas hidup oleh mereka yang lebih kuat. Pada kejadian di Gaza adakah tangis dan doa diperuntukkan bagi mereka yang syahid. Adakah kita menolong mereka dengan cara kita masing-masing?

Kotabumi, 9 Mei 2025

Baca juga:

Related Articles

0 Comments: