Khilafah Menggebrak Hegemoni Barat dan Sekutunya
Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com—Bayangan sistem Khilafah yang kembali tegak di bumi, terutama di wilayah yang selama ini menjadi incaran penjajah, telah menebarkan rasa takut yang mendalam di hati mereka. Sikap keras menolak kehadiran Khilafah justru semakin membuktikan betapa besar ancaman yang dirasakan oleh penjajah seperti Perdana Menteri Isr4el Benjamin Netanyahu, sekaligus bukti nyata dari ketakutan mereka akan kekuatan dan potensi Khilafah dalam menggoyangkan hegemoni yang selama ini mereka pertahankan.
Netanyahu secara tegas menolak konsep kekhalifahan di wilayah Mediterania, termasuk di Yaman, Lebanon, dan daerah lainnya. Dia mengklaim bahwa Isr4el akan mengambil tindakan untuk melawan upaya-upaya tersebut demi melindungi negaranya dan mencegah kebangkitan khilafah di Timur Tengah (media-umat.info, 23/4/2025).
Khilafah, sebagai sistem pemerintahan yang berdasarkan pada ajaran Islam, telah menjadi topik yang memunculkan berbagai reaksi di kalangan pemimpin dunia, khususnya di Timur Tengah. Sikap keras yang ditunjukkan oleh Perdana Menteri Isr4el, Benjamin Netanyahu, terhadap potensi kembalinya Khilafah di sepanjang pantai Mediterania, tidak hanya mencerminkan ketegangan politik di kawasan tersebut, tetapi juga menyorot kekhawatiran terhadap hegemoni Barat dan sekutunya.
Terlebih dalam konteks sejarah, Khilafah pernah menjadi sistem pemerintahan yang menguasai wilayah luas termasuk bagian dari wilayah yang sekarang dikuasai oleh Barat. Kejayaan Khilafah pada masa lampau telah menciptakan ketegangan antara dunia Islam dan Barat, yang mencapai puncaknya selama Perang Salib pada abad pertengahan. Kembalinya wacana tentang Khilafah saat ini kembali memperdalam friksi antara Islam dan Barat, terutama dalam konteks politik global yang kompleks.
Reaksi keras Netanyahu ini menjadi bukti bahwa keberadaan Khilafah tidak hanya dianggap sebagai sebuah ideologi atau tujuan politik semata, namun juga dipandang sebagai ancaman nyata terhadap kepentingan dan dominasi Barat yang telah lama menguasai wilayah tersebut.
Salah satu alasan dari sikap keras Netanyahu adalah efek nyata dari kesadaran umat Islam akan urgensi kebangkitan Khilafah, terutama dalam konteks pembebasan Palestina. Hal ini didorong oleh kegagalan solusi-solusi Barat selama bertahun-tahun dalam menangani konflik di Timur Tengah. Contohnya, Perjanjian Oslo yang ditandatangani pada tahun 1993 dengan tujuan menciptakan perdamaian antara Isr4el dan Palestina sebenarnya memperburuk konflik dan ketidakadilan.
Data menunjukkan bahwa jumlah warga Palestina yang terbunuh oleh militer Isr4el meningkat drastis sejak perjanjian tersebut. Belum lagi solusi dua negara yang saat ini digadang-gadang namun sejatinya hanya menguntungkan pihak penjajah Isr4el dan sama sekali tidak memberikan keadilan bagi Palestina.
Sementara itu, ideologi kapitalisme yang dipromosikan oleh Barat, meskipun dianggap sukses dalam pengembangan ekonomi dan politik, telah menimbulkan masalah yang lebih besar, baik dalam skala nasional maupun global. Data menunjukkan bahwa kekayaan terpusat di tangan segelintir orang, sementara jutaan manusia terjebak dalam kemiskinan.
Ironisnya, sistem bobrok tersebut melegitimasi ketamakan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam demi keuntungan semata hingga menghancurkan lingkungan hidup, mengancam kelangsungan hidup seluruh umat manusia. Serta masih banyak dampak negatif lainnya yang menjadi faktor krusial dalam mempertanyakan validitas dan keberlanjutan sistem rusak tersebut.
Berbeda halnya dengan sistem Khilafah, yang menawarkan keadilan dan kelestarian sebagai fondasinya. Sistem pemerintahan berbasis syariat ini tidak hanya menekankan keadilan, tetapi juga mengutamakan kesejahteraan bagi semua manusia. Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, Khilafah akan menghentikan eksploitasi sumber daya alam dan memastikan distribusi kekayaan yang adil. Prinsip-prinsip etika dan tanggung jawab dalam kegiatan ekonomi berbasis syariat akan menjadi jawaban atas krisis ekonomi global yang dihadapi dunia saat ini.
Dalam konteks permasalahan Palestina, Khilafah akan menjadi solusi yang adil dengan menjamin hak-hak dasar warga Palestina, termasuk hak atas tanah dan kemerdekaan.
Penolakan keras Netanyahu, meskipun tampak sebagai bentuk perlawanan, justru sebenarnya menjadi pengakuan atas kekuatan dan potensi kembalinya Khilafah. Ia juga tengah menegaskan bahwa seruan jihad dan Khilafah bukanlah sekadar wacana kosong, melainkan kekuatan yang mampu menggoyangkan tatanan dunia yang ada. Penjajah, yang selama ini merasa aman, karena dunia berada dalam cengkeraman kekuasaan mereka, kini merasakan getaran nyata dari kebangkitan umat Islam.
Namun demikian, jalan menuju Khilafah memang bukanlah jalan yang mudah. Rintangan dan tantangan akan terus menghadang, terutama dari pihak-pihak yang merasa terancam oleh sistem yang adil dan bermartabat. Khususnya dari mereka para penindas, pemuja kekuasaan, yang lebih mengutamakan kepentingan duniawi daripada nilai-nilai keislaman.
Tetapi dengan keyakinan yang kuat akan janji Allah dan bisyarah kemenangan yang semakin dekat, umat Islam harus bersatu dan berjuang. Sebab perjuangan ini bukan sekadar untuk mencapai tegaknya Khilafah, tetapi juga untuk memulihkan kehormatan dan kedaulatan umat Islam secara keseluruhan. Dengan tekad yang kuat dan semangat jihad yang suci, insyaallah, kemenangan akan teraih dan mimpi umat Islam untuk kembali berjaya akan terwujud. Wallahualam bissawab. [Ni]
Baca juga:

0 Comments: