Headlines
Loading...
Dilema Indonesia: Kedaulatan Ekonomi di Tengah Tekanan Global

Dilema Indonesia: Kedaulatan Ekonomi di Tengah Tekanan Global

Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)

SSCQMedia.Com—Bayangan kekuatan ekonomi global menghantui Indonesia. Di tengah gejolak perdagangan internasional, Indonesia seakan berada di persimpangan jalan antara menjaga dan mempertahankan kepentingan nasional atau menyerah pada tekanan dari negara adidaya seperti AS.

Dalam Laporan Tahunan National Trade Estimate (NTE) 2025 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) menyoroti kebijakan sistem pembayaran digital Indonesia, khususnya Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Hingga melontarkan sejumlah kritik tajam terhadap kedua sistem tersebut, yang dinilai sebagai proteksionisme yang menghambat persaingan bebas dan akses pasar serta merugikan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat.

Namun, Bank Indonesia melaporkan pertumbuhan volume transaksi pembayaran digital melalui QRIS yang signifikan pada triwulan I 2025 sebesar 169,15% dibandingkan tahun sebelumnya, didorong oleh peningkatan pengguna dan merchant. (inews.id, 24/04/2025)

Pemerintah Indonesia berupaya mendorong QRIS dan GPN guna meningkatkan inovasi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada perusahaan asing. Namun, dari sudut pandang Amerika Serikat, kebijakan ini dinilai sebagai proteksionisme yang menghambat persaingan bebas dan akses pasar yang adil bagi perusahaan-perusahaan AS.

Sebagai negara yang menerapkan sistem kapitalisme, Indonesia tentunya paham bahwa prinsip utama hubungan dagang luar negeri dalam kapitalisme adalah liberalisasi pasar, persaingan bebas, dan keuntungan maksimal. Yang diwujudkan melalui, perdagangan bebas. Sehingga dalam menanggapi kritik ini, menjadi dilema besar bagi Indonesia, di antara dua kepentingan yang saling berbenturan, yakni mempertahankan kedaulatan ekonomi atau menjaga hubungan baik dengan AS.

Namun, akibat ketergantungannya pada negara-negara kapitalis seperti AS membuat Indonesia rentan terhadap tekanan, meski harus mengorbankan kemandirian ekonomi nasional terlebih konsekuensi berat akan didapat jika mengabaikan kritik AS, berisiko memicu sanksi ekonomi dan merusak hubungan bilateral dengan negara adidaya tersebut.

Hal tersebut tentu akan jauh berbeda jika Indonesia menerapkan sistem Islam (Khilafah). Sebab, dalam pandangan Islam, perdagangan internasional bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan bagian integral dari sistem sosial yang berlandaskan keadilan, transparansi, dan kemanfaatan bersama. Prinsip syariah menekankan kedaulatan ekonomi, pencegahan eksploitasi, dan kontribusi perdagangan pada kesejahteraan rakyat.

Dalam kitab Nizhamul Iqtishadi fil Islam, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, pendiri Hizb ut-Tahrir, menjelaskan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang berlandaskan pada syariat Islam dan mencontoh praktik Nabi Muhammad saw. Di mana pendekatannya jauh berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang mendominasi dunia saat ini. Sistem kapitalis sering kali mengutamakan keuntungan semata, dan menganggap negara yang tidak memberikan keuntungan sebagai musuh. Contohnya adalah persepsi Amerika Serikat terhadap Tiongkok. Bahkan, Islam menyajikan sudut pandang yang komprehensif dan seimbang. Dalam perdagangan luar negeri terhubung dengan kebijakan luar negeri secara menyeluruh, 
dengan visi dakwah dan jihad.

Karenanya, hubungan perdagangan antarnegara dapat diklasifikasikan melalui 3 pendekatan berikut:

Pertama, berdasarkan status negara terhadap negara Islam, yang terbagi menjadi dua kategori utama:

-Negara kafir mu'ahid atau negara non-Islam yang memiliki perjanjian dengan negara Islam, yang mengatur perdagangan.

-Negara kafir harbi: atau negara non-Islam yang memusuhi negara Islam, yang terbagi menjadi dua subkategori: kafir harbi hukman (perdagangan berdasarkan perjanjian yang ada) dan kafir harbi fi'lan (contohnya Israel) yang tidak boleh memiliki hubungan perdagangan sama sekali.

Dan yang kedua, sistem dalam prinsip hubungan perdagangan luar negeri ini,  perdagangan dilakukan berdasarkan posisi masing-masing negara dan isi perjanjian dagangnya. Hal ini tidak hanya terkait dengan komoditas, seperti contohnya hubungan dagang antara Indonesia dan Amerika, di mana yang diperhatikan adalah barang-barang yang diekspor dan diimpor. Bagaimanapun, dalam prinsip perdagangan berdasarkan komoditas ini tidak berlaku dalam negara yang berbasis Islam, namun lebih kepada status kewarganegaraan.

Yang ketiga adalah mengenai tarif timbal balik (resiprokal). Prinsip ini pernah diterapkan saat masa Khalifah Umar bin Khattab. Konsep ini bukan tentang balas dendam, tetapi tentang keadilan dan kesetaraan. Jika suatu negara mengenakan tarif tertentu, negara Islam akan menerapkan tarif yang sama. Mekanisme ini dirancang untuk melindungi kepentingan ekonomi negara Islam dan mencegah eksploitasi. Sebab, semakin tinggi tarif yang dikenakan negara lain, semakin besar pula risiko yang mereka tanggung.

Dengan demikian, dalam pandangan Islam, perdagangan luar negeri dipandang sebagai alat strategis yang membutuhkan manajemen yang bijaksana dan berprinsip. Prinsip-prinsip seperti keadilan, keseimbangan, kemandirian ekonomi, dan dakwah menjadi elemen kunci dalam pendekatan Islam terhadap perdagangan internasional.

Adapun prinsip-prinsip tersebut juga relevan dalam menghadapi situasi seperti "serangan" AS terhadap QRIS, GPN, dan faktor-faktor lainnya. Sebab tujuan utamanya adalah untuk mencegah umat Islam memberikan kesempatan kepada non-muslim untuk menguasai dunia Islam.

Oleh karenanya berdasarkan prinsip-prinsip Islam, sistem ekonomi Islam juga sangat menekankan kemandirian ekonomi dan kedaulatan moneter dengan menggunakan mata uang dinar (emas) dan dirham (perak) untuk menghindari ketergantungan pada mata uang asing dan manipulasi ekonomi global.

Selanjutnya Khilafah juga akan membangun kemandirian ekonomi dalam berbagai sektor, termasuk pangan, industri (termasuk teknologi dan alat berat), serta membangun dan memperkuat pasar domestik yang dinamis untuk mengurangi ketergantungan pada pasar global dan tekanan dari negara-negara lain.

Lebih jauh, meskipun menekankan kemandirian, negara Islam tetap memandang perdagangan luar negeri sebagai alat strategis untuk dakwah dan penyebaran nilai-nilai Islam ke dunia internasional. Namun, hal ini dilakukan dari posisi kekuatan dan kemandirian ekonomi, bukan dari posisi lemah dan ketergantungan. Bahkan di tingkat global, Khilafah bisa mengatasi tekanan luar dengan keyakinan dan percaya diri  yang lebih tinggi, serta tetap mempertahankan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan nilai-nilai Islam.

Wallahu'alam. []

Baca juga:

0 Comments: