Di Balik Kejatuhan Rupiah: Saatnya Tinjau Ulang Sistem yang Diterapkan
Oleh. Isti
(Kontributor SSCQMedia.Com, Aktivis Remaja Boyolali)
SSCQMedia.Com—Nilai tukar rupiah mengalami kejatuhan terparah sejak krisis moneter (krismon) tahun 1998. Rupiah menyentuh angka 16.640 per dolar, mendekati rekor terendah 16.800 pada Juni 1998. Sepanjang tahun ini, rupiah menjadi salah satu mata uang paling tertekan di Asia, melemah hampir 3 persen terhadap dolar AS. (Financial Times, 26-03-25).
Menanggapi kejatuhan rupiah, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, mencoba meyakinkan publik, bahwa situasi saat ini berbeda dengan apa yang terjadi pada 1998. Ia beralasan, kejatuhan rupiah ini terjadi secara bertahap, tidak terjun tajam dalam waktu yang singkat seperti krismon 1998. Sejalan dengan hal itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, bersikukuh nilai tukar rupiah tidak akan melemah terus-menerus. Sebab, ia mengklaim fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. (BBC, 28-03-25).
Sementara itu, para pakar ekonom memberikan pernyataan yang berbeda. Mengutip BBC (28-03-25), Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyatakan, bahwa ekonomi Indonesia tidak resilient sama sekali seperti yang diklaim pejabat. Ia menyoroti kontradiksi antara kondisi fiskal yang melemah dan ambisi Presiden Prabowo dalam menjalankan program makan bergizi gratis yang mengorbankan berbagai sektor vital.
Andri bersama Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), memperingatkan, bahwa jika tidak ada perubahan signifikan, Indonesia bisa melaju ke arah krisis, terlebih jika ada guncangan eksternal seperti perlambatan ekonomi China atau perang tarif AS yang makin ketat. Bahkan, tanpa faktor luar sekalipun, menurutnya, ekonomi Indonesia sudah memasuki kondisi “sakit kronis”.
Hal yang selaras juga diungkapkan oleh Dr. I Wayan Nuka, Kaprodi FEB UGM, kepada Bolivia Rahmawati. Ia menyoroti bahwa defisit semakin melebar, angsuran utang terus meningkat, dan lembaga pemeringkat internasional telah menurunkan peringkat Indonesia. Menurutnya, jika pihak luar sudah melihat tanda-tanda kemunduran ini, maka pemerintah seharusnya tidak lagi mengelak dari kenyataan.
Rupiah yang tak berdaya di hadapan dolar, tidak lepas dari cadangan emas di baliknya. Indonesia merupakan salah satu penghasil emas terbesar di dunia. Namun ironisnya, AS-lah yang memiliki jumlah cadangan emas terbesar untuk mata uangnya pada tahun 2022.
Mengapa cadangan emas penting untuk nilai mata uang? Karena uang kertas (fiat money) tidak memiliki nilai intrinsik (nilai sejati). Uang kertas sejatinya hanyalah kertas. Ia bisa bernilai karena adanya kepercayaan masyarakat dan kebijakan negara. Sedangkan emas, memiliki nilai intrinsik yang melekat padanya. Emas merupakan logam mulia yang memiliki nilai sampai kapanpun. Bahkan, ketika negara runtuh. Oleh karena itu, emas sangatlah penting dalam perekonomian negara.
Sayangnya, Amerika Serikat dengan ideologi kapitalismenya, berhasil menekan negara lain agar menyesuaikan sistem perdagangan mereka dengan dolar. Pada tahun 1971, AS mengakhiri sistem alat tukar emas dan menetapkan dolar sebagai standar moneter global. Hal ini menjadikan dolar sebagai mata uang dominan dalam transaksi internasional, sekaligus mengendalikan kekayaan dunia. Dampaknya, sistem uang emas runtuh.
Ya, sebelum adanya uang kertas, emas yang menjadi alat tukar perdagangan. Islam menetapkan sistem dwi logam, yakni emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai mata uang. Sistem ini telah diterapkan sejak masa kepemimpinan Rasulullah saw. Karena logam mulia memiliki nilai intrinsik, tentu mata uang ini tidak akan terpengaruh oleh mata uang lainnya. Justru sebaliknya, mata uang lainnya yang akan menstandarkan nilai tukarnya dengan mata uang dwi logam.
Mata uang dwi logam terbukti tetap stabil dan memiliki daya beli hingga masa kini. Sebagai contoh, pada masa Nabi Saw, 1 dinar emas dapat digunakan untuk membeli seekor kambing. Saat ini, yakni 1400 tahun kemudian, 1 dinar (sekitar 4,25 gram) masih dapat digunakan untuk membeli seekor kambing. Bandingkan dengan uang kertas yang terus kehilangan nilainya dari tahun ke tahun akibat inflasi.
Inflasi juga disebabkan oleh mata uang yang beredar terlalu banyak, karena negara mencetak uang dalam jumlah besar untuk tujuan-tujuan tertentu (quantitative easing), tetapi tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi atau peningkatan barang dan jasa. Bayangkan, di pasar ada 10 roti dan uang yang beredar adalah Rp10.000, sehingga tiap roti mungkin harganya Rp1.000, tetapi ketika tiba-tiba uang di pasar menjadi Rp20.000, sedangkan roti tetap 10, maka harga tiap roti akan naik menjadi Rp2.000.
Hal ini berbeda dengan mata uang dwi logam. Emas dan perak tidak bisa dicetak sembarangan dan memiliki jumlah yang terbatas di alam. Oleh karena itu, mata uang dwi logam tidak akan mudah terpengaruh inflasi seperti halnya uang kertas.
Sesungguhnya Allah Swt, telah memberikan petunjuk bagi hamba-hamba-Nya yang berfikir dengan apa yang telah dicontohkan oleh Baginda kita Rasulullah Saw. Allah Swt berfirman,
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
(QS Al-Maidah (5):50).
Rasulullah sebagai suri tauladan, baik sebagai individu maupun sebagai pemimpin negara, telah mengajarkan kita hukum-hukum syariat. Penerapan hukum syariat ini bertujuan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam dan umat manusia serta menjadi solusi bagi setiap problematika kehidupan. Termasuk penerapan sistem uang dwi logam yang terbukti adil dan stabil dalam menjaga perekonomian.
Namun, penerapan sistem mata uang dwi logam tidak bisa dipisahkan dari penerapan sistem ekonomi Islam yang lainnya, seperti menolak penggunaan sistem ekonomi berbasis bunga (riba) dan spekulasi (gharar) yang dilanggengkan oleh sistem ekonomi kapitalisme. Oleh karena itu, kaum muslimin seharusnya segera tersadar akan urgensi pengembalian sistem Islam.
Sistem Islam termasuk sistem ekonomi Islam beserta sistem mata uang dwi logam ini, hanya bisa diterapkan oleh sistem kepemimpinan yang berlandaskan ideologi Islam, yakni Khilafah Islamiyyah. Selama kaum muslimin masih menerapkan ideologi kapitalisme, maka mustahil Islam dapat berdiri secara utuh dan menyelesaikan problematika umat manusia dengan tuntas. Karena penerapan hukum Islam, hanya bisa sempurna dan memberikan solusi yang hakiki, jika diterapkan secara komprehensif (kafah). Allah Swt berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)." (QS. Al-Baqarah (2): 208).
Wallahualam. []
Baca juga:

0 Comments: