Headlines
Loading...
Lo Punya Cuan, Lo Punya Jabatan, Lo Bebas Hukuman

Lo Punya Cuan, Lo Punya Jabatan, Lo Bebas Hukuman

Oleh. Tri Widarti S.Pd.I
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Di negeri ini, hukum sering kali tampak seperti pedang yang hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Jika Anda adalah rakyat biasa, kesalahan sekecil apa pun bisa membawa Anda ke pengadilan, dijemput polisi, bahkan dipermalukan di media. Namun, jika Anda memiliki kekayaan atau jabatan, tampaknya Anda bisa lolos dari jeratan hukum, atau setidaknya mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan dibandingkan dengan rakyat jelata.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami WK di Ambon menjadi bukti terbaru bahwa hukum di negeri ini bukan soal keadilan, tetapi lebih kepada siapa Anda dan seberapa kuat posisi Anda. Laporan yang diajukan hingga tiga kali tanpa respons yang memadai menunjukkan bahwa aparat lebih memilih mediasi ketimbang benar-benar menegakkan hukum. Mengapa? Karena pelakunya adalah anggota militer. Bayangkan jika tersangkanya adalah rakyat biasa; sudah pasti dijemput, ditahan, dan mungkin langsung diadili (Kompas.com, 23 Februari 2025).

Fenomena ini bukanlah hal baru. Banyak kasus di mana pejabat, orang kaya, atau aparat hukum yang terbukti bersalah tetap bisa hidup nyaman tanpa harus menjalani hukuman yang setimpal. Dari koruptor kelas kakap yang hukumannya dikurangi, hingga pelaku kekerasan yang bisa lolos dengan alasan "kurangnya bukti" atau "mediasi keluarga" (Hadjar, 2024). Semua ini menunjukkan bahwa hukum di negara ini bukan tentang benar atau salah, tetapi tentang siapa Anda dan seberapa besar pengaruh Anda.

Masalahnya terletak pada sistem. Hukum yang ada saat ini bukan dibuat untuk menegakkan keadilan, tetapi untuk melayani kepentingan mereka yang berkuasa. Jika Anda memiliki uang, Anda bisa menyewa pengacara mahal, menyuap pihak terkait, atau mencari celah hukum untuk lolos. Jika Anda memiliki jabatan, Anda bisa memanfaatkan relasi, pengaruh, atau bahkan institusi untuk melindungi diri.

Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratraman, menyatakan bahwa impunitas di Indonesia terjadi karena negara gagal menuntut mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum, seringkali karena pertimbangan politik tertentu. "Impunitas ini merupakan bentuk kejahatan negara yang sistematik," tegasnya (Wiratraman, 2023).

Cendekiawan Muslim, Ustadz Ismail Yusanto, juga mengkritisi tajamnya hukum ke bawah namun tumpul ke atas. Beliau menyoroti bahwa hukum sering kali memihak mereka yang memiliki posisi dan kekuasaan, sementara rakyat biasa kerap menjadi korban ketidakadilan. Menurutnya, fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum yang harus segera diperbaiki (Yusanto, 2024).

Hukum yang Adil Tanpa Pandang Bulu

Jika kita mau jujur, sistem hukum seperti ini sudah gagal total. Mereka yang miskin dan tidak memiliki kuasa akan terus menjadi korban, sementara yang kaya dan berjabatan bisa tetap santai meskipun jelas-jelas melanggar hukum. Ini bukan soal satu atau dua kasus, tetapi pola yang terus berulang dan tidak pernah benar-benar berubah.

Sebenarnya, ada solusi yang bisa menghentikan semua ini: sistem hukum Islam yang kaffah. Dalam Islam, hukum tidak mengenal siapa Anda, seberapa kaya Anda, atau seberapa tinggi jabatan Anda. Jika Anda bersalah, Anda akan dihukum sesuai dengan aturan syariat. Tidak ada potongan hukuman, tidak ada suap, tidak ada perlakuan istimewa bagi pejabat atau aparat.

Sejarah telah menunjukkan bagaimana Khalifah Umar bin Khattab bahkan menghukum anak seorang gubernur yang berbuat salah, atau bagaimana Ali bin Abi Thalib tunduk pada keputusan hakim meskipun ia seorang khalifah (Al-Mawardi, 1996).

Dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah karya Imam Al-Mawardi, dijelaskan bahwa keadilan adalah asas utama dalam pemerintahan Islam. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah apabila ada orang terpandang mencuri, mereka membiarkannya. Tetapi apabila yang mencuri adalah orang lemah, mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain itu, dalam Tafsir Al-Qurtubi, Imam Al-Qurtubi menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan secara adil, tanpa melihat siapa pelakunya.

Ketegasan dalam hukum Islam juga dapat ditemukan dalam Kitab Al-Umm karya Imam Asy-Syafi'i, di mana beliau menekankan bahwa keadilan harus ditegakkan di atas prinsip syariat, tanpa intervensi politik atau kepentingan kelompok tertentu.

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nizham Al-Islam menjelaskan bahwa hukum dalam Islam tidak mengenal kasta atau kekhususan bagi individu tertentu. Semua manusia sama di hadapan hukum syariat (An-Nabhani, 2001). Dalam Muqaddimah Ad-Dustur, beliau juga menjelaskan bahwa dalam Islam, penguasa bukanlah pemilik hukum, tetapi pelaksana hukum. Mereka tidak boleh memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang banyak terjadi dalam sistem sekuler saat ini (An-Nabhani, 2005).

Sampai Kapan Kita Diam?

Selama kita masih bertahan dengan sistem yang bobrok ini, jangan harap keadilan bisa benar-benar ditegakkan. Akan selalu ada orang yang bebas dari hukuman hanya karena mereka memiliki kekayaan dan jabatan. Jika Anda miskin dan rakyat biasa? Jangan harap bisa lolos, bahkan jika Anda hanya melakukan kesalahan kecil.

Islam telah menawarkan sistem hukum yang sempurna, di mana keadilan benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu. Namun, selama sistem sekuler yang cacat ini masih menjadi rujukan hukum, kita hanya akan terus menyaksikan keadilan yang bisa dibeli, hukum yang hanya tajam bagi rakyat kecil, dan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Jadi, sampai kapan kita akan terus membiarkan hukum menjadi mainan bagi mereka yang berkuasa? Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang kaffah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya. Wallahu a'lam bish-shawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: