Kenaikan Pajak dalam Kapitalisme, Menambah Beban Hidup Rakyat
Oleh. Nurma Safitri
SSCQMedia.Com-Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara dalam sistem kapitalisme. Karena itu pajak adalah satu keniscayaan, demikian juga dengan kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak.
Kenaikan pajak (PPN) sebesar 12% sudah mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2025. Pemerintah mengklaim kebijakan ini tidak akan berpengaruh pada rakyat menengah ke bawah, sebab penyesuaian tarif PPN hanya dikenakan pada barang dan jasa yang dikategorikan mewah dan dikonsumsi masyarakat mampu. Barang-barang tersebut di antaranya, kelompok makanan yang berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan yang berstandar internasional yang berbayar mahal (nasional.kontan.co.id, 30/12/2024).
Pertanyaannya, apakah dampak tersebut hanya bagi masyarakat yang mampu saja? Jawabannya adalah tidak, karena meski kenaikan pajak diperuntukkan untuk barang dan jasa yang premium, namun akan berdampak juga bagi masyarakat menengah ke bawah. Sebab menurut Direktur Kebijakan Publik Center of Economics and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar berpendapat kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% berpotensi memicu inflasi yang tinggi pada tahun depan. Kenaikan PPN menjadi 12% bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan, sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan (antaranews.com, 30/12/2024).
Dengan kenaikan PPN menjadi 12% ini, tampaknya rakyat mulai menyadari bahwa beban hidup pasti bertambah akibat kebijakan tersebut. Oleh karena itu, penolakan atas kenaikan pajak ini berdatangan dari berbagai elemen masyarakat seperti aksi di jalan, penandatanganan petisi, maupun gerakan sosial media. Namun lagi-lagi suara rakyat tidak didengarkan. Rakyat dipaksa lapang dada menerima kebijakan ini dengan alasan mendukung pembangunan infrastruktur termasuk fasilitas umum, padahal penolakan masyarakat terhadap kenaikan pajak sudah disertai pengkajian dan fakta bahwa setiap ada kenaikan pajak, maka pengeluaran mereka pasti akan meningkat, sementara hal itu tidak disertai dengan kenaikan gaji.
Inilah watak pemerintah dalam politik demokrasi bahwa penguasa pada hakikatnya tidak menjadi wakil rakyat yang memperjuangkan suara rakyat dan menjalankan pemerintahan untuk mengurus rakyat. Siapa pun penguasa yang terpilih dan bagaimanapun figurnya, maka ketika mereka berkuasa tetap dan harus menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, maka di sinilah persoalan yang sesungguhnya terjadi.
Pada dasarnya kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negeri. Prinsip ini tidak bisa dibebaskan dalam sistem ekonomi kapitalisme. Pajak dalam kapitalisme adalah sebuah keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran dan beragam jenis pungutan pajak. Padahal ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, pada hakikatnya rakyatlah yang membiayai sendiri kebutuhan berbagai layanan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat, negara abai menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Lantas muncul pertanyaan, lalu apa fungsi suatu negara? Jawabnya negara dalam sistem kapitalisme tidak lebih dari sekadar fasilitator dan regulator, bukan pengurus rakyat. Mirisnya regulasi yang dikeluarkan pemerintah justru tampak hanya melayani kepentingan para pemilik modal sebagaimana dalam persoalan pajak. Meski ada kenaikan pajak pada barang mewah, negara masih terus memberikan amnesti pajak pada pengusaha, alasannya agar investasi pengusaha bermodal besar tetap terjaga bahkan meningkat. Asumsinya, investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat, padahal faktanya pun tidak demikian. Artinya kebijakan pajak dalam sistem kapitalisme hanya mengabaikan rakyat biasa.
Rakyat hanya dipandang sebagai sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat wajib sebagai konsekuensi karena posisinya sebagai warga negara. Pungutan pajak jelas menyengsarakan karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat.
Berbeda halnya dengan kepemimpinan Islam, dalam kitab Syakhsiyah Al Islamiyah juz 2 halaman 161, karya ulama terkemuka abad ini yaitu Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menuliskan bahwa Islam telah memerintahkan agar penguasa memperhatikan rakyatnya, memberikan nasihat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum dan mewajibkannya agar hanya memerintah rakyat dengan Islam saja, tanpa yang lain.
Konteks dalam “pemerintah agar tidak menyentuh milik umum”, artinya negara wajib mengelola harta milik umum yaitu sumber daya alam (SDA) dan tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta apa pun alasannya termasuk dalam hal investasi. Hasil pengelolaan harta milik umum ini wajib dikembalikan negara kepada rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan, jihad fi sabilillah, membangun berbagai fasilitas umum, dan pelayanan yang akan memudahkan hidup rakyat.
Selain itu, makna dari “tidak menyentuh harta milik umum”, artinya pemasukan dan pengeluaran negara yang ditetapkan syarak tidak berbasis pajak dan utang, melainkan ketentuan ini tertuang dalam kitab Al Amwal fii Daulah Al Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zallum artinya dalam penerapan sistem ekonomi Islam oleh negara Khilafah, pajak tidak menjadi sumber pemasukan utama negara, tidak ada beban wajib pajak bagi kaum muslimin.
Islam telah menetapkan bahwa sumber utama pemasukan negara ada tiga jenis yaitu, dari harta milik negara, harta milik umum, dan harta zakat. Sumber pendapatan yang banyak dan beragam ini juga telah ditetapkan pos pengeluarannya oleh syariat dan semuanya bermuara pada kesejahteraan rakyat dan dakwah Islam. Sistem ekonomi Islam menempatkan dharibah (pajak) sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dikenakan dalam kondisi tertentu saja yaitu ketika baitulmal (kas negara) dalam keadaan kosong dan kritis. Pungutan tersebut hanya dikenakan pada kaum muslimin tertentu sesuai dengan dana yang dibutuhkan.
Khilafah akan menerapkan aturan syariat tentang pajak dan seluruh aturan Islam dengan dorongan takwa. Sehingga kebijakan Khilafah akan jauh dari kezaliman, apalagi manipulasi untuk memenuhi keinginan segelintir orang, sebab sumber lahirnya kebijakan hanyalah syariat Islam, bukan suara terbanyak, ditambah lagi adanya pengawasan dari majelis umat, partai politik/jemaah dakwah, dan individu yang berdasarkan syariat Islam.
Maka sungguh dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi Islam, Khilafah akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat, maupun individu per individu. Wallahualam bissawab. [Ni]
Baca juga:

0 Comments: