Kisah Inspiratif
Hidup Adalah Perjuangan
Oleh. Suyatminingsih, S.Sos.I.
SSCQMedia.Com- Langkah kakinya tegap berjalan melalui waktu demi waktu, cerita demi cerita hingga menjadi sebuah kisah kehidupan dengan semangat yang membahana. Pola pikir dan seni komunikasinya cukup komunikatif dan dengan mudah membagikan positive vibes pada orang lain.
Rutinitas sebagai seorang istri dan ibu dari lima orang anak, tidak menyurutkan keinginannya untuk berbuat. Meskipun, tidak sedikit orang yang menilai negatif bahkan melabelinya dengan segala hal yang tidak menyenangkan hati. Namun, beliau mampu mengabaikan dan mengontrol diri.
Keinginannya kuat membangun sebuah yayasan sosial yang akan dijadikan sebagai wadah untuk memberdayakan kaum perempuan dan anak di tempat tinggalnya. Ide-idenya cukup cemerlang dan mampu menggugah ghirah sosial diri. Setiap kalimat yang terucap dari lisannya, bisa membuka jalan pikir bahwa hidup ini tidak sekadar take and give. Lebih dari itu, hidup ini adalah tentang bagaimana kita bisa berdaya untuk orang lain.
Mendirikan sebuah perpustakaan mini yang diisi dengan buku-buku koleksi pribadi, sebagai langkah awal dari sebuah perjalanan untuk mewujudkan cita diri menjadi hamba yang bermanfaat untuk orang lain. Dengan cara itu pula, beliau berusaha mensyiarkan agama Islam melalui habit membaca. Tidak mudah bukan berarti tidak bisa, sukar bukan berarti tidak ada solusi, begitulah jargon yang bisa aku tangkap dari sisi gerak beliau tentang makna berbuat untuk kemaslahatan umat.
Sungguh, beliau adalah sosok yang berbeda, sosok yang aku kenal sebagai individu yang loyal terhadap dunia sosial dan kemanusiaan. Selain mempunyai latar pendidikan sebagai praktisi pendidikan, beliau juga seorang konselor.
Pernah suatu waktu, saat kami duduk di dalam kantor praktiknya, beliau berkata, “Dalam hidup ini, kita harus ikhlas dan selalu berbahagia. Hidup adalah perjuangan.”
Dari kalimat tersebut bisa dirasakan bahwa beliau sedang menanamkan positive thinking, agar kita lebih bersemangat dan bisa bersikap dalam hidup ini.
Saat bertemu dan kenal beliau, aku masih seorang mahasiswi dan baru berumur 21 tahun. Ya, saat itu aku masih melakukan praktik lapangan di tempat beliau bekerja. Hampir selama enam bulan berinteraksi, kami merasa sangat dekat satu sama lain. Pernah aku berkunjung ke rumahnya, sebuah rumah kontrakan sederhana, terletak di belakang pasar dan merupakan kawasan yang kumuh.
Jujur, pertama kali aku tahu, respon yang muncul adalah kaget. Bayangan rumah yang bagus, dengan pagar yang kokoh, lantai yang bersinar dan sejuk karena ber-AC, seketika buyar. Suaminya bekerja di warung yang merupakan bisnis keluarga, yaitu warung masakan padang bernama “Fadhli” dan anak-anaknya bersekolah di sekolahan komplek yang bonafit, terletak di Surabaya Barat.
Ironis? Mungkin bisa seperti itu atau bisa jadi tidak, seketika itu aku teringat dengan ucapannya, “Menjadi orang sederhana bahkan menjadi orang miskin, kita bisa bahagia. Karena, kebahagiaan ada di dalam hati kita bukan pada harta dunia kita.”
Aku tersadar, mungkin beliau mengucapkan hal itu agar aku tidak terkejut dengan sisi kehidupan pribadinya yang sangat pribadi. Miskin? Tidak, aku tidak berpikir demikian. Beliau kaya, kaya semangat, kaya pemikiran dan kaya langkah-langkah yang solutif. Jika tidak, mana mungkin beliau memilih sekolahan terbaik di Surabaya dengan basic Islam buat anak-anaknya dan berani menggelontorkan biaya yang bisa jadi cukup untuk membayar DP rumah dengan tipe bangunan terkini.
“Ibu sudah berapa lama tinggal di daerah ini?” tanyaku.
“Udah lama, sejak anak pertama kalau tidak salah. Nah, sekarang dia udah kelas 5 SD,” jawabnya dengan ramah.
Hingga saat ini, deretan kisah lalu bersama beliau tertulis rapi dalam buku diary. Semua nasihat dan segala inspirasi yang datang dari beliau, menjadi semangat diri yang kala itu dalam proses pencarian jati diri hendak kemana dan bagaimana setelah kuliah.
Aku bersedia menerima tawaran beliau untuk menjadi tenaga operasional dari yayasan sosial yang hendak beliau kukuhkan. Dengan menggandeng satu teman dekat, kami berjalan bersama dan berbuat bersama atas dasar kesadaran dan kemauan diri.
“Dalam bergelut di dunia sosial dan dakwah, memang sangat banyak cobaannya. Bahkan, sangat berat sekali. Oleh karena itu, kita harus bisa istikamah, qonaah, dan selalu berikhtiar, sebab kita berbuat untuk umat.” Nasihat pertama kali yang aku terima saat aku dan temanku bersiap untuk berbuat dan bergelut di dunia sosial, pendidikan, dan dakwah bersamanya.
Bertemu dan berinteraksi dengan manusia lain adalah warna kehidupan, tiada manusia yang sempurna dan di sanalah letak pelajaran hidup. Menghadapi segala macam tipe manusia dengan berbagai karakter dan problemnya, bisa membuat kita menjadi lebih kuat menapaki kehidupan dan mendekatkan kita pada Allah Swt. karena tak pernah memalingkan diri dari rasa syukur yang sesungguhnya.
Berawal dari taman bacaan masyarakat, lalu beralih menjadi yayasan yang fokus untuk memberdayakan kaum ibu dan anak serta bergerak dalam dakwah dan pendidikan, kami lalui dengan suka cita. Setelah mendapat gelar sarjana jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam, aku dan temanku yang bernama Siti Maimunah, tidak bingung menghadapi dunia luar. Kami bersama terjun di dunia sosial, di yayasan yang dibentuk oleh beliau, Ibu Immarianis, S.Pd., M.Si.Kons.
Hingga saat ini yayasan tersebut masih berdiri kokoh dengan nama Yayasan Ummi Fadhilah Surabaya. Sebuah yayasan yang tercipta dari sebuah keinginan dan usaha yang tulus, semua berangkat dari niat dan semangat bahwa “Hidup adalah Perjuangan.” [An]
Baca juga:

0 Comments: