Headlines
Loading...
Oleh. Noviya Dwi

SSCQmedia.Com- Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jalan ninja pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara, yang bertujuan mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang negara.

PPN Naik, Rakyat Semakin Sengsara

Topik yang hangat dalam dunia perekonomian karena berpengaruh pada hajat hidup orang banyak, yakni rencana kenaikan tarif PPN dari yang awalnya 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 diputuskan dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam pernyataan Menteri Keuangan, yakni Sri Mulyani, kenaikan tarif PPN pada awal tahun 2025 tetap akan berjalan. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan pendapatan negara dan menjadi peluang untuk mewujudkan terobosan baru dalam perekonomian (antaranews.com, 16/11/2024).

PPN Naik Akan Menjadi Beban bagi Rakyat

Kebijakan ini tentu akan menjadi beban tambahan bagi rakyat karena PPN adalah pajak yang dikenakan dari setiap tahap produksi dan distribusi barang atau jasa yang ada di dalam negeri, sedangkan kenaikan tarif pajak ini akan dibebankan kepada konsumen akhir, yakni masyarakat. Kemudian penjual atau produsen sebagai pemungut pajak yang akan menyetorkannya kepada pemerintah. 

Risiko penurunan konsumsi rumah tangga dapat menjadi ancaman yang nyata tanpa langkah yang terencana, di tengah tantangan akan ekonomi global dan pesimistis pasca pandemi. Perlu diingat bahwa konsumsi domestik masih menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang menyumbang lebih dari 50 persen Produk Domestik Bruto (PDB). 

Dampak yang besar dirasakan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah karena pajak ini bersifat proporsional bahwa semua konsumen akan dikenakan tarif yang sama tanpa memandang tingkat pendapatan. Ini merupakan konsekuensi penerapan ekonomi kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara, padahal negara memiliki sumber daya yang melimpah dan jika dikelola dengan baik oleh negara akan menghasilkan pemasukan yang sangat besar. 

Namun akibat dari sistem kapitalisme dengan prinsip liberalisasinya, negara menyerahkan SDA tersebut kepada pihak korporat, hingga rakyat kesulitan mengaksesnya. Negara mengabaikan dampak kesengsaraan rakyat akibat kenaikan pajak, menjadikan negara bukan sebagai pengurus segala urusan umat.

Negara tampak tidak peduli dengan nasib 25 juta rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bukankah kenaikan pajak akan menjauhkan masyarakat dari kata “sejahtera”, mirisnya negara semakin menampakkan keberpihakannya kepada korporat atau pemilik modal, negara bertindak sebagai regulator dan fasilitator yang siap melayani kepentingan pemilik modal. 

Oleh karena itu sistem kapitalisme ini tidak layak dijadikan sistem yang mengatur kehidupan manusia sebab sistem ini lahir dari buatan akal manusia sehingga bersifat batil dan tidak manusiawi.

Ekonomi Stabil dengan Menerapkan Syariat Islam

Sistem Islam menjadikan negara sebagai pengayom rakyat, bukan pemalak rakyat. Khilafah memiliki mekanisme sumber pendapatan negara, tanpa harus berutang dan memalak rakyat dengan pajak, karena Islam telah menetapkan berbagai sumber pemasukan negara yang melimpah ruah. Islam juga memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi pengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. 

Pajak bukanlah sumber pemasukan utama negara, hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas negara dalam keadaan kosong, sementara ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan. Memungut pajak bermakna mengambil harta milik kaum muslimin tanpa ada kerelaan diri mereka, dalam Islam tentu saja hukumnya adalah haram.

Pada dasarnya pemasukan rutin baitulmal dari pos-pos pendapatan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. sebagai hak kaum muslimin dan baitulmal, yakni pos fai dan kharaj, pos pengelolaan harta milik umum hingga zakat, semuanya cukup membiayai seluruh kewajiban keuangan yang menjadi tanggung jawab baitulmal. 

Ketika pemasukan baitulmal mampu memenuhi semua kewajiban keuangan negara maka negara tidak lagi membutuhkan pemungutan pajak dari kaum muslimin. Jika pemasukan baitulmal tidak mencukupi, sedangkan urusan pengurusan rakyat yang wajib tidak terlaksana akibat kosongnya pemasukan baitulmal maka kewajiban pemasukan baitulmal beralih kepada umat Islam.

Maka dengan demikian umat Islam berkewajiban untuk membayar pajak dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat, artinya tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak. Hanya umat Islam dengan kriteria mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenai pajak. Dan pajak tidak dipungut atas kafir dzimmi. Oleh karena itu ada perbedaan yang sangat mendasar dalam pemungutan pajak di dalam sistem Islam dan kapitalisme. Dalam kekhilafahan hanya akan memungut pajak jika negara berada dalam keadaan darurat, yakni ketika harta di baitulmal kosong atau tidak mencukupi. Sebaliknya dalam negara kapitalis, pajak dijadikan sumber utama penerimaan utama negara, akibatnya beban pembiayaan masyarakat dan industri semakin meningkat karena banyaknya pungutan yang harus mereka tanggung.

Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: