Headlines
Loading...
Oleh. Hessy Elviyah, S.S.

Hidup saat ini serba susah. Di satu sisi susah mendapatkan pekerjaan, di sisi lain pekerja seringnya mendapatkan perlakuan semena-mena yaitu kerja melebihi batas waktu. Tidak ada pilihan lain bagi pekerja selain menuruti perintah atasan. Sebab jika tidak, maka tempat kerja bisa dengan mudahnya memutus hubungan kerja.

Kasus kerja paksa ini menjadi isu santer terutama di dunia industri nikel. Amerika Serikat, melalui Departemen Ketenagakerjaan atau US Depertemen of Labor (US DOL) menyatakan bahwa industri nikel di Indonesia telah menerapkan sistem kerja paksa.
Menurut laporan US DOL, kerja paksa itu terjadi di wilayah Sulawesi Tenggara dan Sulawesi tengah. Warga Negara Asing (WNA) asal Cina yang bekerja di sana mendapatkan upah yang lebih rendah serta jam kerja yang lebih panjang dari yang telah disepakati. Tidak hanya itu, para pekerja tersebut mendapatkan kekerasan fisik dan verbal sebagai hukuman.

Namun, Hendra Sinadia selaku Direktur Eksekutif Asosiasi Penambang Indonesia atau Indonesian Mining Association (IMA) membantah tuduhan tersebut. Ia menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun dari anggotanya yang melakukan kerja paksa dalam industri nikel Indonesia. Lebih jauh ia menyampaikan tuduhan tersebut tidak menyertakan data dan sumber yang jelas. Lagi pula, dalam Perjanjian Kerja Bersama telah memasukkan aspek Hak Manusia (HAM).(Bloombergtechnoz.com, 28/09/2024)

Hal semacam di atas, tak jarang ditemui keluhan serupa di dunia kerja. Walau begitu, drmi membiayai hidup yang serba mahal para pekerja tidak ada jalan lain, selain harus menuruti perintah majikan.

Prinsip Kerja di Sistem Kapitalisme

Para kapitalis mempunyai prinsip dasar yaitu mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan mendapatkan untung sebesar-besarnya. Prinsip ini pun berdampak pada saat mengupah pegawai. Dengan target kerja yang banyak, tak jarang pegawai hanya mendapatkan upah seadanya sehingga tidak sesuai dengan tenaga yang telah dikeluarkan untuk tempat kerja.

Memang ada perkumpulan serikat pekerja untuk mewakili para pekerja dalam menyampaikan pendapat/seruan, namun sepertinya perkumpulan serikat pekerja ini hanya sebagai pelengkap dalam sistem ini, mereka tidak mempunyai pengaruh terhadap kondisi atau pun kesejahteraan para pekerja. Hari khusus yang digunakan untuk mengekspresikan pendapat seolah hanya dijadikan hari perayaan semata, tanpa ada perubahan apa pun terhadap kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah yang seolah lebih memihak kaum kapitalis.

Mirisnya, pemerintah seolah hanya berpangku tangan menghadapi kondisi ini. Negara tidak berperan banyak sebab memposisikan diri hanya sebagai regulator dan penengah antara pekerja dan pengusaha jika ada konflik terkait upah dan sebagainya. Seringkali, kebijakannya pun lebih memihak pengusaha.

Kesejahteraan pekerja pun tergantung kebijakan pengusaha. Dengan prinsip dasar menekan biaya, pengusaha minim sekali memberikan kesejahteraan. Banyak sekali kasus perusahaan/pengusaha tidak memberikan hak-hak pekerja seperti tidak memberi upah sesuai UMR, memecat pekerja tanpa pesangon, tidak memberi THR dan lain sebagainya.

Akhirnya nasib pekerja semakin terjepit. Upah tidak mampu menyejahterakan sementara beban kerja teramat berat. Untuk keluar dari pekerjaan bukan pilihan tepat di tengah gelombang PHK yang menerpa, belum lagi usia yang membatasi para pencari kerja. Amat memilukan.

Adapun pembelaan Amerika Serikat atas pekerja Cina kemungkinan hanya salah satu strategi untuk menggeser peran Cina terhadap penguasaan nikel di Indonesia. Sebagai negara adidaya, jelas Amerika Serikat tidak menginginkan negara jajahannya seperti Indonesia jatuh ke tangan negara lain. Walaupun Amerika Serikat mempunyai tambang emas di Papua, namun pasti tidak merasa puas atas apa yang telah didapatkan. AS akan selalu ingin menguasai seluruh SDA Indonesia.

Hal ini berarti Amerika Serikat tidak benar-benar membela kaum pekerja. Sebagai negara pengusung ide kapitalis, tidak mungkin AS tulus membela kaum lemah. Negara penjajah tersebut akan selalu mengambil untung atas tuduhan-tuduhan tersebut. Bisa jadi, dengan adanya tuduhan ini Cina akan berhenti mengirim tenaga kerja ke Indonesia, dengan begitu AS hanya fokus menyetir kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengelola nikel atas nama kerja sama dan tidak perlu repot merecoki kebijakan pemerintah Cina.

Maka dari itu, selama kapitalisme mencengkram dunia, permasalahan pekerja tidak akan pernah selesai. Sebab sistem ini hanya menjadi jalan kemakmuran bagi para kapitalis, sementara pekerja tetap menjadi "sapi perah" mereka. Keadilan bagi para pekerja hanya ilusi tanpa bisa terealisasi.

Nasib Pekerja dalam Islam

Islam memandang pekerja sebagai bagian rakyat yang harus diriayah (diurusi). Oleh karena itu, negara senantiasa menjaga hubungan antar pekerja dan pengusaha agar tidak saling mendzalimi. Negara memastikan bahwa di antara pekerja dan pengusaha ada akad yang jelas terkait waktu kerja, upah, fasilitas dan keselamatan kerja sehingga dua-duanya sama-sama rida.

Negara juga hadir sebagai hakim yang memutuskan perkara sesuai dengan syariat apabila pekerja dan pengusaha ada perselisihan. Pun negara memastikan keduanya menjalankan hak dan kewajiban secara makruf. Negara tak segan-segan untuk menghukum sesuai ketentuan syariat apabila ada yang melanggar.

Demikian pula adanya tenaga pekerja, negara memaksimalkan sumber daya manusia dalam negeri, sebab negara mempunyai kewajiban untuk menyediakan lapangan kerja untuk rakyatnya. Hal ini akan meminimalkan tenaga asing untuk bekerja di negara Islam. Walaupun ada tenaga asing, negara Islam tetap akan memenuhi hak-haknya sebagai pekerja.

Demikianlah gambaran pekerja dalam negara Islam. Pekerja akan sejahtera sebab negara mengurus sesuai dengan syariat Allah Swt. Pengusaha pun tidak akan rugi sebab kebutuhan masyarakat akan dipasok dari perusahaannya. Dari sinilah roda ekonomi akan berputar sehat dan kondisi seperti ini akan tercipta jika Islam diterapkan secara kafah di muka bumi. Insyaallah. Wallahualam. [My]

Baca juga:

0 Comments: