Headlines
Loading...
Cinta kepada Allah dan Rasul di Atas Segalanya

Cinta kepada Allah dan Rasul di Atas Segalanya

Challenge Motivasi 

Oleh. Dewi Khoirul 

Adakah manusia yang rela hidup menderita, tidak tercukupi kebutuhan pangannya dan tidak memiliki tempat tinggal, tetapi salat tak pernah ditinggalkan, puasa senantiasa dilakukan, tilawah dan mentadaburi Al-Qur'an terus dikerjakan? 

Adakah manusia yang terus saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah dari kemungkaran?

Adakah manusia yang setiap kalimat dari lisannya adalah doa dan harapan akan kemenangan Islam agar kembali di tengah-tengah kehidupan?

Masihkah ada orang-orang seperti itu di tengah-tengah derasnya arus liberalisme kapitalis saat ini? Adakah manusia setangguh itu di era modern ini? Bukankah lebih baik jika dia memikirkan dunianya sehingga tidak hidup dalam kesengsaraan? 

Mungkin segudang pertanyaan yang serupa dengan itu sering kita dengar dan kita dapati di sekitar kita. Bahkan, bisa jadi orang terdekat kita yang menanyakan soal itu.

Sebenarnya hanya satu kata untuk menjawab semua pertanyaan itu. Kata itu ialah cinta. 
Ya, dengan cinta manusia bisa berbuat apa saja demi sesuatu yang dicintainya, termasuk mau berkorban nyawa, semua demi cinta.

Namun, jika cinta itu salah dan tidak terarah maka bukan cinta sejati yang didapat tapi justru kenistaan dan kesesatan. Misalnya, mencintai harta secara berlebihan akan menjadikan seseorang cinta dunia dan takut mati. Mencintai seseorang tapi tidak dilandasi karena keimanan, maka yang ada adalah cinta buta, seseorang akan tega berbuat di luar akal jika yang dicintainya berkhianat.

Sedangkan cinta sejati akan didapat jika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya. Cinta manusia kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati keduanya dan rida terhadap segala perintah Allah dan segala ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Orang-orang yang beriman tidak akan berbuat di luar yang telah digariskan oleh Allah, karena ia takut akan siksa-Nya.
Namun, justru ia akan mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya, karena ia sadar dan yakin  bahwa dunia ini hanya sementara, yang kekal abadi adalah Allah Swt semata.
Tentulah rugi jika mencintai pada sesuatu yang bersifat sementara.

Seorang yang beriman meyakini penjelasan Allah dalam Al-Qur'an surah Al-Ahzab ayat 24,
"Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik."

Jadi, sangat masuk akal jika di era modern ini dan di tengah derasnya arus liberalisme kapitalis ini masih ada manusia yang rela meninggalkan kehidupan dunia demi kehidupan abadi di akhirat nanti.

Tidak perlu bingung mencari siapa dia, tengoklah saudara-saudara kita yang ada di Palestina, bukankah kondisinya sama sebagaimana yang disebutkan di atas?
Juga para pejuang dakwah Islam yang berada di negeri-negeri muslim lainnya yang kuat menggenggam kebenaran, mereka pun akan berhadapan dengan kezaliman penguasa dan mungkin mengalami nasib yang sama, yaitu hidup dalam kesengsaraan. Namun, mereka tetap teguh di jalan kebenaran sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Hidup mulia atau mati syahid.

Wallahualam bissawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: