Headlines
Loading...
Opini

Oleh. Arik Rahmawati

Hari ini, menjadi perempuan mandiri terus menerus digaungkan oleh kaum feminis. Kaum feminis sangat bernafsu untuk memisahkan wanita dari peran utamanya yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga beralih menjadi mesin pencari uang. Mereka sangat getol memperjuangkan hak wanita dalam kehidupan politik agar keluar dari zona nyamannya dalam rumah  tangga kemudian menggantinya dengan peran ekonomi semata. 

Hari ini kita bisa melihat betapa banyak wanita yang merasa bahagia jika mandiri secara finansial. Mereka lebih percaya diri tampil di hadapan masyarakat daripada menjadi ibu rumah tangga. Mereka lebih bangga jika menduduki jabatan sebagai pejabat teras atau pimpinan perusahaan. Mereka lebih betah bekerja berjam-jam di kantor daripada mengatur urusan di rumah. Hari ini perempuan bekerja seolah-olah lebih bermanfaat dan mentereng jika dibandingkan dengan ibu yang ada di rumah tangga. Bahkan tak sedikit para ibu yang akan lebih memilih bekerja hingga ke luar negeri sekalipun, jika memungkinkan ada panggilan. Tak peduli meski masih memiliki anak balita dan masih memiliki suami. Bahkan terkadang juga justru suamilah yang meridai istrinya untuk mencari uang di luar negeri. Sebenarnya kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam yakni mengiming-imingi wanita secara materi dan menjauhkan perempuan dari tatanan syariat. 

Sebenarnya ketika perempuan diklaim bisa mandiri secara ekonomi lalu terbang ke luar negeri tanpa disertai mahramnya justru ia rawan untuk diperkosa. Dia tak bisa membela diri dan bisa jadi pulang ke negaranya hanya tinggal nama. Perempuan juga rawan untuk dijual menjadi budak seks di dunia hitam. Komnas Perempuan meluncurkan Catahu (catatan tahunan) telah mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan pada 2023 sebanyak 289.111 kasus atau  mengalami penurunan 55.920 kasus atau sekitar 12% dibandingkan 2022. Kendati demikian, Komnas Perempuan meyakini kasus yang tidak dilaporkan bisa jadi angkanya lebih besar (mediaindonesia.com, 07/3/2024). 

Begitu pula perempuan yang bekerja di dalam negeri sama saja. Perempuan yang telah bekerja harus meninggalkan anaknya yang masih dalam buaian demi cuan. Bahkan ada yang ditinggal saat masih minum ASI. Anaknya yang diminta bersabar untuk menunggu ibunya yang tak jelas kapan waktu pulangnya.

Seorang ibu disibukkan dengan pekerjaan hingga tak menyadari bahwa anaknya butuh kasih sayang, belaian, dan pendidikan. Seorang ibu akan kehilangan masa-masa emas dengan anak. Seorang ibu akan merasa sangat kelelahan jika sudah sampai di rumah sehingga tak sabar ketika melihat anaknya rewel. Maka di sinilah munculnya berbagai permasalahan kekerasan terhadap anak. Karena sudah capek di luar maka seorang ibu bisa saja tak sabar menghadapi polah tingkah anak lalu melakukan tindakan yang tidak dibenarkan oleh syariat. Pada faktanya upah yang  dihasilkan para perempuan ini juga akan sangat cepat habis untuk membeli kebutuhan pokok di dalam rumah tangga. Maka tak sedikit para perempuan yang terjerat pinjol. Padahal pinjol ini bukan mengatasi masalah akan tetapi malah menambah masalah karena terdapat bunga yang diharamkan di dalam Islam. 

Namun, bukan berarti bekerja bagi seorang perempuan tidak boleh. Karena pada hakikatnya bekerja bagi seorang perempuan itu hukumnya boleh selama tidak meninggalkan kewajiban utamanya yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Seorang suamilah yang berkewajiban mencari nafkah untuk keluarganya. Namun dengan adanya narasi pemberdayaan perempuan itulah yang menjadikan perempuan itu seolah-olah lebih baik mandiri tidak tergantung nafkah dari suami itu lebih baik sehingga membuat kaum perempuan kehilangan peran keibuan, merampok hak-hak anak mereka, dan berdampak biaya yang besar bagi kesejahteraan perempuan dan masyarakat. 

Kondisi yang memaksa perempuan harus mandiri dan terus digaungkan adalah murni karena sistem ekonomi kapitalis telah gagal menyejahterakan para perempuan. Kondisi ini juga menjadi cermin buruknya perlakuan sistem sekuler kapitalis terhadap para perempuan. Ide kesetaraan gender dan feminisme telah menjadikan kita kehilangan generasi yang kuat untuk masa depan. Ide ini sebenarnya berasal dari negara barat. Sebagaimana pernyataan Hillary Clinton dalam sebuah konferensi di Peru. Ia mengatakan, "Pembatasan partisipasi ekonomi perempuan membuat kita kehilangan banyak sekali pertumbuhan ekonomi dan pendapatan di setiap wilayah di dunia. Di Asia Pasifik, lebih dari $40 miliar dari PDB hilang setiap tahun."Agenda feminis ini murni untuk kepentingan keuangan bukan yang lain.  Inilah yang menjadikan kaum perempuan kehilangan  perannya sebagai ummun wa rabbatul bait.

Untuk mengatasi masalah ekonomi para perempuan ini diperlukan mekanisme negara. Karena kemiskinan perempuan ini bersifat struktural. Negara tidak mengatasi akibatnya namun mengatasi masalah dari muaranya. 
Pertama, negara akan mengakhiri dengan segera pembayaran berbasis riba kepada IMF. Negara tidak bergantung kepada bantuan asing manapun. Dengan demikian sisa pendapatan yang dimiliki akan dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan, pertanian, serta kebutuhan pokok warga negara. 

Kedua, negara menghapus segala akad perjanjian berbasis riba, menutup bank-bank ribawi lalu digantikan dengan akad-akad syariah. Menyediakan lahan yang bisa menghasilkan tenaga kerja. 

Ketiga, negara memastikan bahwa kekayaan tidak beredar pada segelintir orang-orang tertentu saja namun bisa beredar di tengah-tengah masyarakat. Negara akan memberi sanksi bagi rakyat yang telah melakukan penimbunan dengan hukuman yang keras. 

Keempat, negara menjaga stabilitas keuangan dengan memastikan mata uang kertas dijamin dengan emas dan perak sehingga terhindar dari inflasi

Kelima, negara akan menghilangkan segala bentuk pajak.  

Keenam, mengelola SDA secara bijak. Hasilnya untuk pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur rakyat dan dibelanjakan sesuai kebutuhan serta dapat mengentaskan kemiskinan. 

Ketujuh, meninjau ulang tanah kosong sehingga bisa dimanfaatkan oleh pihak lain agar lebih bermanfaat. Adapun yang dimaksud bahwa negara yang melakukan pemeliharaan sedemikian rupa terhadap rakyatnya itu adalah Khilafah. Negara yang telah sukses mengubur sejarah kelam kemiskinan, eksploitasi, serta perbudakan menjadi sejarah. 

Dalam negara Khilafah, perempuan itu bekerja bukan dalam rangka mencari cuan namun karena ingin menyumbangkan ilmunya bagi generasi masa depan. Motif mereka bekerja bukan lagi karena desakan ekonomi.  Perempuan boleh bekerja boleh tidak karena perempuan itu dinafkahi. Jika tak ada yang menafkahi maka kewajiban negara memberikan jaminan secara langsung, contohnya bagi janda-janda miskin. 

Dalam negara Khilafah tak ada perempuan yang terpaksa bekerja  mencari nafkah. Jikapun mereka bekerja bukan untuk motif ekonomi karena sudah dipenuhi nafkahnya dan dijamin oleh negara. Sehingga si ibu tetap mampu menjalankan tanggung jawabnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. 

Cilacap, 13 Agustus 2024. [An]

Baca juga:

0 Comments: