Headlines
Loading...
Oligarki “Si Pemenang” dalam Pemilu Sistem Demokrasi

Oligarki “Si Pemenang” dalam Pemilu Sistem Demokrasi

Oleh. Mawar

Hajatan akbar demokrasi telah menanti di depan mata. Tepatnya 14 Februari 2024, segenap warga negara Indonesia akan melakukan pemungutan suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 guna memilih presiden dan wakil presiden, serta para anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) untuk periode 2024-2029.

Tidak jarang banyak dari peserta Pemilu melakukan jalan pintas untuk mendapatkan dukungan oleh pemilih melalui tindakan politik uang, seperti ‘vote buyying’. Layaknya sebuah pesta besar, dana yang dikeluarkan juga besar. Sehingga kampanye yang dilakukan membutuhkan dana yang fantastis.

Ironisnya mendekati Pemilu yang kurang 1 bulan lagi terungkap adanya aliran dana dari luar negeri ke kantong parpol. Dilansir dari CNBCIndonesia.com, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. Kepala Biro Humas PPAT, Natsir Kongah mengatakan langkah PPATK mengungkap aliran dana luar negeri ke parpol sebagai bentuk kepedulian untuk menjaga demokrasi tanah air. Temuan ini merupakan hasil dari pantauan Tim Khusus PPATK sejak awal tahun 2023 yang dipantau dari aliran ‘International Fund Transfer Instruction Report’ dari perbankan (CNBCIndonesia.com, 12/1/2024).

Hal ini mengundang reaksi dari Front Aksi Mahasiswa Pemuda untuk menggelar aksi demonstrasi. Dikutip dari Liputan6.com Koordinator Aksi FAM PPATK, Faisal, menyatakan pihaknya memberikan dukungan kepada PPATK agar tidak takut dalam membongkar transaksi mencurigakan itu, demi mencegah para mafia dan koruptor menguasai uang rakyat. "Masyarakat kaget sekaligus miris atas temuan tersebut di tengah kondisi ekonomi yang kian sulit. Namun berbeda dengan beberapa kalangan elit politik yang menuding temuan tersebut biasa saja, bahkan ada pula yang menuding balik PPATK mencari panggung dan sensasi di tengah hiruk pikuk tahun politik pemilu 2024," ujar Faisal di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (15/1/2024).

Dana yang mengalir dari investor asing hanya dianggap sebagai “sumbangan” saja, padahal saat ini modal asing atau investor asing berperan cukup signifikan dalam roda ekonomi di  Indonesia di mana sebagian penanam modal membuat pihak asing lebih leluasa terlibat dalam urusan politik di Indonesia. Pasalnya investasi asing mendominasi permodalan di Indonesia. Otomatis, ini berpotensi  terjadinya transaksi antara pihak asing  untuk mengintervensi kebijakan  negara untuk kepentingannya,  sebaliknya kepentingan publik  terabaikan. Akhirnya, Pemilu menjadi  ajang jual-beli, sehingga suara pemilih hanya menjadi komoditas dalam logika ekonomi.

Aliran dana Pemilu dari berbagai pihak termasuk asing menunjukkan Pemilu berpotensi sarat kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan. Ada bahaya yang harus diwaspadai di balik itu, yaitu tergadaikannya kedaulatan negara. Sehingga mutu pemimpin yang dihasilkan dari proses Pemilu demokrasi sekarang ini menjadi satu keniscayaan mengingat politik demokrasi berbiaya tinggi. Bahkan siapa pun yang terpilih, maka oligarkilah pemenangnya.

Hal ini menodai kepercayaan rakyat terhadap proses Pemilu yang akan berlangsung. Fenomena ini menjadi virus yang akan terus menggerogoti pilar-pilar kehidupan bernegara bila tidak segera disikapi.

Hal ini berbeda halnya dengan konsep pemilihan pemimpin (Kh4lifah) dalam Islam. Pemilihan pemimpin sederhana, efektif, efisien, dan hemat biaya. Titik simpul acuannya adalah Al-Qur’an dan Sunah, termasuk dalam hal memilih pemimpin atau Kh4lifah yang dilakukan dengan sistem musyawarah. 

Dalam pandangan Islam, ketentuan syariat dan kriteria seseorang untuk bisa diangkat menjadi pemimpin atau Kh4lifah mengacu kepada ketentuan Al-Qur’an dan Sunah. Hanya orang-orang yang dianggap mampu dan layak yang diperbolehkan diajukan sebagai calon pemimpin, karena pemimpin merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberlangsungan suatu masyarakat. Calon pemimpin tersebut tidak mencalonkan diri melainkan dicalonkan. Inilah paradigma yang bertolak belakang dengan konteks Pemilu di sistem demokrasi yang terjadi di negeri ini sekarang.

Islam sangat konsen dengan kepemimpinan yang amanah, sehingga dalam proses memilih pemimpin atau Kh4lifah ditentukan syariat dan kriteria yang ketat, ketentuan ini berlaku untuk pihak pemilih dan calon yang akan dipilih. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pemberian amanah kepada orang yang bukan ahlinya.

Keterwakilan orang-orang yang berkompeten dalam musyawarah, prosedur yang terbuka, serta penentuan syarat dan kriteria yang sangat ketat bagi calon yang akan dipilih menjadi alur proses keberhasilan sistem ini dalam menghasilkan pemimpin (Kh4lifah) yang berkualitas bagi negara yang akan menerapkan sistem Islam. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: