Headlines
Loading...
Oleh. Lilik Yani

"Saat kamu kecil dulu, Ibu suka mengajakmu main tanah. Di bawah pohon jambu depan rumah, Ibu duduk-duduk sambil menjagamu bermain," kata Ibu suatu hari saat aku dan Nisa, putriku pulang ke rumah ibuku.

"Pohon jambu mana sih, Mbah (nenek)? Kok Nisa gak lihat," tanya putriku penasaran.

"Dulu ada pohon jambu di depan rumah, Nis. Pohonnya rindang. Buahnya banyak sekali. Bisa dibagi orang sekampung. Ibumu waktu kecil, belum sekolah. Suka coret-coret di tanah. Gak berbentuk. Lalu Mbah pegang jari-jarinya, digerakkan membentuk namanya. L-i-l-i-k dibaca Lilik. Begitu ya menulis namamu. Ibumu senang, Nis," kisah ibuku penuh semangat.

Ibuku senang sekali kalau diajak mengobrol oleh Nisa, putriku yang banyak bicara dan bersuara nyaring. Ibuku sangat suka karena langsung jelas terdengar di telinga beliau. Aku hanya memperhatikan sambil senyam-senyum karena jadi obyek yang diceritakan. Biarlah mereka mengobrol mesra, aku tak banyak menyela. 

"Nis, kamu juga suka belajar terus seperti ibumu? Suka nulis di buku-buku tebal begitu?" tanya Ibu pada putriku yang masih sabar menemani neneknya ngobrol. Mumpung mudik ke kampung. Karena Nisa jarang ikut aku mudik. Ia sibuk dengan dunianya sendiri. Remaja gaul yang sedang mengalami proses pencarian jati diri. Tapi kalau ada orang sepuh (tua), ia sangat menghargai. Apa yang dikerjakan ditaruh demi menghormati orang yang lebih tua.

"Belajar? Ya, iyalah, Mbah. Tapi kalau menulis di buku agenda begitu, Nisa gak suka. Nisa suka bicara langsung, berhadapan, tahu ekspresi seperti apa dan bisa merespon langsung," jelas Nisa yang hobi cuap-cuap.

"Beda zaman, Bu. Anak sekarang kebanyakan suka bicara langsung, tanpa malu atau sungkan. Kalau aku kan pemalu, Bu?" aku bersuara.

"Kamu malu untuk bicara tapi kalau disuruh membuat tugas karangan, cepat sekali kamu kerjakan. Bakatmu menulis ya, Lik! Tampak sejak TK sudah bisa menulis dan mewarnai dengan rapi. Jari-jemarimu mudah diajarkan melakukan gerakan," papar Ibu.

**

Waktu kami sekeluarga masih kumpul di rumah. Ada mbak, aku, adik, ibu, bapak, nenek. Ada 6 jiwa dalam rumah. Bapak kerja di pabrik. Ibu dan nenek jualan nasi di warung depan rumah. Satu-satunya hiburan ya warung itu. Saat itu belum ada TV dan listrik. Bapak langganan majalah Joyo Boyo, majalah Bahasa Jawa. Bapak melatih anak-anak mencintai 'bahasa ibu', jadi langganan majalah juga versi Bahasa Jawa.

Satu majalah itu jadi rebutan untuk dibaca semua keluarga. Ibuku membaca malam hari sambil menemani anak-anaknya belajar. Jam tidur keluarga kami jam 21.00 WIB. Sebelum Subuh, ibu bangun. Ibu dan nenek menyiapkan dagangan. Anak-anak salat Subuh lalu belajar, mempelajari materi yang akan diajarkan hari itu.

Catatan Kecil di Majalah 

Ibuku punya kebiasaan mencatat hal penting untuk jadi bahan obrolan keluarga. Kemudian mencatat apa yang kurang paham untuk ditanyakan pada bapak atau aku. Subhanallah, ibuku hanya lulusan Sekolah Dasar. Tapi tak mau kalah jika bicara, tak mau dibilang kuper. Jadi, warta monco negoro (berita luar negeri) juga dibaca.

Aku saja malas kalau disuruh membaca berita. Paling yang kubaca cerkak (cerpen), guritan (puisi), cerita anak. Sementara ibuku? Semua dilalap tanpa sisa! Ibuku juga cepat saat membaca, aku kalah cepat. Banyak iklannya kalau aku. Diselingi ngobrol, guyonan saat membaca. 

Siapa coba yang mengajari atau memberi contoh jika ada hal penting harus dicatat? Bukankah ibuku sangat kreatif, ya? Jadilah apa yang dibaca betul-betul meresap jiwa dan dipahami secara mendalam. Kemudian diceritakan, bukankah ini dakwah? InsyaAllah yang disampaikan hanya kebaikan, meski hanya dengan bahasa Jawa sederhana. Saat itu belum mengenal mushaf Al-Quran. Satu-satunya kitab yang ada di rumah ibuku saat itu adalah buku tuntunan shalat. Yang membeli mbakku yang sekolah SMP di kota.

Kebiasaan membaca dengan mengutip hal penting itu masih terus dilakukan ibuku hingga sekarang. Setiap aku pulang ke rumah, aku membawakan majalah-majalah donatur berbagai yayasan di mana aku beramanah menjadi koordinator donatur di kampus tempat kerjaku.

Apa yang terjadi? Ketika aku pulang di bulan depannya, aku harus siap menjadi pendengar setia. Semua yang diingat dan dicatat dikabarkan padaku. Seringnya aku pulang sendiri, atau sama suami. Nisa sudah sibuk dengan keluarga kecilnya.

"Lik, tak kandani. Ati-ati lho ya. Bener, sing ati-ati kalau janji mau mengerjakan sesuatu. Harus disertai kata 'insyaAllah'. Ibu baca di majalah apa kemarin, Nurul Hayat apa Wisata Hati ya? Opo bener iku? Opo ono dalile?" tanya ibu suatu hari.

Jadilah aku bukakan mushaf surat Al Kahfi ayat 25. Ibu aku tunjukkan dalilnya biar semakin yakin dan mantap.

Ibuku Pintar Berdakwah

Masyaallah, Ibuku. Engkau cahaya penerang rumahmu. Lanjutkan, Bu! Semoga Allah senantiasa menjagamu. Tetap semangat dan istikamah di jalan dakwah. Bisikku penuh harap kepada Rabb ku yang perkasa. 

"Bu, mohon doakan kami, anak-anakmu, semoga senantiasa semangat literasi seperti Ibu. Syukur lebih baik lagi, karena sudah zamannya teknologi digital."

Setelah aku mulai rajin menulis, setiap aku mudik Ngawi, selain majalah-majalah donatur seperti biasanya, aku tambahkan beberapa buku antologiku.

"Ini buku hasil karyamu?" tanya ibuku penasaran

"Inggih," jawabku singkat.

"Lha, kok banyak orang yang nulis? Bukan kamu sendiri? Gak bisa ya kamu nulis sendiri?" tanya Ibu dengan nada datar.

Wah, ada tantangan dari ibuku untuk menulis buku solo nih. Sebenarnya ada banyak tulisan tematik, tinggal merangkum dan dibukukan. Tapi aku malas membayangkan ribetnya menyatukan naskah dari berbagai judul. Tidak punya laptop, terbayang bagaimana sulitnya jika menggunakan ponsel. Tulisan kecil-kecil, pusing rasanya.

Hingga suatu saat ada challenge TM45H. Tantangan Menulis 45 Hari. Hadiahnya bagi pemenang akan diterbitkan buku secara gratis. Wah, ini yang aku cari. Tinggal menulis, selanjutnya naskah ada yang mengurusi hingga jadi buku. Kesempatan emas, aku berjuang keras di sini. Menulis dalam waktu 45 hari itu perjuangan tak mudah. Sudah aku pasang judul dari awal 'Emak-Emak Tangguh'. Setiap hari aku berkelana mencari ide tentang seorang ibu dengan berbagai masalahnya, agar bisa diambil hikmahnya.

Saat mengikuti challenge itu, gejala sakit mulai aku rasakan. Tapi aku bertekat harus menyelesaikan. Harus jadi buku karya solo yang bisa kupersembahkan untuk ibuku. Aku membayangkan buku solo  ini karya terakhirku. Alhamdulillah, sekarang sudah ada 7 buku solo dalam pelukan. 107 buku antologi. Dan 2 buku solo dalam proses editing.

Buku Solo Pertama dan Mushaf Besar Buat Ibuku

Suatu hari aku pulang mudik. Kubawakan buku bersampul kuning dengan desain tiga orang emak dan bunga matahari. Buku solo pertamaku kupersembahkan untuk ibuku. Dalam 45 tulisan, aku ambil separuh, 22 tulisan saja. Karena jika 45 terlalu tebal, biaya cetak tidak cukup. Jadi yang aku cetak separuh dari challenge.

"Apa ini? Emak-Emak Tangguh? Ini tulisanmu semua? Terus siapa yang kamu buat cerita? Ada cerita tentang ibu ya?" rentetan pertanyaan ibuku kujawab dengan senyum manis sambil menahan sakit yang mulai sering kambuh menunggu jadwal operasi.

Ibuku betul, dari kisah di buku Emak-Emak Tangguh, ada dua diantaranya kisah inspirasi dari ibuku. Sengaja aku tak menunjukkan agar ibuku merasakannya sendiri.

Setelah buku Emak tangguh disusul buku-buku lainnya setelah  aku mendirikan komunitas SSCQ Sahabat Surga Cinta Quran. Alhamdulillah, jejak-jejak literasiku terinspirasi dari ibuku. 

Termasuk membaca terjemah Al Quran, itu juga inspirasi dari ibuku lho. Ada novellete yang aku buat dengan judul 'Ketika Emak Jatuh Cinta'. Terpilih menjadi pemenang dan berhadiah terbit gratis. Hanya saja aku berniat mengembangkan jadi novel. Proses belum selesai, laptop anakku rusak. Data ada di sana, hilang tak bisa diselamatkan. 

Hingga saat ini ibuku rajin membaca terjemah Al Qur'an, karena belum bisa membaca Al Qur'an. Aku sudah mengupayakan untuk mengajari dari iqra tapi Ibu merasa kesulitan. Jadi cukup membaca yang juz 30 saja. Selain itu, beliau menambah hafalan surat pendek agar ketika salat tidak membaca surah 3 Qul saja.

Usia semakin senja, ibuku yang perkasa mulai diuji sakit lutut. Ibu yang tak pernah diam untuk membuat rumahnya bersih dan nyaman. Ibarat tak ada satu daun kering pun yang jatuh, karena Ibu akan segera bergerak untuk mengambilnya.

Allah hendak menyuruh ibuku istirahat, dengan ujian kaki sakit tak bisa berjalan. Akhirnya ibu lebih banyak duduk. Hatinya berontak ingin bisa berjalan seperti dulu, menyapu semua halaman hingga bersih sekali.

"Ibu, Allah ingin agar Ibu istirahat. Jika kaki tak sakit, Ibu akan terus bergerak ke mana-mana. Saatnya Ibu istirahat nggih. Sabar, ikhlas, tak apa menyuruh orang untuk bersih-bersih luar. Yang dalam rumah ada mbak. Sabar nggih, Bu," rayuku sambil memeluk menenangkan hati ibu yang bergolak.

"Ya Allah, titip jaga ibu hamba. Bahagiakan di masa tuanya. Sudah sangat banyak pengorbanan untuk totalitas meriayah empat anak dan cucu kesayangannya. Kini saatnya ibu istirahat, menikmati hari tua. Bergantian anak cucunya pulang menjenguk. Semoga ibu sehat dan bahagia lahir batin dan ikhlas dengan ketetapan Allah."

Al-Qur'an Teman Setia Ibuku

"Lik, ibu seneng banget kamu berikan Al Qur'an terjemah. Doa Ibu dikabulkan Allah. Ibu ingin punya teman yang membuat hati Ibu tentram," kata ibuku berbinar.

"Wah, siapa teman yang membuat Ibu tentram?" tanyaku polos. 

Aku kira kepulangan mbakku yang dulu merantau ke berbagai kota mengikuti suaminya bertugas. Ternyata, apa jawaban ibuku?

"Ya, ayat-ayat Al-Qur'an pemberianmu ini teman yang membuatku bahagia!" jawab ibuku tegas.

"MasyaAllah, terima kasih, ya Allah. Engkau lembutkan hati ibuku hingga tersentuh setiap membaca pesan cinta-Mu. Maafkan ibuku jika belum bisa membaca teks arabnya. Namun beliau sangat terpesona dengan ayat-ayatMu, ya Rabb. Ibuku mengakui bahwa Al Qur'an itu teman setianya. Mohon ridai Ibu, ya Allah." Bisikku ketika mendengar pengakuan ibuku, sambil kupeluk erat guru literasi pertamaku tersebut.

Hingga saat ini, tulisan kecil itu masih dibuat. Setiap menemukan doa bagus yang cocok Ibu amalkan akan ditulis. Setiap menemukan ayat mempesona akan ditulis untuk diceritakan kepada anak, cucu, atau tetangga yang datang ke rumah.

Ibu, betapa luar biasanya engkau. Cintamu tak terbatas. Meriayah anak cucu totalitas sepenuh jiwa ragamu. Daya ingatmu luar biasa. Kisah anak-anakmu ketika masih kecil dulu sering jadi bahan cerita ke cucu-cucumu.

Apa yang engkau baca, baik itu buku, majalah, bahkan Al Qur'an jadi catatan membekas untuk bahan dakwahmu. MasyaAllah, jempol empat tak cukup memberimu apresiasi. Anak-anakmu kalah bertanding denganmu, tapi semua berupaya mengikuti jejak cintamu.

Ibu, terima kasih yang sedalam-dalamnya atas semua cintamu yang tak terbeli. Semoga Allah menjadikan kami, anak-anakmu salih salihah yang akan mendoakan ibu bapak selamanya. 

Rabbighfir li, wa li walidayya, warham huma kama rabbayani shaghira.
"Tuhanku, ampunilah dosaku dan (dosa) kedua orang tuaku. Sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu aku kecil."

"Ibu, kita saling mendoakan ya. Semoga ibu dan kita sekeluarga sehat dalam lindungan Allah. Dimudahkan semua urusan termasuk untuk semangat ibadah dan taat kepada Allah. Impian terbesar kita, jika suatu saat harus kembali semoga husnul khatimah. Selanjutnya, Allah ijinkan kita semua keluarga bisa bertemu kembali di surgaNya. Mohon doa restunya nggih, Bu," pintaku sepenuh hati.

Jazakillah khaira katsiran ibuku. Semoga rida Allah senantiasa mengiringi setiap tarikan napasmu, setiap saat. Aamiin ya Rabbal aalamiin.

Wallahualam bissawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: