
OPINI
Suntik Mati Proyek dalam Negeri demi Komersialisasi ?
Oleh. Izza
Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah resmi menghentikan proyek Hot Backup Satelite (HBS). Proyek yang sudah berjalan lebih dari 80% tersebut rencananya akan digunakan sebagai backup satelit Satria-1 yang lebih dulu mengangkasa.
Sedangkan seperti yang diketahui proyek HBS menelan anggaran yang tidak seditkit. Yakni sebesar Rp. 5,2 triliun yang rencananya akan diluncurkan Oktober lalu. Namun Ketua Satgas Bakti Kominfo mengungkapkan beberapa alasan diberhentikannya proyek tersebut. Antara lain keberhasilan peluncuran dari satelit Satria-1, pemanfaatan keterbatasan sumber daya finansial, serta aspek komersial.
Meskipun begitu satelit Satria-1 belum benar-benar beroperasi. Satelit tersebut masih dalam perjalanan menuju orbit 146 derajat Bujur Timur. Diprediksikan awal tahun 2024 satelit tersebut baru akan bisa memenuhi tugasnya. Yakni memberikan akses internet bagi wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) di Indonesia.
Di sisi lain Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin telah meminta bantuan Elon Musk untuk bersedia memberikan akses ke jaringan internet miliknya. Melalui satelit milik milliader US tersebut, Starlink diharapkan bisa memberikan akses internet untuk berbagai Puskesmas di daerah yang tak mungkin dilalui kabel fiber optik. Lebih lanjut Menkes menerangkan bahwa hal ini adalah bagian dari upaya untuk memastikan layanan kesehatan yang setara dan merata di Tanah Air.
Bukan tidak tahu perihal kerjasama tersebut. Hal demikian telah diketahui oleh Menkominfo Budi Arie Setiadi. Bahkan menurutnya tak masalah karena starlink dianggap akan mampu melengkapi. Bahkan Budi sempat menjelaskan bahwa kualitas kecepatan Internet Indonesia berada di urutan 98 dari negara lain. Sejalan dengan hal tersebut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengajak SpaceX untuk membangun jaringan internet murah di timur Indonesia melalui Starlink.
Tetapi tidak demikian bagi Direktur ICT Institute Heru Sutadi. Ia menganggap langkah kerjasama ini adalah hal yang memalukan terlebih setelah satelit khusus yang mengirim sinyal internet resmi diluncurkan. Ia pun juga mempertanyakan untuk apa kita meluncurkan satelit Satria-1.
Tak hanya itu dengan hadirnya Starlink juga dinilai akan mengundang kekhawatiran bagi operator seluler. Mereka mendesak Kominfo untuk bertindak dan tidak membuka pintu selebar-lebarnya bagi perusahaan asing.
Dari sisi teknis Starlink sendiri merupakan satelit Low Eart Orbit (LEO). Dengan begitu ketinggiannya hanya sekitar 550 km dari daratan. Saat ini ada lebih dari 3.000 satelit yang berputar mengelilingi bumi dan SpaceX masih ingin meluncurkan 9.000 satelit lagi. Sedangkan Elon Musk sendiri ingin menempatkan 40 ribu satelit Starlink ke luar angkasa.
Namun memang keberadaan industri digital saat ini adalah kebutuhan. Dan negara asing ingin menjadikan diri mereka sebagai mercusuar atas hadirnya teknologi-teknologi terbaru. Mereka mampu mengarahkan pemilik modal demi kepentingan perindustrian dan politik mereka. Mereka menjadikan negeri-negeri kaum muslimin mengikuti arahannya untuk tetap setia menjadi pangsa pasar bagi produk mereka.
Jika sudah begitu adanya industri digital ini bukan lagi pemenuhan hak atas rakyat namun sudah beralih ke kapitalisasi. Adapun ketersediaannya akan disandarkan kepada untung dan rugi semata tanpa melihat akan kebutuhan warga. Padahal ketersediaan akses pada internet merupakan hak bagi warga negara. Dengan begitu keberadaannya bukanlah aspek komersialisasi semata. Wajib bagi negara untuk membangun industri ini dan memberikan hak warganya.
Dan pengadaannya pun juga tak bisa sembarangan. Harus melalui beberapa tahapan dan kajian yang mendalam perlu atau tidaknya suatu proyek untuk dikerjakan. Terlebih karena proyek yang akan dibangun bersumber dari dana pengelolaan milik rakyat. Maka semestinya bukan jadi soal apakah nantinya menghasilkan keuntungan ataupun kerugian.
Apalagi jika melihat industri digital saat ini. Adapun industri saat ini telah dinilai mampu mempengaruhi kedaulatan dan keberlangsungan suatu bangsa. Baik dalam kondisi ofensif maupun defensif. Misal satelit bisa saja digunakan untuk membatasi atau memblokir akses, meretas dan bahkan sebagai satelit bunuh diri untuk menonaktifkan infrastruktur ruang angkasa. Maka jelas tak bisa keberadaannya digantungkan pada asing. Dengan begitu kemandiriannnya bukan hal yang bisa ditawarkan.
Maka untuk mewujudkan yang demikian itu Islam telah mengatur politik untuk industri. Sejak dari penambangan sumber daya, pengolahan bahan baku hingga menjadi sebuah produk islam mengatur secara jelas dan terperinci. Tak bisa pengelolaannya dengan mudah diserahkan pada asing. Karena letak kemandirian dan kemajuan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh bagaimana negara tersebut mengatur industri dalam negerinya.
Islam meniscayakan pengelolaan secara mandiri dari hulu hingga hilir. Sebab Allahlah yang telah menciptakan bumi dan menyediakan bahan mentah di alam untuk dikelola manusia secara ma’ruf. Sehingga kaum muslimin akan terletak di garis terdepan dalam merencanakan dan melaksanakan industri ini. Dimana negara-negara asing yang menjadi pengekornya bukan malah sebaliknya.
Yang demikian akan terwujud jika terdapat pemikiran revolusioner pada seluruh lapisan masyarakatnya. Sehingga mereka akan mampu menegakkan pemerintahan sesuai apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. Menjadikan orang-orang yang mukhlis dan memiliki kemampuan semakin bersemangat memberikan kontribusi. Sehingga menjadikan Daulah Khil4f4h Islamiyah menjadi negara yang tak hanya mandiri namun juga berpengaruh. [Ys]
Baca juga:

0 Comments: