Headlines
Loading...
Kasus Pungli KPK: Lemahnya Negara, Sistem Sekulerisme Kian Meraja

Kasus Pungli KPK: Lemahnya Negara, Sistem Sekulerisme Kian Meraja

Oleh. Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)

Korupsi. Kasus sistemik yang semakin pelik. Bagaimana tidak? Di tengah kampanye antikorupsi yang terus digaungkan, justru kasus korupsi makin menggurita tak terkendali. 

Kasus Korupsi Kian Tak Terkendali

Hebohnya kasus pungli di rutan KPK masih dalam proses hukum. Pasalnya, kasus suap ini mencapai angka Rp 4 Milyar. Fantastis. Menkopolhukam, Mahfud MD memastikan kasus tersebut harus diproses hukum dengan tegas (kumparan.com, 25/6/2023). Mahfud pun mengungkapkan bahwa pungutan liar yang terjadi di rutan KPK, adalah fakta yang sangat ironis. 

Seperti yang telah diketahui, kasus pungutan liar di badan KPK diketahui setelah Dewan Pengawas KPK mengumumkan adanya praktik pungli di rutan KPK. Dalam temuan Dewan Pengawas, ditetapkan adanya dua unsur pelanggaran yaitu pelanggaran etik dan tindak pidana. Sehingga kasus tersebut harus diusut tuntas.

KPK yang notabene sebagai lembaga pembasmi korupsi, justru di dalam tubuhnya terungkap mega kasus yang tak terduga. Fakta ini tentu saja membuat masyarakat semakin curiga dan krisis kepercayaan. Sejumlah pihak pun mengungkapkan perlu adanya perombakan dalam tubuh internal KPK. 

Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri, mengungkapkan bahwa pihaknya menerima beberapa aduan dari masyarakat, terkait sejumlah modus korupsi di KPK (republika.com, 9/5/2023). Modus tersebut antara lain, dugaan adanya pungutan liar, suap menyuap (rasuah), penyalahgunaan wewenang hingga pengadaan barang dan jasa. Ali pun menyatakan bahwa lapas adalah salah satu wadah yang sangat rentan kasus korupsi. 

Sekulerisme Kapitalistik, Biang Kerok Kerusakan

Merebaknya kasus korupsi di lembaga KPK menunjukkan betapa lemahnya integritas pegawai. Hanya karena harta dunia, kehormatan diri pun ternoda. Semua rusak karena hanya memikirkan keuntungan materi semata. Semua ini tak lain karena sistem sekulerisme yang dijadikan panduan. Sekulerisme, sistem yang memisahkan aturan agama dari kehidupan duniawi, menciptakan pribadi yang serakah dan miskin iman. Tak ada rasa takut akan siksa yang akan ditimpakan di hari pembalasan kelak.

Tak hanya itu, negara pun lemah dalam menerapkan hukum sanksi. Pola hukum sanksi yang kini diterapkan adalah pola tebang pilih. Setiap orang yang memiliki harta untuk "menebus diri" melalui suap dengan mudah melenggang dari jeratan hukum. Wajar saja, saat kasus korupsi kian menjadi dalam sistem sekulerisme, sistem rusak yang merusak sendi kehidupan. Destruktif.

Sistem rusak ini pun semakin akut kerusakannya dengan sifatnya yang kapitalistik. Semua nilai kehidupan dipandang baik saat ada banyak materi. Semua dianggap bahagia saat bergelimang uang. Lifestyle dan konsep kehidupan semacam ini menjerumuskan individu menjadi materialistik. Tak peduli lagi aturan benar salah ataupun halal haramnya suatu perbuatan. 

Islam, Satu-Satunya Sistem Kuat yang Menjaga

Berbeda dengan paradigma Islam. Islam menetapkan penerapan konsep Islam yang menyeluruh. Setiap warga negara diwajibkan taat sepenuhnya pada syariat Islam. Negara ideologis bersistemkan Islam, tegas menciptakan sanksi sesuai dengan  aturan Sang Ilahi Rabbi. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 188)

Jelaslah, bahwa korupsi adalah jalan batil yang memakan hak orang lain. Pun demikian dengan tindakan suap menyuap. Semua tindakan tersebut, tergolong perbuatan jahiliyah yang zalim,  haram dan dilaknat Allah SWT. 

Islam menjamin terbentuknya keimanan yang sempurna dalam setiap jiwa individu. Ketakwaan yang teguh menciptakan keimanan yang utuh. Tak mudah diiming-imingi harta duniawi, karena setiap individu memahami hakikat penghisaban hari akhir. Terlebih bagi seorang pemimpin. Dalam setiap diri pemimpin yang berkepribadian Islam, keimanan dan ketakwaan menjadi pondasi utama yang membentuk jiwa pemimpin yang adil dan bijaksana.

Negara pun wajib dengan tegas menetapkan regulasi tentang sanksi tegas bagi para koruptor dan usaha preventif untuk mencegah berulangnya kasus korupsi. Misalnya sanksi qishas (potong tangan) atau sanksi lain yang diterapkan sesuai aturan Al Qur'an dan As Sunnah. Islam-lah satu-satunya sistem kuat yang amanah dan adil menjamin terjaganya hak-hak setiap individu. 

Wallahu a'lam bisshowwab.

Baca juga:

0 Comments: